Mempertahankan Rasa Empati di Tengah Pandemi

Hernawan | punta yoga
Mempertahankan Rasa Empati di Tengah Pandemi
Ilustrasi stay safe (Lisa/Pexels)

Pandemi covid-19 berdampak yang sangat luas bagi peradaban manusia dua tahun ke belakang. Dampak yang dapat dilihat secara langsung yakni kesehatan dan ekonomi. Namun, di sisi lain, pandemi ternyata seakan menguji hakikat kita sebagai manusia.

Kedepannya bisa saja akan melahirkan dampak yang akan mengubah peradaban kehidupan manusia. Dampak yang dimaksud yakni rasa empati yang dirasakan oleh setiap individu melihat fenomena yang terjadi dan berefek kepada nilai kehidupan bermasyarakat.

Perihal kemanusiaan, seakan mengingatkan kita pada suatu ungkapan dalam bahasa latin yaitu Homo homini lupus. Secara sederhana, ungkapan tersebut bermakna manusia adalah serigala bagi manusia. Ungkapan ini juga pernah dikaji secara serius oleh Hobbes, melihat bahwa pada ruang kehidupan manusia, akan selalu diwarnai oleh persaingan dan konflik kekuasaan. Kekerasan menjadi cara yang sering digunakan dalam persaingan dan konflik itu.

Menurut Hobbes, manusia secara alamiah dan pada dasarnya mementingkan diri sendiri daripada kepentingan orang lain. Karakter ini adalah hasil upaya manusia yang ingin terus memenuhi kebutuhannya. Sebab dengan memuhi kebutuhannya, manusia akan bahagia. Oleh karena itu manusia memerlukan kekuasaan untuk mencapai tujuan hidupnya

Rasa empati pada kondisi Covid-19 sepertinya menjadi sekat pemisah kelompok manusia menghadapi pandemi ini. Pada linimasa media sosial, terkait keberadaan Covid-19 masyarakat seakan terbelah menjadi dua. Terbagi dua pola pikir terkait dengan kepercayaan tingkat dampak Covid-19 bagi jiwa manusia.

Alih-alih berdebat di ruang diskusi dalam ranah ilmu pengetahuan, permasalahan malah dibatasi atas tuduhan teori-teori konspirasi. Perdebatan terhadap dua cara pandang ini sebenarnya harus diterima pada masing-masing sisi, namun sepertinya ada yang terlupakan, melupakan hal yang harusnya menjadi lorong penyambung, yaitu empati terhadap kehidupan manusia itu sendiri.

Nyawa manusia yang hilang akhirnya hanya disebutkan sebagai angka. Nyawa tersebut dibandingkan dengan penyakit lain. Perbandingan tersebut terjadi pada ruang yang tidak tepat karena bagaimanapun, nyawa manusia yang meninggal tidak hanya dihitung sebagai kuantitas angka semata. Ketika ada nyawa yang harus hilang, tentu ada manusia yang kehilangan, baik dari sisi hubungan darah, sampai pada sisi tulang punggung keluarga yang mencungkupi kebutuhan ekonomi mereka yang ditinggalkan.

Rasa empati adalah benang yang harus tetap ada di dalam ruang-ruang publik. Sebab empati adalah unsur yang memperkuat jaring kemanusiaan dan harus terus tumbuh untuk menghadapi pandemi covid-19.

Empati sebenarnya bisa dipertahankan jika sikap kita dalam berkomunikasi dalam ruang publik tetap berpegang pada hati nurani dan kontrol diri. Hati nurani ada dalam dimensi moral pribadi manusia yang sensitif dan responsif terhadap seluruh nilai dan kepercayaan terhadap suatu hal dalam diri, sejak ia dan alam semesta ini diciptakan. Nilai ini secara singkat akan berujung pada suatu keteraturan dan kedamaian, dua hal yang dianggap manusia sebagai sesuatu yang “baik”. Mengesampingkan nyawa manusia hanya untuk membuktikan dirinya lebih benar, tentu tidak mencerminkan sebuah nilai kedamaian.

Kontrol diri dalam menyatakan pendapat pada kondisi pandemi adalah jalan yang tepat untuk tetap menumbuhkan empati. Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana seseorang untuk berusaha mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya. Upaya mengendalikan emosi berarti mendeteksi suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional, guna merespons keadaan dan mencegah munculnya reaksi berlebihan.

Empati sendiri tidak hanya pada ruang lingkup antar-individu di masyarakat. Namun juga harus dilaksanakan oleh negara yang menguasai sumber daya untuk menangani pandemi. Pemerintah yang berkuasa seyogyanya sudah tidak menggunakan arogansi, namun secara sadar diri berani mengintropeksi diri ketika ada langkah yang salah dalam penanganan pandemi

Arogansi pemerintah dapat menjadikan serigala baru dan kuat yang dengan mudah memangsa rakyat. Kebijakan yang dibuat oleh negara dalam kondisi pandemi tidak bisa disamakan dalam kondisi normal. Namun, harus menggunakan kebijakan negara pada kondisi darurat.Pemerintah di tengah perdebatan di ruang publik harus menggunakan perannya sebagai pemberi solusi.

Penegakan hukum yang tepat dan pelayanan publik yang baik adalah kuncinya. Hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Sedangkan pelayanan publik yang baik adalah kewajiban negara sebagai bentuk wujud empati paling besar dalam melihat berita kehilangan nyawa manusia setiap harinya.

Pemerintah yang memperlihatkan rasa empatinya akan mendapatkan kekuatan dukungan masyarakat untuk menangani pandemi ini. Penangan pandemi Covid-19 pada masa kritis seperti ini harus melihat bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (solus populi suprema lex).

Dengan demikan, jika PPKM Darurat dirasa tidak memberikan efek penurunan kasus pandemi covid-19 yang signinfikan, maka seyogyanya karantina wilayah alasan kesehatan harus dilakukan secara penuh. Dengan kata lain, dilakukan lockdown total. Apapun kendalanya, sepertinya menyelamatkan nyawa manusia secepatnya sehingga pandemi dapat diakhiri adalah jawaban dari ketakutan permasalahan ekonomi yang ada di negara ini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak