Kenaikan Harga BBM Memang Hal Lumrah, Tapi Apakah Kita Hanya akan Sabar?

Ayu Nabila | Budi Prathama
Kenaikan Harga BBM Memang Hal Lumrah, Tapi Apakah Kita Hanya akan Sabar?
Ilustrasi bahan bakar minyak. (Pixabay/@Skitterphoto)

Fenomena kenaikan harga BBM bersubsidi di Indonesia memang kebijakan yang kontroversial, aksi penolakan mahasiswa dan masyarakat dengan naiknya harga BBM telah terjadi demo besar-besaran di seluruh penjuru daerah Indonesia. Hal ini menandakan bahwa memang kebijakan tersebut banyak yang menolak.

Tidak bisa dimungkiri bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi ini ada juga yang pro dan menganggapnya hal lumrah terjadi di Indonesia. Mengapa? Karena mulai dari masa kepemimpinan Soekarno hingga Jokowi saat ini, nyatanya kenaikan harga BBM selalu saja terjadi. Meskipun ada beberapa presiden yang sempat mengalami penurunan harga, tetapi tidak bertahan lama lalu naik lagi dan penurunannya pun sedikit. Seakan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi sudah menjadi budaya.

Tetapi kondisi inilah yang mengganjal pikiran saya, kenaikan harga BBM adalah hal lumrah (menjadi budaya) dan kita sebagai warga negara diminta sabar saja, apakah setimpal kalau kita hanya bisa sabar? Ini negara demokrasi bos, dan kenaikan harga BBM tentu juga akan berdampak pada bidang yang lain. Lihat saja harga sembako tentu akan ikut naik, sewa transportasi naik, dan semua bahan yang berasal dari industri pun ikut naik.

Inilah yang mesti kita cermati bahwa kenaikan harga BBM bukan hanya jenis Pertalite, Pertamax, dan Solar. Tetapi semua barang-barang tentu tidak mau ketinggalan untuk tidak naik. Parahnya jika pendapatan tidak ikut naik pula, terlebih kepada masyarakat golongan menengah ke bawah. Iya, kalau orang sultan sih, kek Rafi Ahmad gitu, jelas tidak akan goyang keuangannya hanya karena BBM naik.

Kita sebagai warga negara tidak bisa hanya sekedar sabar setiap kebijakan pemerintah, karena pemerintah sendiri memang kadang mengambil kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat demi kepentingan para oligarki semata. Hal ini sangat merugikan kita sebagai warga negara dan jurang keadilan pun akan sulit kita rasakan.

Kondisi pemulihan ekonomi masyarakat pasca pandemi Covid-19 saja belum stabil, tetapi malah menaikan harga BBM. Alasannya karena anggaran subsidi BBM sudah mencapai 502 triliun dan akan membengkak jika dipaksakan untuk terus digunakan. Tetapi nyatanya data konsumsi BBM berbeda-beda versi dari setiap kementerian dan lembaga.

Kondisi ini membuat kita bertanya apakah betul konsumsi BBM sudah sesuai yang terjadi di lapangan, apakah tidak memungkinkan terjadi penggelapan dana di BPH Migas dan lembaga terkait? Seberapa besar kita bisa memastikan konsumsi BBM bersubsidi benar dinikmati warga Indonesia yang berhak.

Sementara data yang diungkapkan oleh Fortune, laba Pertamina justru naik dua kali lipat. Pendapatan Pertama mencapai Rp. 820,659 triliun dengan laba bersih Rp. 29,191 triliun. Bahkan Pertamina masuk 500 perusahaan migas global terbesar.

Dalam Laporan Keuangan Pertamina tahun 2021, Direksi dan Komisaris Pertamina justru mengalami kenaikan kompensasi dengan total Rp. 446 milyar. Ini menunjukkan bahwa tidak ada rasa sensitif oleh pengelola energi di tengah sulitnya kehidupan masyarakat, penyelenggara tidak memiliki rasa empati kepada masyarakat.

Artinya bahwa pemerintah mesti melihat secara menyeluruh saat kenaikan harga BBM ini, termasuk dampak yang akan dialami masyarakat. Pemerintah harus mengevaluasi para kementrian dan lembaga terkait dalam pengelolaan anggaran, jangan sampai anggaran subsidi BBM tidak mampu ditutupi hanya karena banyak dialokasikan kepada lembaga pemerintah, terlebih banyak dana yang digelapkan. Masalah ini mesti menjadi perhatian pemerintah sebelum melempar beban kepada masyarakat.

Walaupun pemerintah akan memberikan BLT BBM kepada masyarakat dengan jumlah Rp. 600.000 yang berlangsung selama empat bulan, namun kebijakan itu dianggap bukan solusi menanggulangi lemahnya daya beli masyarakat. Seakan bahwa pemerintah memberikan oksigen kepada masyarakat setelah mencekiknya.

Jadi menurut hemat saya, meskipun kenaikan harga BBM secara historis lumrah terjadi di Indonesia, tetapi kita tidak boleh hanya dengan sabar menerima itu. Pemerintah mesti melihat problem yang terjadi di internal pemerintah sendiri sebelum melempar kepada masyarakat umum, dan tugas negara harus memang memastikan hidup masyarakat berjalan dengan baik dalam kemakmuran, bukan malah menepuknya dengan penderitaan. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak