Maraknya Lelucon Konflik Ukraina dan Rusia di Media Sosial serta Minimnya Empati

Hernawan | Armand IS
Maraknya Lelucon Konflik Ukraina dan Rusia di Media Sosial serta Minimnya Empati
Poster Simpati terhadap Rakyat Ukraina (Unsplash/Ehimetalor Akhere Unuabona)

Tepat pada tanggal 24 Februari 2022, pemerintah Rusia menyatakan secara resmi, melancarkan invasi terhadap negara tetangganya, Ukraina. Konflik ini disulut oleh pernyataan Vladimir Putin mewakili pemerintahan Federasi Rusia terhadap pengakuan kedaulatan dua entitas negara separatis dari wilayah kedaulatan Ukraina, yakni Republik Donetsk dan Republik Luhansk.

Seiring dengan memanasnya konflik antara kedua negara tersebut, pemerintah Rusia akhirnya menyatakan perang dan militer Rusia mulai memasuki perbatasan Ukraina. Berbagai serangan dilakukan, terutama penyerangan melalui udara, terhadap kekuatan darat Ukraina di berbagai kota padat penduduk.

Alhasil, para rakyat sipil yang berada di kota-kota lokasi konflik terancam keamanannya karena serangan tersebut. Hari demi hari, mereka mendengar desing peluru dan letusan misil yang menghantui mereka. Tidak jarang, mereka berada di tengah pertempuran tersebut yang tentunya membahayakan nyawa. Pengalaman tersebut tentu membekas dalam benak para warga sipil yang tidak berdaya dan akhirnya menjadi sebuah luka trauma yang mendalam.

Munculnya lelucon perang Ukraina-Rusia di linimasa media sosial dalam negeri

Berita mengenai perang Ukraina vs Rusia menjadi sebuah topik yang hangat dan terekspos ke publik di penjuru dunia. Ratusan informasi membanjiri media sosial dan masyarakat berbondong-bondong memperoleh berita tersebut. Berbagai tanggapan muncul dari para warganet yang memberikan komentar melalui akun media sosial masing-masing.

Sayangnya, tidak semua komentar memuat ucapan simpati terhadap rakyat sipil yang terdampak perang. Banyak kita temukan lelucon sebagai bentuk tanggapan terhadap peristiwa perang yang terjadi. Seperti yang dilaporkan oleh Pikiran Rakyat Cianjur (24/2/2022), komentar bernada humor membanjiri linimasa media sosial dalam negeri. Banyak gif dan gambar meme dibagikan melalui berbagai akun pribadi dari pengguna media sosial yang merupakan orang Indonesia.

Dalam berita yang sama, salah satu warganet lokal membagikan cuitannya melalui media sosial Twitter yang berbunyi "Selamat, kita berhasil melewati pandemi dan reward-nya adalah World War 3." 

Beberapa akun lain juga memberikan lelucon mengenai potensi berkecamuknya Perang Dunia 3 dan mereka tidak ingin itu terjadi karena alasan pribadi yang konyol seperti belum menikah dan kalimat bernada lelucon lainnya, seperti "Dunia mau perang, tapi kalian belum move-on." 

Lebih miris lagi, cuitan-cuitan tersebut sampai ke linimasa para warganet Ukraina yang memantau komentar warganet dunia. Melalui fitur terjemahan di Twitter, para warganet dapat menerjemahkan cuitan berbahasa asing ke dalam bahasa yang mereka gunakan. Sehingga, mereka dapat memahami cuitan warganet Indonesia. Masih dari berita yang samasalah satu warganet Ukraina menyayangkan lelucon tersebut sama sekali tidak lucu. Sebab, warga di sana panik karena harus menghadapi bahaya yang mengintai mereka setiap waktu.

Lelucon sebagai coping mechanism bagi mereka yang mengalami tragedi

Memang tidak dapat dipungkiri, humor menjadi salah satu "senjata" dalam melawan trauma dan menghibur diri saat menghadapi kejadian traumatis. Namun, hal ini hanya berlaku pada mereka yang secara langsung menghadapi tragedi tersebut. Ketika lelucon tersebut muncul dari orang lain, maka hal itu sudah menjadi sebuah hinaan nirempati. 

Membuat lelucon terhadap tragedi yang orang lain alami merupakan bentuk perundungan. Ucapan bernada humor tentu akan melukai perasaan mereka yang menghadapi tragedi. Bak mengusap garam di atas luka, ketika kita sendiri tidak mengalami tragedi tersebut, maka yang kita lakukan hanya mengolok-ngolok musibah yang mereka alami.

Biarkan para korban menghadapi tragedi yang mereka alami dengan langkah mereka sendiri. Membuat humor mengenai peristiwa tersebut adalah hak mereka, bukan kita. Ketika mereka belum siap secara emosional dan psikis untuk menanggapi tragedi yang dialami dengan lelucon dan kita mendahului mereka, maka yang kita lakukan hanyalah memperburuk trauma yang mereka alami.

Lantas bagaimana kita menyikapi peristiwa perang Ukraina-Rusia?

Sikap paling tepat bagi kita yang tidak mengalami perisitwa tersebut adalah memberikan empati. Kita tidak perlu memihak pemerintah siapa yang paling benar, tetapi keberpihakan atas asas kemanusiaan adalah sesama warga sipil yang tidak berdaya. Masyarakat sipil adalah pihak yang paling terdampak, karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan harus kehilangan penghidupan karena perang.

Kita perlu membayangkan ketika kita ada di posisi mereka. Setiap malam dihantui oleh letusan bom dan suara jet tempur yang bising. Ketika kita mengalami suatu musibah yang memberikan trauma dan ada orang lain membuat lelucon atas yang kita alami, tentu menyakitkan bukan? Maka, harapannya kita dapat bijak menanggapi peristiwa ini dan tetap memberikan empati terhadap para warga sipil yang terdampak.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak