Mungkin sudah klise terdengar suporter sepak bola, apalagi tepat tanggal 1 Oktober 2022 yang lalu, negara kita berduka atas tragedi di Kanjuruhan usai pertandingan Aremania berduet dengan Persebaya. Entah siapa yang salah dan siapa yang benar, tragedi di Kanjuruhan seakan menghantam kita supaya tidak ada lagi sepak bola, kalau ujungnya tragedi seperti itu terulang lagi. Ya, sudahlah kejadian telah lama berlalu dan mari semua ambil pelajaran, harapannya pemerintah dan pihak yang berwenang mengusut tuntas tragedi itu. Jangan sampai hanya karena Rehan sulit dilupakan, lantas pihak pemerintah juga sulit mengusut tuntas tragedi di Kanjuruhan.
Hal menarik sebenarnya dalam sepanjang sejarah persepakbolaan, tentu tidak lepas dari yang namanya suporter. Suporter ini selalu menjadi bahan pamungkas untuk menyemangati sesuai tim yang didukung. Aksinya pun macam-macam, ada yang nyanyi yel-yel, nyalakan api unggun, buat gerakan serentak, kibarkan bendera besar yang hampir menutupi tempat penonton, ada yang warnai badan dengan logo bendera, dan aksi-aksi suporter lainnya yang bikin mata takjub.
Aksi suporter sepak bola yang kadang fanatik kepada timnya inilah yang bisa menjadi kekhawatiran. Jangan sampai karena terlalu cinta kepada timnya justru bisa menimbulkan kebencian kepada suporter tim lawannya. Dan menjadi sangat fatal kalau terjadi kerusuhan hanya karena kebencian antar suporter mengingat masing-masing sangat cinta kepada timnya.
Cinta dan bersorak-sorai membela tim kebanggan sepak bola sah-sah saja, namun yang tak boleh kalau sampai membenci tim lawan. Entah karena tim kebanggaan kalah atau penyebab yang lain, kerusuhan sesama suporter jelas tidak baik karena bisa saja terjadi korban jiwa. Kalaupun kerusuhan tak bisa terhindarkan lagi, tentu bukan hanya antar suporter yang bisa baku hantam, pihak keamanan pun (seperti polisi dan tentara) pasti akan terlibat. Kalau kerusuhan tidak bisa direda, polisi bisa saja menggunakan gas air mata yang membuat orang meninggal dunia, kan mengerikan kejadian seperti itu terjadi dalam dunia sepak bola.
Kembali lagi soal suporter sepak bola, jangan sampai hanya karena dalih nasionalisme membela tim kebanggaan, kebencian terhadap suporter lain justru terjadi. Inilah yang masih kadang menjadi problem, membenturkan antara nasionalisme dan rasa kemanusiaan. Karena saking cintanya, karena saking menggelora jiwa nasionalisme dalam dirinya, justru membuat buta dan jadi benci pada orang yang bukan dari kelompoknya atau bukan dari orang satu suporter dengannya.
Inilah yang dinamakan Bung Karno nasionalisme chauvinist atau nasionalisme sempit, mencintai negara sendiri atau mencintai daerah sendiri, tetapi melalaikan unsur kemanusiaan di dalamnya. Berani menjajah negara lain hanya untuk memakmurkan negaranya sendiri. Tujuannya sih mungkin bagus-bagus saja, tetapi caranya itu lho yang keliru.
Misalnya penjajahan bangsa Belanda di Indonesia yang kurang lebih 350 tahun. Belanda memang mempunyai rasa nasionalisme terhadap negaranya, ingin memakmurkan rakyatnya, mengurasi hasil kekayaan Indonesia demi kebutuhan rakyat Belanda. Itu memang bentuk nasionalisme Belanda. Tetapi cara Belanda untuk menjajah Indonesia, menguras kekayaan bangsa Indonesia, tidaklah bisa dibenarkan dalam alam jagad ini. Jadi pertanyaannya, apakah Belanda waktu itu tidak memiliki rasa nasionalisme? Jawabannya memiliki, tetapi nasionalisme yang dianut itu adalah nasionalisme chauvinist. Nasionalisme seperti itulah yang sangat ditentang oleh Bung Karno karena tidak ada unsur kemanusiaan di dalamnya.
Makanya nasionalisme yang dianut Bung Karno adalah nasionalisme kemanusiaan (gabungan antara nasionalisme dan internasionalisme). Ungkapan Bung Karno tentang nasionalisme, "nasionalisme hanyalah dapat hidup subur di dalam taman sarinya internasionalisme. Internasionalisme hanyalah dapat hidup subur jikalau berakar dari buminya nasionalisme. Dua ini harus wahyu-mewahyui satu sama lain."
Maka nasionalisme kemanusiaan yang harus dan paling penting dipegang teguh para suporter sepak bola kita. Lagian juga Bung Karno sendiri sudah mencontohkan pada kita semua kok. Bukan hanya dalam konteks suporter sepak bola, nasionalisme kemanusiaan selamanya patut dimiliki di mana dan dalam keadaan apapun. Bukan berarti ketika memiliki nasionalisme kemanusiaan justru mengalah dan siap ditindas oleh orang lain, bukan sama sekali seperti itu. Tetapi nasionalisme yang benar-benar mencintai kemanusiaan namun menghindarkan unsur kebencian dan penindasan di dalamnya.
Karena paradoks juga kalau membenturkan antara kemanusiaan dan penindasan. Ia bagaikan minyak dan air yang tak mungkin bisa bersatu. Artinya tidak mungkin ada rasa kemanusiaan kalau ada unsur penindasan di dalamnya, dan begitupun sebaliknya.
Jadi mari semua belajar, mulai dari pemerintah, pihak keamanan, dan para suporter sepak bola untuk mengedepankan rasa nasionalisme kemanusiaan. Tidak ada nyawa yang lebih berharga ketimbang sepak bola. Janganlah pernah membawa konflik-konflik daerah dalam ranah suporter sepak bola, jangan hanya karena merasa unggul pada daerah sendiri, justru mengundang kebencian terhadap daerah lain. Kalau pikiran-pikiran seperti itu masih berlaku, maka betul kata Bung Karno, perjuangannya lebih mudah karena mengusir penjajah, sedangkan kita sebagai generasi masih berkonflik sesama saudara sendiri, berantem sesama saudara sendiri. Miris bukan.
Video yang Mungkin Anda Sukai.