Toxic Masculinity, Bukti Patriarki juga Merugikan Laki-laki

Candra Kartiko | saskia aulia
Toxic Masculinity, Bukti Patriarki juga Merugikan Laki-laki
Ilustrasi laki-laki yang sedang dirundung (Pexels/Keira Burton)

Sebagai seorang manusia tentunya kita memiliki hak untuk dapat mengekspresikan diri melalui hal-hal yang kita sukai, selama hal tersebut tidak merugikan orang lain tentunya. Namun dapatkah kalian membayangkan bahwa ada seseorang ruang geraknya dibatasi dan diawasi oleh standar gender yang telah ditetapkan oleh masyarakat?

Toxic masculinity, adalah sebuah konsep di mana masyarakat mendefinisikan sisi maskulinitas atau kejantanan seorang laki-laki dari bagaimana dia bersikap, berekspresi, atau berpakaian. Bahkan tak jarang yang menganggap kekerasan dan ketertarikan seksual yang tinggi menjadi hal normal untuk dimiliki seorang pria. Standar yang ditetapkan oleh masyarakat akan menjadi racun bagi mereka yang memiliki perbedaan. Mengakibatkan mereka mendapat diskriminasi dari oleh lingkungan sekitarnya.

Pada umumnya lelaki dituntut untuk menjadi orang yang terlihat kuat dengan menyembunyikan perasaan mereka. Hasil penelitian dari The Centers for Disease and Prevention menunjukkan bahwa persentase kematian laki-laki akibat mengakhiri hidupnya lebih tinggi dibandingkan oleh perempuan sebesar 3,5 kali lipat, disebabkan mereka cenderung lebih tertutup mengenai apa yang mereka rasakan dan alami. Sejak kecil mereka dilarang untuk menangis karena hal tersebut dianggap lemah dan identik dengan perempuan. Hal ini yang membuat laki-laki terbiasa untuk memendam perasaannya, karena takut dipandang remeh oleh standar yang masyarakat tetapkan yang pada akhirnya berdampak kepada kesehatan mental mereka.

Selain itu, pernahkah kalian menemukan lelaki yang menjadi korban bullying hanya karena cara berpakaian atau warna kesukaannya? Cara berpakaian dan warna juga sering digunakan untuk mengidentifikasi gender tertentu, di mana ketika laki-laki memiliki preferensi yang masyarakat definisikan sebagai feminin atau seperti perempuan akan mereka akan diberi julukan negatif.

Padahal, dalam buku berjudul Maps of Souls karya Carl Jung, berpendapat bahwa pada dasarnya baik laki-laki atau perempuan memiliki sisi maskulin atau feminin yang kualitasnya disalurkan secara berbeda-beda. Sisi tersebut akan dibentuk dan dikembangkan oleh budaya yang diyakini oleh masyarakat kita.

Budaya patriarki yang telah ada sejak awal peradaban manusia dan hingga saat ini masih diterapkan oleh sebagian besar masyarakat kita, digunakan untuk membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Di mana laki-laki merupakan pihak yang berperan sebagai pemimpin dan pencari nafkah sedangkan perempuan adalah pihak yang melayani laki-laki dengan baik. Akan tetapi, dibalik privilege yang diberikan oleh masyarakat ada tuntutan budaya yang harus mereka tanggung dan mengatur ruang gerak mereka dalam berekspresi.

Makin majunya zaman saya rasa budaya patriarki sudah tidak lagi diperlukan karena sudah banyak merugikan pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Kedua belah pihak tentunya memiliki hak dan peluang yang sama untuk mendapatkan kebebasan atas diri mereka dalam berekspresi. Oleh karena itu sudah saatnya perlahan kita harus mengambil tindakan untuk menghapus budaya patriarki yang ada, dimulai dari diri kita sendiri. Mulailah untuk selalu mencoba menghargai perbedaan yang ada, dengan begitu kita telah ikut menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak