Indonesia memiliki potensi keanekaragaman Sumber Daya Alam yang sangat tinggi. Salah satu dari potensi SDA ini adalah kekayaan spesies fauna yang hidup di Indonesia. Kekayaan ini terlihat dari banyaknya fauna yang merupakan fauna endemik Indonesia. Berdasarkan data LIPI pada tahun 2020 potensi keanekaragaman fauna adalah, sekitar 12% mamalia dunia (773 spesies) ada di Indonesia.
Keaneragaman spesies fauna di Indonesia terbanyak terdapat di Kalimantan dan jenis spesies endemik tertinggi terdapat di Papua dan Sulawesi. LIPI juga menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 191 spesies mamalia, 33 spesies burung, 33 spesies amphibi, 30 spesies reptil, 231 spesies ikan, 63 spesies moluska, dan 26 spesies kupu-kupu yang terancam keberadaannya. Termasuk tujuh spesies lebah madu dunia yang hidup di Indonesia, dua jenis di antaranya endemik dan saat berstatus akan punah dan terancam.
Salah satu faktor kepunahan fauna disebabkan dari kerusakan habitat asli dari fauna-fauna tersebut yang digunakan sebagai rumah mereka untuk hidup. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI) ancaman deforestasi di Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya 1,1 juta hektare per tahun pada periode 2009-2013, menjadi 1,47 juta hektare pertahun periode 2013-2017. Bahkan menurut Greenpeace Indonesia adanya peningkatan deforestasi dari yang sebelumnya 2,45 juta hektare selama periode 2003-2011 menjadi 4,8 juta hektare selama 2011-2019 di Indonesia.
Isu kerusakaan lingkungan hidup berkaitan dengan deforestasi yang menjadi salah satu indikator kegagalan pemerintah dalam menjalankan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Deforestasi dan kerusakan habitat inilah yang menjadi cikal bakal dari gerakan manusia untuk melestarikan fauna agar tidak terjadi kepunahan.
Secara singkat kita mengetahui bahwa sejarah perlindungan dan kelestarian fauna dilahirkan dari kecemasan kaum bangsawan pada abad 19 akan kegiatan berburunya di alam bebas tidak terakomodir dengan baik dikarenakan hewan yang diburu semakin menipis jumlahnya. Istilah preservasi alam dan berlanjut pada istilah konservasi alam merupakan tahapan perubahan stigma akan pentingnya kelestarian fauna bagi keberlangsungan ekosistem secara menyeluruh di belahan bumi manapun.
Perubahan stigma ini juga selaras dengan perubahan paradigma antroposentrisme mengarah pada ekosentrisme pada peradaban manusia yang lebih peka terhadap isu kelestarian lingkungan hidup. Usaha pelestarian alam memang bukan pekerjaan yang mudah dikarenakan ketamakan manusia tentu lebih besar daripada kepedulian menjaga keseimbangan ekosistem. Maka salah satu bentuk upaya negara untuk menjaga keberadaan fauna yang habitatnya rusak adalah melakukan upaya konservasi.
Upaya konservasi ini jika dilihat dari letak/wilayah kegiatannya dibagi menjadi dua yaitu konservasi ex-situ dan konservasi in-situ. Konservasi in-situ secara sederhana dapat dijelaskan sebagai usaha pelestarian flora dan fauna yang dilaksanakan di habitat aslinya. Pelestarian in-situ biasanya dilindungi dan dikelola oleh pemerintah maupun pengelolaan tersebut bekerjasama dengan swasta dimana flora dan fauna di dalamnya tidak boleh diganggu.
Sedangkan jenis lainnya adalah konservasi ex-situ yaitu bentuk perlindungan flora dan fauna dengan mengambil keduanya dari habitat yang tidak aman atau wilayah terancam. Setelah itu, baru ditempatkan di tempat yang sesuai dengan adanya perlindungan dari manusia (di luar habitat aslinya).
Upaya ini juga biasanya dapat berkolaborasi dengan pihak privat/swasta dengan landasan perizinan.Upaya ex-situ inilah yang menimbulkan problematika yang panjang saat dikelola oleh pihak privat secara mandiri. Upaya pelestarian ini memunculkan fenomena influencer/selebritis di Indonesia mengambil peran sebagai pihak yang sepertinya bertujuan sebagai lembaga “ex-situ” .
