Ekonomi Tumbuh, tapi Rakyat Masih Susah: Kontradiksi Pembangunan Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ekonomi Tumbuh, tapi Rakyat Masih Susah: Kontradiksi Pembangunan Indonesia
Ilustrasi statistik pertumbuhan ekonomi (Freepik)

Judul berita minggu ini tampak menggembirakan, “Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,12% di Kuartal II 2025, Mengalahkan Prediksi!”

Para pejabat ekonomi mungkin tengah tersenyum lebar. Tabel-tabel di layar presentasi dibuka, grafik dibuat naik warna hijau, dan publik pun dihampiri kabar bahwa “kita baik-baik saja.”

Tapi entah mengapa, warteg masih sepi. Penjual pulsa masih mengeluh sebulan cuma laku beberapa voucher. Anak-anak muda masih antre menggadaikan HP buat bayar cicilan motor. Dan mereka yang hidup di dunia nyata,  justru kebingungan dan bertanya-tanya, “Tumbuhnya di mana ya?”

Angka 5,12% memang terdengar hebat, apalagi di tengah situasi yang katanya lesu. Banyak ekonom sebelumnya memperkirakan ekonomi hanya akan tumbuh sekitar 4,5–4,9% saja. Sebab daya beli masyarakat sedang turun, belanja pemerintah diprediksi minus, sektor manufaktur masih kontraksi, dan efek Lebaran, yang biasanya jadi penolong ekonomi musiman, sudah lewat.

Tapi menurut BPS, ekonomi tetap tumbuh lebih tinggi dari ekspektasi. Tentu ini jadi pertanyaan menarik. Apakah Indonesia berhasil menemukan jurus rahasia dalam menaikkan pertumbuhan? Atau, jangan-jangan, kita hanya sedang terhipnotis angka yang terbalik dengan kenyataan?

Salah satu indikator utama kesehatan industri adalah Purchasing Managers’ Index (PMI). Angka di atas 50 artinya industri sedang ekspansif, dan di bawah itu berarti kontraksi. Nah, PMI Indonesia pada kuartal II-2025 justru turun ke 49,2. Artinya, sektor manufaktur, yang seharusnya menjadi motor produksi dan lapangan kerja, sedang menurun.

Lalu dari sisi ekspor, kita juga tidak lebih baik. Surplus neraca perdagangan kita memang masih ada, tapi terus menurun sejak awal tahun. Ini artinya kita menjual ke luar negeri lebih sedikit, dan kalau kita mengandalkan ekspor sebagai pendorong pertumbuhan, angkanya tak lagi sekuat dulu.

Jadi, kalau sektor industri melemah dan ekspor melambat, lantas dari mana datangnya pertumbuhan 5,12% ini?

Kemungkinan besar jawabannya datang dari sektor jasa, konsumsi, dan mungkin konstruksi yang ditopang proyek-proyek besar negara. Angka-angka PDB memang punya cara kerja sendiri, ia bisa naik, bahkan ketika orang-orangnya merasa hidup makin susah. Karena pertumbuhan ekonomi bukan diukur dari kebahagiaan warga, melainkan dari nilai transaksi dalam skala nasional.

Dengan kata lain, kalau ada segelintir bisnis raksasa yang transaksi triliunan, itu bisa mengangkat angka PDB meskipun jutaan rakyat kecil sedang terengah-engah.

Analoginya, kalau satu orang makan lima piring dan lima orang lain tak makan sama sekali, rata-ratanya tetap satu piring per orang. Tapi kenyataannya, kelaparan tetap terjadi, dan rasa kenyang tidak merata.

Apalagi saat ini, daya beli masyarakat sedang melemah. Menurut survei Bank Indonesia, indeks keyakinan konsumen turun di beberapa bulan terakhir. Harga kebutuhan pokok naik, pengangguran masih banyak, dan lapangan kerja informal makin dominan. Masyarakat bawah bukan cuma tak menikmati pertumbuhan, tapi bahkan harus berjuang lebih keras untuk bertahan.

Maka tak heran, sebagian pengamat mulai bertanya-tanya, apakah angka 5,12% ini hanya efek teknis dari basis perbandingan yang rendah di tahun lalu? Atau mungkin ada distorsi musiman yang tidak mencerminkan kekuatan fundamental ekonomi?

Lebih penting lagi, bagaimana kita bisa merasa tumbuh kalau kualitas hidup masyarakat justru jalan di tempat?

Yang sering terlupa adalah bahwa pertumbuhan ekonomi seharusnya bukan sekadar naiknya grafik, melainkan meningkatnya kesejahteraan.

Pertumbuhan yang sebenarnya adalah ketika UMKM tak harus tutup karena kalah bersaing dengan ritel besar. Ketika petani bisa menjual hasil panen dengan harga adil. Dan ketika lulusan kampus bisa dapat pekerjaan yang layak, bukan jadi kurir lepas dengan gaji di bawah UMR. Setuju?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak