Memupuk Rasa Kesetaraan dalam Perbedaan Warna Kulit Melalui Aksi Nyata

Hayuning Ratri Hapsari | M. Fuad S. T.
Memupuk Rasa Kesetaraan dalam Perbedaan Warna Kulit Melalui Aksi Nyata
Kegiatan memasak bersama anak-anak (Dok. pribadi/armada)

Menjadi guru bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah untuk dijalankan. Selain harus mampu megajar dan menyampaikan materi agar dikuasai oleh peserta didik, menjadi guru harus pula mampu mendidik agar anak-anak yang dipercayakan kepada kita memiliki akhlak dan juga perilaku yang terpuji.

Terlebih, saat ini sistem Pendidikan di Indonesia menekankan pada output yang berorientasi pada peserta didik yang berperilaku Pancasila, di mana setiap tingkah laku yang mereka perbuat, harus sesuai dengan norma-norma dan ajaran-ajaran yang terkandung dalam dasar negara tersebut.

Secara teori, hal ini tentu saja mudah, karena selama ini kita memang terbiasa hidup di negara yang berasaskan Pancasila. Namun, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di dunia nyata.

Banyak sekali kita temukan hal-hal yang dianggap remeh, namun sejatinya bertentangan dengan asas-asas Pancasila, terutama dalam menyikapi perbedaan atau keberagaman.

Hal inilah yang terjadi ketika aku pertama kali pindah tugas ke sebuah sekolah dasar yang terletak di pinggiran wilayah kecamatan tempat tinggalku, pada tahun 2019 lalu.

Tahun 2019, aku harus berpindah tugas ke sekolah baru, yang berada di daerah pinggiran kecamatan. Secara kultur, masyarakat di sini menggantungkan perekonomiannya pada tiga sektor utama, yakni nelayan, pertanian dan juga perdagangan.

Tentu saja, karena lokasi baru tempat aku bertugas tak jauh dari garis pantai utara, masyarakat sekitar memiliki watak yang keras dan tangguh, sebagai ciri dari masyarakat pesisir. Di tempat seperti itulah, aku harus bertugas, dan menjalankan amanat dari negara.

Benar-saja, awal-awal bertugas di sekolah baru, aku harus langsung turn in dengan kondisi setempat. Berbeda dengan tempat tugas yang lama, di sekolah yang baru ini aku merasakan siswa yang ada di sini cenderung lebih aktif dan memiliki karakter yang keras.

Tak ayal, ketika bermain bersama, seringkali terjadi momen-momen adu fisik yang terkadang berakhir dengan pertengkaran, termasuk di kelas 6 SD yang diserahkan kepada aku.

Sedikit deskripsi, kelas 6 yang aku ajar kala itu memiliki siswa sejumlah 20 anak, putra berjumlah 10 dan putri berjumlah 10. Sejatinya, anak-anak ini cerdas dan kritis.

Namun, seperti kebanyakan yang ada dalam mindset orang-orang Indonesia kebanyakan, mereka seringkali menjadikan perbedaan warna kulit sebagai bahan untuk ejekan.

Sebuah hal yang harus diubah karena bisa saja memicu pertengkaran. Memang, siswa-siswi di sekolah ini memiliki kulit seperti kebanyakan orang Jawa, yakni cokelat muda.

Namun, dalam setiap kumpulan, akan selalu ada yang berbeda warna kulit kan? Itu juga yang terjadi di sini. Dari 20 anak tersebut, terdapat 2 anak, yakni Affa dan Nikmah yang memiliki kulit lebih gelap dari yang lainnya. Karena hal itulah, keduanya sering menjadi sasaran ejek oleh temannya yang lain.

Kadang, ketika pelajaran berlangsung pun mereka tak segan-segan untuk memanggil dua temannya dengan sebutan “Tuntheng” dan “Gundreng” yang secara harfiah berarti hitam legam.

Sebagai guru, tentu saja hal tersebut patut untuk ditegur, namun seperti mana anak-anak lainnya, teguran tersebut hanya berlaku ketika ada guru, dan ketika tidak ada guru, maka mereka terus saja kembali memanggil dengan sebutan tersebut.

Singkat cerita, sebagai guru, tentu saja aku harus memutar otak membuktikan bahwa meskipun kedua anak tersebut memiliki warna kulit yang berbeda, namun belum tentu memiliki kemampuan di bawah yang lainnya. 

Berdasarkan informasi dari guru-guru yang sudah lama mengajar di sekolah tersebut, aku menemukan sebuah celah untuk mengubah mindset anak-anak.

Menurut informasi yang aku dapat, kedua anak yang sering diejek oleh teman-teman mereka tersebut memiliki basic ekonomi keluarga yang sama, yakni memiliki warung nasi, dan keduanya termasuk anak yang rajin dalam membantu orang tuanya di warung.

Dalam pemikiranku, tentu kedua anak ini sedikit banyak mengetahui cara-cara memasak yang sederhana kan ya? Dan tahu dong, arah pikiranku ke mana?

Iyap, benar sekali, setelah meminta ijin kepada kepala sekolah, aku ingin mengajak anak-anak untuk melakukan acara masak bersama di sekolah.

Setelah bermusyawarah di kelas dan membagi anak-anak menjadi 2 kelompok, aku menjelaskan semua peralatan yang harus dibawa dan juga aktivitas yang akan dilakukan oleh mereka. Tak lupa, kedua anak yang sering diejek karena warna kulitnya tersebut aku pisahkan dalam kelompok yang berbeda. 

Singkat cerita, hari untuk pembuktian pun tiba. Seperti yang ada dalam pikiranku, 18 anak yang lain saling menghantungkan proses memasak tersebut pada satu dan lainnya.

Sementara dua anak yang lain, lebih banyak berdiam diri karena segan untuk bergabung, atau menjadi suruh-suruhan untuk melakukan pekerjaan yang berat seperti mengambil air atau angkat-angkat barang.

Lima belas menit berjalan, masih belum ada tanda-tanda nyata dari dua kelompok tersebut untuk mengolah bahan-bahan yang ada.

Oh iya, untuk acara masak-masak ini, karena pertama kali dilakukan oleh anak-anak, aku meminta mereka untuk memasak yang sederhana saja, seperti membuat sambal, oseng kangkung, dan lauk goreng-gorengan seperti telur, tahu dan tempe.

Sementara nasinya, aku minta mereka untuk membawa dari rumah, jadi, selain memudahkan, juga bisa memangkas waktu.

Lima belas menit kemudian, masih belum ada tanda-tanda perubahan, hingga pada akhirnya, aku meminta Affa dan Nikmah untuk ikut membantu mereka.

Semula, tentu saja teman-teman yang lain underestimate dengan kemampuan keduanya. Namun, seperti yang aku harapkan, kedua anak ini berhasil mengatasi semua permasalahan 18 anak tersebut, dan menyelesaikan tugas memasak dengan baik.

Hal ini tentu saja memantik rasa penasaran sekaligus kagum dari teman-teman mereka yang lain. Pasalnya, dua anak yang selama ini menjadi sasaran ejekan mereka, justru menjadi yang "paling bersinar" dalam kegiatan tersebut, mulai dari proses memasak, hingga menghidangkannya untuk dimakan bersama.

Selesai memasak, sesuai rencana semula, anak-anak melaksanakan acara makan bersama. Selain untuk menanamkan rasa kebersamaan, makan bersama ini juga aku harapkan untuk menumbuhkan sikap saling berbagi dengan sesamanya, dimulai dari hal-hal yang kecil di sekitar.

Seperti anak-anak sekolah dasar pada umumnya, kegiatan makan bersama ini pun penuh dengan adegan-adegan lucu dan celoteh ringan khas mereka.

Namun, titik point-nya bukan itu, aku lebih tertarik pada sikap anak-anak yang mulai berubah menjadi lebih akrab kepada Affa dan Nikmah, pasca keberhasilan mereka berdua menyelesaikan tantangan memasak tersebut.

Singkat cerita, akhirnya kegiatan hari itu kami sudahi dengan beberapa pesan kepada anak-anak, seperti menekankan pada keberagaman dan juga nilai-nilai kesetaraan sebagai sesama manusia.

Aku memberikan contoh pada mereka, Affa dan juga Nikmah, walaupun memiliki warna kulit yang berbeda dengan yang lainnya, namun memiliki kualitas dan juga skill yang tak kalah dengan yang lain.

Bahkan, dalam kegiatan ini, keduanya memberikan contoh yang nyata bahwa mereka berdua lebih unggul dalam hal memasak.

Pesan kedua yang aku sampaikan kepada anak-anak, semua manusia terlahir secara setara. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya, tidak ada pula yang lebih rendah.

Semua dikaruniai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga ketika membentuk suatu kumpulan, maka mereka akan saling melengkapi dengan kelebihan masing-masing.

Pesan ketiga untuk mereka, aku sampaikan bahwa berbeda warna kulit, bukan berarti mereka berbeda sebagai manusia. Karena sejatinya, manusia memang dilahirkan dalam beragam warna kulit, suku, agama, golongan dan juga etnis.

Hari itu aku merasa lega, karena dengan kegiatan yang sederhana, pada akhirnya aku bisa menyatukan dua anak yang selama ini dinilai lebih rendah dari yang lainnya, menjadi satu kesatuan yang setara, sekaligus memberikan pemahaman bahwa kita semua adalah satu, meskipun terbalut dalam rupa yang beragam.

Ah, jadi kangen dengan anak-anakku angkatan pertama ini!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak