Mulai tahun 2022, kondisi kesehatan masyarakat sudah berangsur pulih dari pandemi Covid-19. Ada banyak catatan perjalanan penanganan pandemi oleh pemerintah, sampai akhirnya mencapai status bisa dikendalikan. Berbagai media melaporkan, tanggal 27 Mei 2022, sebanyak 277 pasien Corona dinyatakan sembuh. Dengan demikian, total kasus sembuh akibat Corona di RI menjadi 5.894.830. Dengan semakin banyaknya penderita Covid-19 yang sembuh, itu menjadi harapan baik yang kian nyata bahwa pandemi telah teratasi.
Salah satu catatan penting dari keberhasilan penanganan covid adalah keterlibatan masyarakat dalam ikut menangani pandemi. Program 3M (mencuci tangan, memakai masker dan menghindari kerumunan) terbukti telah mengubah budaya kesehatan masyarakat. Bahkan setelah disampaikan Jokowi bahwa sudah bisa lepas masker, banyak orang yang masih memakainya.
Selain itu, ada gerakan berderma yang bahasa kerennya disebut filantropi, yang dilakukan oleh masyarakat/organisasi sosial kemasyarakatan dan CSR, bertujuan untuk mengurangi dampak pandemi berupa pembagian sembako maupun kebutuhan masyarakat lainnya. Menurut Imron Hadi Tamrin, berderma dalam terminologi kontemporer lebih dikenal dengan istilah filantropi. Selain terminologi filantropi, ada istilah karitas (charity) yang juga sering dipakai untuk kegiatan penggalangan dana sosial.
Dari segi pengelolaan, filantropi dibagi menjadi dua bentuk, yakni citizen filantropi (filantropi warga) dan organized filantropi (filantropi terorganisir). Citizen Filantropi merupakan aktivitas memberi yang umumnya dilakukan oleh individu perorangan, sekelompok orang, atau warga masyarakat. Citizen filantropi bisa dikategorikan ke dalam filantropi karitas atau kegiatan amal. Filantropi jenis ini mempunyai sifat azas manfaat jangka pendek.
Organized filantropi adalah bentuk filantropi yang terorganisir dan terlembagakan (Schearer, 1995). Filantropi ini berbentuk sebuah lembaga yang mempunyai struktur organisasi, visi, dan program kerja yang mengatur kinerja bagaimana dana filantropi didistribusikan kepada para penerima.
Filantropi kesehatan merupakan salah satu dari organisasi kemasyarakatan yang ikut serta dalam penanganan Covid-19. Dengan berbagai metode, filantropi kesehatan mampu menggerakkan masyarakat untuk tidak hanya berdonasi dalam bentuk dana, tetapi juga menyumbang dalam bentuk barang seperti alat pelindung diri (APD) berupa masker, handschoen, hazmat suit, pelindung mata, dan barang lainnya. Dari catatan laman Filantropi Tanggap Covid-19 yang dikelola oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia, kontribusi sektor swasta hingga akhir Juni 2020 telah mencapai angka Rp905 miliar.
Aktivitas filantropi terutama filantropi kesehatan yang terbilang mudah adalah mengumpulkan donasi dalam bentuk uang. Sumbangan uang dari individu-individu maupun kelompok masyarakat lebih mudah dan fleksibel, digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan secara cepat dibandingkan dengan pengusulan proposal program yang bertele-tele.
Pengumpulan uang dan atau barang melalui lembaga filantropi tentu saja memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Namun, dalam konteks manajemen dan transparansi pertanggungjawaban dana publik, hal itu masih menjadi misteri. Kemudian, urusan pendistribusian bantuan yang terkadang masih belum tepat sasaran juga menjadi tantangan tersendiri.
Peran serta masyarakat dijelaskan dalam Permenkes No. 8 Tahun 2019. Pada Pasal 23 Permenkes No. 8 Tahun 2019, diatur soal pendanaan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat berasal dari APBN/APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota/Desa, dana swadaya masyarakat, bantuan swasta, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan.
Aktivitas penggalangan dana dari filantropi ini termasuk dalam swadaya masyarakat yang timbul karena mau membantu sesamanya. Namun demikian, aturan tentang lembaga pemberi bantuan masih belum jelas diatur. Indonesia masih menggunakan UU Penggalangan Uang dan Barang No 9 tahun 1961. Salah satunya aturan fundraising yang harus diperbaharui setiap 3 bulan sekali sehingga sangat merepotkan. Belum lagi urusan pajak sumbangan yang masih ketat diberlakukan.
Kedua, hal ini diakui atau tidak menyebabkan masyarakat enggan berdonasi maupun mendirikan lembaga dan menyalurkan donasinya. Sehingga, ketika terjadi bencana seperti pandemi Covid-19, lembaga filantropi hanya sebatas meresponsnya seketika dan usai setelah berhasil ditangani. Hal ini masih menunjukkan bahwa peran organisasi filantropi masih terbatas pada gerakan spontan yang hanya merespons isu jangka pendek dan belum berkesinambungan. Padahal salah satu indikator keberhasilan lembaga filantropi kesehatan adalah keberlanjutan program yang efektif, menyasar pada kebutuhan publik.
Sudah waktunya peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan melalui aktivitas filantropi kesehatan diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. UU sistem kesehatan nasional sebagai payung aktivitas peran serta masyarakat perlu didukung oleh peraturan pelaksana yang jelas, memposisikan lembaga filantropi kesehatan sebagai stakeholders kesehatan nasional.
Peraturan yang dibuat nantinya diharapkan memberikan jaminan akuntabilitas bagi publik sekaligus meringankan beban lembaga filantropi untuk ikut memajukan kesehatan nasional. Artinya, keberadaan filantropi kesehatan tidak akan hanya sebagai pemadam kebakaran, tapi juga dapat menjadi lumbung ketahanan kesehatan nasional yang efektif dan terintegrasi dalam mengatasi pandemi.
Penulis: Tuti Widyaningrum (Sekretaris Program Pascasarjana FH UTA’45 Jakarta)