Eksistensi Membara: Kapasitas Terlupa, Kualitas Entah Kemana

Hikmawan Firdaus | Aji Prasanto
Eksistensi Membara: Kapasitas Terlupa, Kualitas Entah Kemana
ilustrasi gerak liku manusia (pexels.com/lilartsy)

Tentunya dari setiap sisi kehidupan, manusia sebagai seorang individu pastilah ingin menunjukan sesuatu yang ia miliki. Entah berbentuk prestasi dalam pendidikan, bidang yang sedang digeluti, ataupun hubungan asmara dengan kekasihnya. Begitu pula dengan peristiwa yang tengah terjadi pada kalangan pemuda-pemudi sekarang ini, dimana mereka tengah gencar ingin berkecimpung pada dunia digital khususnya media sosial. Hal ini tentunya sangat positif dan dapat menjadi sumber perekonomian baru bagi setiap kalangan masyarakat, bermodalkan smartphone para pemuda-pemudi ini dapat membuat suatu karya yang ia senangi dan dapat menghasilkan pendapatan yang lumayan.

Namun, jika hanya berorientasi pada penghasilan saja akan menjadikan suatu hal yang kurang baik tentunya. Sebutan masyarakat secara umum tentang orang yang berkecimpung di media sosial yaitu selebritis, namun juga ada yang menyebutkan sebagai public figure, atau konten kreator. Apapun istilah dan sebutan untuk orang tersebut bukanlah menjadi masalah, masalah datang ketika sebutan yang diberikan masyarakat tidaklah sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat sendiri, ini menjadi agak merepotkan jika seorang yang diberi julukan tidak sadar atas apa yang telah diberikannya oleh masyarakat. Dimana tentunya, dengan luasnya cakupan tingkat dikenalnya orang-orang ini di masyarakat, banyak yang ingin menirunya baik dalam hal berpakaian, cara bicara, sikapnya, ataupun cara hidup mereka. Kita tahu bahwasanya berkecimpung pada dunia media sosial bukanlah hal yang remeh-temeh, oleh karenanya diperlukan juga kemampuan berbicara dan berperilaku yang baik, tidak melanggar norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.

Issue

Dari pengantar diatas, kita dihantarkan pada peristiwa yang sempat viral akhir-akhir ini tentang  fenomena Citayam Fashion Week di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD). Dimana dikisahkan bocah kreator vidio TikTok yang menolak beasiswa dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). Tentunya, penolakan tersebut tidak bisa dianggap sepele. Beberapa media berita menyebutkan alasan penolakan tersebut di latar belakangi dengan faktor ekonomi yang kurang baik dari keluarga sehingga tidak mampu meneruskan sekolahnya dan hanya berluluskan SMP, kemudian bocah tersebut mencoba keberuntungan dengan membuat konten. Dengan membuat konten, bocah-bocah tersebut mendapat penghasilan yang cukup lumayan, namun lupa bahwa ada hal yang cukup penting dalam kehidupan di dunia ini yaitu pendidikan.

Tentunya bocah tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya, kita juga perlu melihat tentang faktor lingkungan baik dari keluarga dan sekitarnya. Namun jika benar menolak dan lingkungan sekitarnya mendukung atas penolakan tersebut, ini menjadi isu yang lumayan penting dan menjadi sebuah fakta bahwa Konsep Kemiskinan Kultural nyata adanya. Tentunya pendidikan bukan suatu faktor penentu dalam mencapai suatu kesuksesan, namun pendidikan yang baik akan dapat menghantarkan pada suatu pandangan, lingkungan pergaulan, gaya hidup, dan lainnya yang lebih baik. Keberanian mengungkapkan kemiskinan kultural ini dikarenakan pengertian dari kemiskinan kultural sendiri, dimana "Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh tingkat pendidikan, kesetiaan, ketaatan, pengetahuan, adat budaya, serta kepercayaan yang melekat pada diri seseorang hingga menjadi gaya hidup. Kemiskinan kultural juga dapat diartikan sebagai kemiskinan mental atau budaya, karena disebabkan oleh pengaruh pandangan atau kebudayaan yang dianutnya" (Kompas.com).

Dari isu di atas, kita akan mencoba mengantarkan pada suatu pengertian tentang Eksistensi manusia yang dijelaskan dalam filsafat barat dari Sören Aabye Kierkegaard (1813-1855).

Theoretical Review

Jurnal yang berjudul Eksistensi Manusia Dalam Filsafat Sören Kierkegaard dari Armaidy Armawi (2011), yang dimuat dalam Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 1. Dituliskan dengan latar belakang: kemajuan zaman (Modernisasi) yang menuntun manusia ke dalam arah kebudayaan baru, bagaimana membaharui dan menghadapi tantangan-tantangan kehidupan modern. Kita dapat melihat bagaimana tantangan kehidupan modern dari perubahan sosial dalam masyarakat seperti gaya hidup, pola konsumsi, pengetahuan, teknologi, serta komunikasi atau informasi. Disebutkan dalam jurnal tersebut bahwa perubahan sosial masyarakat mempengaruhi “nilai-nilai asasi kemanusiaan, seperti: keresahan, keterasingan, terperangkapnya ke dalam struktur yang dibuatnya sendiri. Kemajuan teknologi pada peradaban modern telah membuatnya pongah yang akhirnya menjerumuskan manusia ke dalam kehidupan yang semu”.