Para influencer menjelaskan bahwa yang mereka lakukan adalah bentuk penangkaran yang bertujuan memberikan edukasi, mewujudkan rasa cinta pada fauna dan juga membantu kelestarian hewan dengan cara “memelihara” secara personal di properti pribadi. Upaya penangkaran yang dijelaskan oleh pada selebritis ini sebenarnya penuh penyesatan informasi, sehingga masyarakat awam tidak mendapatkan pemahaman secara benar terkait upaya melestarikan fauna yang dilindungi.
Secara garis besar penangkaran seharusnya jika ingin menjaga kelestarian hewannya harus dipahami tidak hanya “mengkadangkan” fauna saja agar dapat terpantau secara penuh oleh pihak penangkar, tapi penangkar diwajibkan memiliki perencanaan bagaimana fauna tersebut dapat berkembang biak dan tetap tujuan utamanya mengembalikan ke alam bebas, lalu jika diperbandingkan bagaimana pengelolaan penangkaran di kebun binatang? Jawabannya adalah, jika kita memegang teguh prinsip kelestarian yang berkelanjutan maka konsep kebun binatang baik yang dikelolah pemerintah maupun privat tetap saja harus berujung pada pengembalian ke habitat asli.
Adanya konservasi model ex-situ sejujurnya harus diakui merupakan bentuk kegagalan pemerintah/negara untuk menjaga habitat asli fauna dan bahkan menunjukan upaya konservasi melalui Cagar Alam dan Taman Nasional. Kawasan konservasi ini memang memiliki tantangan konflik sosial cukup tinggi yang mengakibatkan wilayah-wilayah konservasi in-situ sering kali harus menyesuaikan diri dengan kondisi sekitar kawasan. Konflik dengan masyarakat lokal maupun alih fungsi lahan yang menyampingkan kelestarian habitat asli fauna merupakan beberapa contoh konflik sosial yang sering terjadi pada kawasan konservasi di Indonesia.
Aroma antropesentrisme pada peradaban manusia masih kuat di zaman ini, khususnya cara pandang untuk melihat fauna hanya sebagai obyek. fauna hanya dipandang sebagai obyek berburu, obyek wisata, obyek status sosial dan sebagainya. Fauna dipandang hanya pelengkap dan kehidupannya tergantung dengan welas asih manusia sehingga prinsip keseimbangan dalam melihat ekosistem hanya menjadi lips servis pemerintah yang berkampanye tentang pembangunan berkelanjutan.
Penangkar hewan pada kelompok selebritas konten ini sejatinya tidak perlu dipandang sebagai para konservator fauna namun malah lebih cocok dipandang sebagai kaum borjuis yang sedang flexing status sosial kepada netizen dan masyarakat umum. Rasa pamer memiliki hewan eksotis, liar dan dilindungi merupakan upaya pengukuhan diri atas status sosial yang tinggi di masyarakat dan hal ini bukan hal yang baru pada peradaban manusia. Kemampuan menaklukan fauna liar sejak zaman purba merupakan insting purba dari rantai makan sebenarnya yang posisi manusia adalah predator puncak dalam ekosistem.
Pemahaman terkait perizinan juga harus diluruskan karena dalam paradigma rezim perizinan maka sebenarnya kegiatan yang dilakukan oleh warga negara adalah kegiatan yang dilarang dan dapat menganggu ketertiban umum (tujuan hukum). Dengan demikian jika ada penangkar individu (content creator) yang berargumen bahwa dia telah mendapatkan izin bukan berarti tindakan yang dia lakukan secara konsep hukum menjadi tindakan yang seharusnya dilakukan namun harus dimaknai tindakan dia adalah tindakan yang hari ini boleh dilakukan.
Perizinan adalah bentuk permisif dari negara yang memiliki kekuasaan untuk mengelolah sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Namun, perizinan bukan bentuk legitimasi bahwa fauna tersebut dapat dimiliki secara penuh oleh penangkar. Penangkar hanya pada sebatas pemeliharaan/penguasaan bukan pada hak milik akan fauna yang ditangkar.
Fenomena ini jika diteruskan akan menggerus semangat pengawetan dan perlindungan fauna secara lestari dan berkelanjutan dikarenakan akan banyak content creator berlomba-lomba flexing kemampuan kapital mereka untuk mendapat perizinan, tapi tidak diimbangi pengetahuan akan pentingnya re-habitat fauna ke habitat aslinya yang seharusnya kampanye menjaga hutan sebagai rumah fauna tersebut lebih utama daripada menempatkan kandang di halaman rumah Anda.