INFORMASI bagaikan peta yang memandu seseorang untuk mengetahui dan memahami banyak hal. Di era digital yang serba cepat, dunia akan terasa kecil ketika semua informasi tersaji dengan baik dan bisa diakses lewat ujung jari.
Di Indonesia, setiap individu punya hak mengetahui dan mengakses informasi dari semua Badan Publik yang dibiayai APBN atau APBD. Hak masyarakat terhadap informasi publik itu bahkan termasuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang tertuang di Pasal 28 F UUD 1945. Jadi jelas, tidak ada alasan apapun bagi Badan Publik di negara demokrasi ini untuk menutup akses yang berkaitan dengan layanana publik. Hal ini juga tertuang dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Badan Publik punya keharusan untuk memberikan informasi secara transparan demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Tanggung jawab ini tak bisa dipandang remeh. Sebab, pimpinan sebuah Badan Publik yang melanggar atau sengaja menutupi alias tidak memberikan informasi publik yang tidak dikecualikan, bisa-bisa dipenjara. Ancaman itu tertuang dalam Pasal 52 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIB.
Di Sumatera Barat (Sumbar), kehadiran UU KIP terbukti mampu memacu perbaikan pelayanan informasi di Badan Publik. Tentu saja ini tidak terlepas dari perjuangan dan kerja keras Komisi Informasi (KI) Sumbar sejak 2014 lalu. KI Sumbar menyadarkan masyarakat tentang hak mereka terhadap informasi, serta mendorong Instansi Pemerintah memberikan hak publik tersebut. Berkat kolaborasi KI Sumbar pula, Pemprov Sumbar meraih predikat Provinsi Informatif dari KI Pusat tahun 2019 lalu.
Keterbukaan informasi di Pemprov Sumbar hari ini tidak sekadar cerita. Semua bisa mengakses. Misalnya tentang informasi setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Pemprov Sumbar. Cukup buka website resmi Pemprov Sumbar atau Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Kominfotik) Sumbar. Kanal-kanal layanan jelas dan semua orang bisa mengetahui. Mulai dari informasi program pemerintah hingga Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Masyarakat yang ingin melaporkan persoalan pelayanan pun, bisa langsung menyampaikan keluhannya di website tersebut.
Sejumlah daerah di Sumbar juga telah menerapkan sistem online untuk pengurusan surat izin usaha, Kartu Tanda Penduduk (KTP) sampai Kartu Keluarga (KK). Semua syarat-syarat-nya dipampang jelas di website. Jika pun harus datang ke kantor Disdukcapil misalnya, masyarakat sudah mengetahui apa yang harus dipersiapkan. Jadi, tidak lagi perlu menunggu lama dan bolak-balik. Ini menandakan bahwa daerah di Sumbar sudah melangkah maju dan terbuka dalam pelayanan publik.
Tak hanya di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, sejumlah nagari di Sumbar pun kini telah terbuka kepada masyarakat tentang jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari (APB Nagari). Angka-angka dan jenis proyek pembangun nagari bisa dilihat warga secara langsung. Ada pula nagari yang bahkan memajangnya di baliho berukuran besar. Semua itu menandakan bahwa Badan Publik di Sumbar sudah semakin transparan.
Jika direnungkan betul, hakikat keterbukaan informasi tak obahnya jalan melawan budaya korupsi yang selama ini tersuruk-suruk dalam birokrasi yang bertele-tele. Keterbukaan informasi juga bagian dari reformasi birokasi. Tidak mungkin tercipta tata kelola pemerintahan yang baik tanpa mengedepankan transparasi dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses kebijakan publik.
Korupsi sangat rentan terjadi di zona pelayanan publik. Hal ini pernah dinyatakan Kepala Sekolah Akademi Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Nisa Zonzoa dalam webinar nasional bertajuk “Korupsi dan Perlunya Pengawasan Pelayanan Publik” di kanal YouTube Sahabat ICW, Kamis (9/12/2021). Menurutnya, alur birokrasi yang panjang sangat berpotensi memicu terjadinya korupsi. “Kalau birokrasinya tidak dibuat rumit, saya yakin masyarakat tidak berpikiran menawarkan diri memberi uang kepada petugas pelayanan publik,” katanya.
Ombudsman RI juga pernah menyatakan bahwa tingginya kasus korupsi terjadi akibat banyaknya penyimpangan di pelayanan publik. Mulai dari pelayanan yang lama dan berlarut-larut, penyimpangan prosedur hingga meminta uang dan sebagainya. Tindakan korupsi dalam pelayanan publik mayoritas adalah suap dan pungli dalam mengurus sesuatu dokumen dan sebagainya.
Di lain hal, masyarakat juga cenderung tidak menyadari pula bahwa mereka menjadi bagian dari pelaku korupsi, ketika memberikan uang kepada oknum di pelayanan pemerintah. Di sinilah pentingnya keterbukaan informasi publik. Sebab, ketika informasi sebuah pelayanan jelas alurnya dan terbuka, peluang suap menyuap ini akan semakin kecil.
Badan Publik yang terbuka mengisyaratkan bahwa mereka berani bertanggung jawab dan menerima setiap saran hingga kritikan warganya sendiri. Partisipasi masyarakat yang tinggi akan memacu lahirnya clean and good governance. Sebab, masukan, saran dan kritik publik akan menjadi landasan penting bagi pemerintah untuk mengambil sebuah kebijakan strategis. Apa gunanya melahirkan program publik jika manfaatnya tidak dirasakan masyarakat itu sendiri.
Kembali ke soal korupsi. Biasanya, Badan Publik yang transparan sangat berhati-hati sekali dalam mengambil kebijakan. Mereka sadar dengan keberadaan masyarakat yang nantinya akan memantau langsung. Di sini lah besarnya peran publik. Mereka bisa mengawasi setiap kegiatan-kegiatan pemerintah, mulai dari masalah pelayanan hingga pengerjaan proyek pembangunan.
Boleh dikatakan bahwa keterbukaan informasi bagian dari tes kejujuran pemerintah dalam menjalankan program dan layanannya. Seperti di nagari-nagari yang telah memajang anggaran pembangunan irigasinya, jalan usaha tani, dan sebagainya di baliho-baliho di tengah kampung. Masyarakat tidak lagi bertanya-tanya; uang nagari perginya kemana saja? Buat bangun apa? Semua terjawab tuntas dan didetailkan di baliho. Bukankah ini bagian dari cara menciptakan pemerintah yang bersih? Maka tak berlebihan kiranya jika menyebut bahwa keterbukaan informasi adalah langkah awal mencegah korupsi.
Korupsi di negeri ini tak akan kunjung selesai jika pemberantasannya selalu ditangani di bagian hilir, tapi hulunya dibiarkan sembraut. Salah satu jalan membersihkan 'hulu' agar tak terjadi korupsi adalah dengan keterbukaan informasi publik. Orang-orang tidak lagi menduga-duga. Pelayanan publik bisa terukur dengan standarnya. Angka proyek-proyek pembangunan dapat dilihat dan dihitung langsung; ini sesuai atau tidak, ini patut atau tidak. Terbuka. Maka sangat efektif rasannya menghilangkan budaya korupsi dengan keterbukaan informasi. Biaya pun tak mahal.
Sungguh pun begitu, semua berpulang tetap berpulang ke para pemangku kebijakan di Badan Publik. Sebab, ini menyangkut SDM di dalam lembaga pemerintah itu sendiri. Semakin baik dan berkualitas SDM-nya, maka semakin besar perilaku korup itu hilang, meski potensinya akan tetap ada. Tapi percayalah, ketika informasi itu terbuka, intensitas korup secara berangsung akan berkurang. Mudah-mudahan lenyap. Sebab, KI Sumbar terus konsisten menyadarkan publik dan pemerintah daerah.
Lahirnya Perda Keterbukaan Informasi Publik
Delapan tahun KI Sumbar berjuang untuk keterbukaan informasi publik di Ranah Minang. Waktunya singkat, akan tetapi telah menuai banyak manfaat. Dulu, orang nyaris tak tahu apa itu Komisi Informasi? Komisioner-nya pun harus 'berjaja' informasi dari pintu ke pintu Badan Publik. Berat memang membuka mata masyarakat terhadap haknya, dan menyadarkan lembaga pemerintah tentang fungsinya. Seiring waktu, sudah banyak yang menyadari pentingnya keberadaan KI itu sendiri.
Perjuangan KI Sumbar tidak mudah. Pertama, tentu saja mendorong setiap Badan Publik memberikan pelayanan transparan, akuntabel dan berkualitas. Ini kaitannya dengan SDM pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) yang mumpuni. Mustahil pelayanan publik di pemerintah berjalan optimal tanpa SDM unggul dan memahami tupoksinya. Secara maraton, KI terus menggugah kesadaran Badan Publik sampai hari.
Kolaborasi yang baik antara KI Sumbar dengan Pemprov dan DPRD Sumbar akhirnya berbuah karya. Kini, Sumatera Barat resmi memiliki Peraturan Daerah (Perda) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang disahkan dalam sidang paripurna di DPRD Sumbar pada Selasa (19/7/2022) lalu. Perda KIP lahir dari usulan inisiatif DPRD yang tentunya berkat kolobarasi dengan KI Sumbar.
Perda Nomor 17 Tahun 2022 tentang KIP itu berfungsi untuk memenuhi ketentuan Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengirimkan dan menerima informasi dalam rangka mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, dan menerima informasi sendiri serta menyimpannya dengan menggunakan semua saluran yang tersedia.
Pemprov Sumbar sendiri terus mendorong Badan Publik terbuka kepada masyarakat. Hal ini ditegaskan Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah saat membuka Bimtek Monitoring dan Evaluasi (Monev) KIB di Bukittinggi, beberapa waktu lalu. Dia menekankan bahwa di era disrupsi ini, keterbukaan informasi harus menjadi budaya birokrasi. "Tidak ada alasan bagi penyelenggara negara untuk menutupi informasi yang dibutuhkan masyarakat," begitu kata Buya Mahyeldi.
Keberadaan Perda KIP memperlebar jalan KI Sumbar untuk menyadarkan Badan Publik dan masyarakat tentang haknya terhadap informasi. Landasan hukumnya jelas. Masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan KI. Masih banyak pula OPD di pemerintah kabupaten dan kota di Sumbar yang belum sepenuhnya memberikan hak informasi publik secara penuh.
Semangat KI Sumbar tidak boleh melemah. Tidak boleh terlena dengan prestasi yang telah diraih selama ini. Pada akhirnya, tertumpang harapan masyarakat banyak di pundak punggawa KI Sumbar. Jangan sampai keterbukaan informasi publik di Ranah Minang sebatas pemanis kata, atau hanya setumpuk narasi di dalam Perda KIB. Semoga!