Latar belakang tersebut diatas menghantarkan pada pengertian eksistensi manusia dari Sören Aabye Kierkegaard. Dikutip dari jurnal tersebut “Sören Kierkegaard memperingatkan bahwa dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia akan sangat mudah untuk diperdaya atau dimanipulasi oleh kesemuan-kesemuan yang tidak bermakna (meaningless)”. Oleh karenanya kita perlu mengetahui apa itu sebenarnya Eksistensi. Istilah eksistensi manusia sendiri diartikan sebagai bentuk keberadaan (cara menunjukan keberadan manusia/ seorang individu di lingkungan sosialnya).

Eksistensi manusia menurut Sören Kierkegaard, didapat dengan cara bagaimana seorang individu dapat mengambil keputusan dengan tegas, tidak terpengaruh oleh faktor-faktor dari luar dirinya dan ketegasan tersebut ditunjukan dengan kesiapan dirinya untuk dapat mengemban tanggung jawab dengan baik. “Tingkatan eksistensi manusia menurut Sören Kierkegaard dibedakan menjadi tiga dengan ciri khas, yaitu: (1) Eksistensi yang estetik, (2) Eksistensi yang etik, (3) Eksistensi yang religius” (Armaidy Armawi 2011:25). Ketiga tingkatan eksistensi ini yang mempengaruhi eksistensi manusia atau dengan kata lain merupakan cara bagaimana seorang individu dilihat keberadaanya. Dapat dijelaskan bagaimana ketiga tingkatan eksistensi manusia itu mempengaruhi sikap/ cara seseorang untuk dapat memperlihatkan keberadaannya, yaitu:

1. Eksistensi yang estetik

Dapat jelaskan bahwa tingkatan eksistensi ini merupakan tingkatan yang dapat dikatakan rendah dan umum. Istilah tersebut dikarenakan tingkatan eksistensi ini bersumber pada emosi dan nafsu seorang manusia (tampilan luar; kepemilikan/kekayaan, jabatan, gaya hidup, dll). Namun, setelah manusia tersebut mendapatkan suatu “kesadaran”, ia akan merasakan kekosongan dari semua keterlihatan dan pencapaiannya di dunia ini. Kemudian menghantarkan kepada tingkatan selanjutnya yang merupakan suatu cara manusia dalam memperlihatkan keterlihatannya dengan menunjukan sikap atau perbuatan yang dipilihnya, karena manusia senantiasa dihadapkan pada sesuatu yang baik dan buruk.

2. Eksistensi yang etik

Digambarkan dengan cara menunjukan keterlihatan dari seorang manusia tanpa dipengaruhi adanya emosi atau napsunya. Sikap seorang individu disini telah mengarah pada segi kehidupan batiniahnya. Pilihan baik dan buruk yang diambil, haruslah didasari pada kesadaran dalam diri seorang individu tersebut. Menyadari setiap pilihan yang dipilihnya ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus diembannya.

3. Eksistensi yang religius

Eksistensi yang religius mengantarkan manusia pada cara menunjukan keterlihatannya dengan meningkatkan sikap moral dari seorang individu. Dari pilihan yang dipilihnya, manusia dihadapkan pada kesadaran akan kekurangan-kekurangan dan sikap-sikap buruknya. Sehingga, cara untuk menghadapinya yaitu dengan mendekatkan diri kepada sang Ilahi, dengan kesadaran keimanannya secara bertahap dan terus-menerus sebagai suatu yang berkelanjutan. Disebutkan dalam jurnal tersebut bahwa puncak dari Eksistensi religius ini yaitu “Manusia tidak lagi mempersoalkan kebenaran objektif karena pada eksistensi ini manusia tidak mengidamkan lagi pengertian dan kesaksian dari sesama manusia. Sebaliknya, kebenaran yang dihadapi manusia adalah kebenaran yang Mutlak atau kebenaran yang hakiki”.

Kesimpulan

Dari peristiwa yang sedang menjadi perbincangan hangat di media sosial belakangan ini tentang fenomena Citayam Fashion Week di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), dengan bocah pembuat konten yang menolak beasiswa dari Menparekraf. Menurut saya ini merupakan suatu bentuk dari dampak kemajuan zaman (kemajuan teknologi) yang kurang di barengi dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran pada masyarakat.

Banyaknya konten-konten yang menjadi viral tidak mencerminkan nilai dan peradaban budaya dari pengaruh modernisasi yang baik, masyarakat kita dibutakan pada kesenangan semu atas dasar emosi dan nafsu semata. Eksistensi manusia yang dijelaskan oleh Sören Kierkegaard sangatlah diperlukan, dimana pemahaman tentang bagaimana manusia mengetahui atas semua tindakannya. Mencoba menunjukan keberadaannya (eksistensi) diperlukan suatu ketegasan yang membentuk suatu kewajiban dan tanggung jawab yang harus diemban. Disitu diperlukan sikap etis dan moral yang baik yang harus dimiliki oleh seorang konten kreator/ selebritis/ public figure.

Pendidikan membentuk suatu kesadaran pada manusia, yang ditunjukan pada budaya, karakter, moral, dll pada diri manusia. Sehingga dapat menghantarkan kita pada suatu sikap/ ketegasan dari setiap apa yang dilakukan dengan menunjukan kewajiban dan tanggung jawabnya. Dengan begitu eksistensi dalam artian umum dapat memberikan suatu nilai dan sebuah peradaban budaya dari modernisasi dengan baik, bukan hanya semata-mata untuk memperoleh suatu pendapatan semata.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak