Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide

Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
ilustrasi persahabatan di kampus [pexels/Tima Miroshnichenko]

Lingkungan kampus seharusnya menjadi miniatur masyarakat yang majemuk, tempat berbagai disiplin ilmu bertemu dan berdialektika.

Namun, realitasnya, banyak mahasiswa yang secara tidak sadar membangun "Bubble Kampus"—sebuah lingkaran sosial eksklusif di mana mereka hanya berinteraksi dan berdiskusi dengan sesama mahasiswa dari prodi atau fakultas yang sama.

Fenomena ini menciptakan monokultur perspektif yang berbahaya. Dalam bubble tersebut, wawasan terbatas, jargon keilmuan menjadi dogmatis, dan mahasiswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan antar pribadi (interpersonal skills), empati, serta kesadaran budaya yang vital di dunia kerja global.

Mereduksi Kompleksitas Masalah Global

Salah satu alasan mengapa kolaborasi lintas disiplin menjadi kunci inovasi kampus modern adalah karena kompleksitas tantangan zaman sekarang menuntut pendekatan multidisipliner.

Isu-isu seperti perubahan iklim, pembangunan kota cerdas, hingga pandemi tidak dapat diselesaikan hanya dengan kacamata Ilmu Hukum, Teknik, atau Sastra saja.

Mahasiswa yang hanya bergaul dalam bubble jurusannya akan cenderung mereduksi kompleksitas masalah dan menawarkan solusi yang parsial. Mereka menjadi spesialis yang rapuh, hebat dalam bidang sempitnya, tetapi gagal memahami bagaimana disiplin mereka berinteraksi dengan realitas sosial, ekonomi, dan kemanusiaan lainnya.

Kampus Merdeka dan Mandat Interdisipliner

Kebijakan Kampus Merdeka yang dicanangkan pemerintah jelas-jelas memberi mandat bagi mahasiswa untuk belajar di luar program studi mereka selama tiga semester.

Mandat ini bukan sekadar formalitas akademik, melainkan pengakuan bahwa pengetahuan yang komprehensif dan multidisiplin adalah keunggulan kompetitif di masa depan.

Bergaul dan berdiskusi lintas jurusan adalah cara paling organik untuk melaksanakan semangat Merdeka Belajar. Seperti diungkapkan dalam penelitian mengenai manfaat lintas ilmu, interaksi ini memperluas pengetahuan, memungkinkan mereka menghadapi topik baru, dan memperkaya jejaring akademik dan profesional.

Stagnasi Intelektual dan Confirmation Bias

Ketika mahasiswa hanya berdiskusi dengan orang yang memiliki latar belakang keilmuan yang sama, mereka rawan mengalami stagnasi intelektual. Lingkaran diskusi menjadi sarang bagi bias konfirmasi (confirmation bias), di mana setiap orang hanya memperkuat apa yang sudah mereka yakini, tanpa ada perdebatan yang menantang asumsi dasar.

Misalnya, mahasiswa Hukum terus membahas pasal-pasal tanpa pertimbangan aspek sosiologi atau ekonomi, atau mahasiswa IT fokus pada kode tanpa memikirkan pengalaman pengguna (UX) dari perspektif desain. Perspektif yang mati suri ini pada akhirnya menghasilkan gagasan dan riset yang kurang holistik.

Manfaat Lintas Jurusan: Investasi Karier dan Jaringan

Membuka diri terhadap teman-teman lintas jurusan adalah investasi sosial yang paling berharga. Berdasarkan temuan, 79% profesional percaya bahwa kesuksesan dalam berkarir tergantung dari jaringan. Seorang mahasiswa Teknik yang mengenal mahasiswa Bisnis dapat mengubah ide teknologinya menjadi startup.

Mahasiswa Sastra yang berinteraksi dengan mahasiswa Jurnalistik akan lebih mahir dalam penulisan non-fiksi yang menarik. Jaringan yang luas ini memberikan keunggulan kompetitif yang jauh lebih besar daripada sekadar indeks prestasi tinggi di satu disiplin ilmu.

Fenomena bubble kampus ini dapat dijelaskan dengan konsep homofili (homophily), yaitu kecenderungan individu untuk berasosiasi dan berinteraksi dengan individu lain yang memiliki kesamaan (dalam hal ini, kesamaan jurusan).

Meskipun nyaman dan mengurangi konflik, homofili membatasi akses pada informasi baru dan perspektif yang beragam. Mahasiswa dituntut untuk keluar dari zona nyaman dan sengaja mencari teman serta rekan diskusi yang memiliki sudut pandang keilmuan yang sangat berbeda.

Langkah Praktis Keluar dari Bubble

Bagaimana mahasiswa dapat memecahkan bubble ini? Langkahnya sederhana, yaitu dengan membangun obrolan sederhana di luar urusan kuliah, berpartisipasi dalam komunitas, workshop, atau lomba lintas bidang, dan yang terpenting, belajar mendengar dan menghargai perspektif berbeda.

Kolaborasi tidak harus dimulai dari proyek besar, ajaklah teman berbeda jurusan untuk mendiskusikan berita politik atau film yang sedang tren. Latihan sederhana ini akan melatih keterampilan adaptasi dan membuat mahasiswa menjadi profesional yang serba bisa di lingkungan kerja yang beragam.

Kampus adalah kesempatan terakhir untuk bereksperimen dengan berbagai perspektif sebelum terjun ke dunia profesional. Jangan biarkan bubble jurusan mematikan potensi inovasi dan adaptasi Anda. Perluas jaringan, hargai keberagaman ilmu, dan jadilah lulusan yang mampu menghadapi tantangan kompleks secara holistik.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak