Muhammadiyah sebagai Gerakan Politik Advokatif

Candra Kartiko | David Efendi
Muhammadiyah sebagai Gerakan Politik Advokatif
Aksi anak Muda untuk tanggulangi krisis Iklim (Dok. Pribadi/ davidefendi)

Muhammadiyah sebagai gerakan multiwajah itu semakin kokoh dengan peranannya. Aksi pelayanan di berbagai bidang menjadi satu kekuatan tak terbantahkan sejak awal sampai akhir abad pertama Muhammadiyah. Abad kedua, tantangan tidak semakin ringan hidup dalam ekosistem pasca industrial dengan ditandai kerusakan lingkungan hidup dan merosotnya penegakan hukum dan HAM bukan hanya skala lokal atau nasional, tapi di level global. Tatanan global cenderung tidak adil dan tak ada yang berani memperkarakannya.

Kesempatan baik ini, perlu sekali menarasikan bagaimana Muhammadiyah sebagai gerakan politik advokatif yang menjadi pelengkap dari sekian wajah lain gerakan Muhammadiyah yang berwatak ideologis maupun teologis, watak sosial keagamaan, dan gerakan moral etis.

Dengan adanya majelis hukum HAM, MPM, LHKP, MLH, MDMC, maka sejatinya Muhammadiyah juga punya wajah advokatif yang menonjol pada dasawarsa pasca reformasi. Langgam gerakan Muhammadiyah selalu dinamis walau kadang involutof. Pada awal reormasi muncul politik politik alokatif era Dien Syamsuddin, politik adiluhung pada saat kepemimpinan Amien Rais dengan politik menjaga jarak yang sama, menjaga kedekatan sama dengan parpol pada zaman Dien Syamsuddin, lalu pada era Haedar Nashir semua dipayungi dalam “moderasi” politik Indonesia.

 Meredupnya marwah politik Muhammadiyah akibat kedekatan dengan istana (Hamzah Fansuri, 2022) dalam tulisannya di conversation Indonesia adalah cara membaca dengan kacamata helicopter. Ada fakta gerakan kritis yang tak pernah padam di Muhammadiyah merespon gerak oligarkis negara/pasar. Saya mencoba mengafirmasi dengan perspektif empirik dari dalam sebagai refleksi. Wajah baru yang harus dibaca dengan kaca mata cacing yang sangat perlu dikenali sebagai sebuah sebuah gerak pembaharuan dalam konteks dakwah kebangsaan wabil khusus merespon gulita keadaban politik dan immoralitas kekuasaan.

Dengan nalar advokatif berbasis akademik dan evidance based advocacy beragam persoalan kebangsaan seperti ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan pembangunan, keadilan iklim, korupsi, peretasan, sumber daya alam, dan menguatnya cengkraman oligarki di dalam menentukan berbagai macam kebijakan yang berimplikasi pada kehidupan secara luas yang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hampir semua hal dibicarakan, diperhatikan dan diupayakan koreksinya oleh Muhammadiyah di saat yang sama juga sibuk membantu negara dengan melayani warga masyarakat dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, kebencanaan, dan pengurangan resiko wabah covid-19. 

Nalar Baru Politik Advokatif Muhammadiyah

Politik advokatif adalah kerja dakwah kebangsaan sebagaimana amanah PHIWM. Nampaklah 5 tahun terakhir ini disimbulkan oleh jangkar kekuatan yang di dalam kepemimpinan Muhammadiyah yang dikomandani oleh Busyro muqoddas, ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Hukum Ham dan kebijakan publik(politik). Sosok yang saraf takutnya sudah hilang. Bergerak tanpa takut resiko.  Sosok Busyro Muqodas sebagai aktivis Muhammadiyah 24 karat yang dimulai dari ortom, kaki advokasi akademik, Muhammadiyah maupun di kaki organisasi pelajar dan kemahasiswaan menjadi citra integritasnya sangat kuat. Modalitas yang banyak itu mendorong gerak daya kreatif dakwah bidang politik ini.

Karakter Politik Advokatif

Pertama, karakter politik advikatif Muhammadiyah adalah karakter yang tidak partisan. Muhammadiyah bisa saja berkolaborasi dengan partai politik dalam arti cari jalan keluar untuk kepentingan kepentingan bangsa yang lebih besar tapi tidak menjadi subordinasi dari kepentingan partai politik tertentu(obyek). Netral aktif dan menjadi mitra kritis pernah menjadi spirit penting di Muhammadiyah. Saya kira klausul, menjaga jarak yang sama dan menjaga kedekatan yang sama dengan partai politik adalah konsensus yang masih berlaku hingga hari ini. Bisa ditengok, dalam pesan panduan Islam warga Muhammadiyah juga disebutkan hal-hal terkait dengan kekuatan advokasi yaitu kekuatan moral kebangsaan. Slowly by sure, Muhammadiyah telah bercitrakan gerakan moral politik sejak pasca Suharto lengser keprabon.  

Kedua, politik advokatif sebagai gerakan moral etis Muhammadiyah. Penciptaan peradaban dimulai dari ruang etis adalah penanda gerakan pencerahan. Gerakan moral inilah yang menjadi suluh di dalam melakukan advokasi di tengah masyarakat yang sangat beragam dan timpang secara multidimensional. Salah satu nalar moral etis yang di bantu oleh nilai-nilai etika agama dan nilai-nilai solidaritas sosial serta kepatuhan pada konstitusi sehingga Muhammadiyah di dalam melakukan advokasi selalu berpanduan pada akhlak dan etika yang luhur.  Nalar etis-konstitusional. Sebagai contoh, pada saat geger geden perkara omnibus Law yang mau disahkan DPR (dengan aksi penolakan maha hebat) Muhammadiyah memberikan pandangan akan penhkhianatan konstitusional dengan memberikan draft kajian omnibuslaw yang mensyarakan penerbitan perpu penundaan pemberlakuaan UU Ciptakerja.

Wacana gerakan perlawanan pun akan melakukan perlawanan atau makar secara konstitusional dengan berbagai macam bahasa simbolik. Muhammadiyah berdiri menegakkan konstitusi dan melawan para perusak konstitusi. Kalau diplototi, karakter ini sangat clear and clean sehingga berbeda dengan kelompok yang mau perpanjangan jabatan dengan penundaan pemilu presiden memang bukan hanya tidak etis tetapi inkonstitusional.

Ketiga adalah kekuatan nalar penegakan keadilan dan hak asasi manusia. Hal ini sangat sangat kentara sekali ketika Muhammadiyah melakukan advokasi kadus terorisme, kasus setan tanah korporasi di pakel (Banyuwangi) di Wadas dimama di lokasi tersebut tidak ada warga Muhammadiyah tetapi Muhammadiyah toh juga diterima oleh masyarakat, oleh warga para pejuang yang mempertahankan tanah airnya sebagai sumber kehidupan berhadapan dengan korporasi perkebunan Milik Swasta. Sama dan sebangun, krisis kemanusiaan di Wadas. Kenapa Muhammadiyah hadir perlu dijelaskan. Di Wadas, jangankan ranting, simpatisan Muhammsdiyah tidak ada. Hal itu menunjukkan ketidak urgensi Muhammadiyah terlibat di dalam membela korban kekerasan dan korban pelanggaran HAM.

Untuk mensikapinya, PP Muhammadiyah mengutus tim ke Banyuwangi dan wadas karena bagi Muhammadiyah spirit menolong masyarakat yang terdzolimi bagian spirit al-maun dengan pembebasan (liberasi) sebagai salah satu kekuatan yang sangat menonjol sehingga membela manusia, membela korban itu bersifat imparsial bisa untuk siapa saja tanpa harus menunggu mereka itu bagian dari anggota Muhammadiyah atau bukan. Watak seperti ini adalah watak asli yang dimiliki oleh Muhammadiyah yakni tidak eksklusif dan moderat progresif.

Inilah nalar rahmatan lil alamin. Moderat dalam kontek membela itu sudah harus punya basis data punya basis informasi yang valid yang objektif kemudian menemukan solusi kreatif humanis. Jelaslah, pendekatan-pendekatan yang manusiawi sehingga itu yang disebut dengan watak tetap independen dan progresif moderat. Tidak anti pemerintah tentu saja tapi lebih punya watak dialogis di dalam perjuangan menegakkan keadilan dan hak asasi manusia. 

Watak politik advokatif berikutnya adalah bahwa di dalam menyelenggarakan kegiatan advokasi Muhammadiyah bersikap kolaboratif dengan berbagai macam pihak yang punya visi yang sama. Muhammadiyah terlatih kerja bersama kekuatan-kekuatan Civil Society untuk bersama-sama menyampaikan apa yang menjadi persoalan dan sumbangsi apa yang bisa diberikan dari kekuatan kekuatan CSO. Muhammadiyah pernah punya pengalaman/terlatih kolaborasi dengan masyarakat sipil soal judicial review dan kolaborasi dalam perang melawan korupsi sumber daya dan juga kolaborasi di dalam yang paling mutakhir ini adalah judicial review untuk masalah ibukota baru (IKN) yang mana dari berbagai macam kajian dikumpulkan. Ternyata ada perkara-perkara yang bersifat formal yang bersifat politis yang bersifat oligarkis tentu akan menjadi sumbangsih Civil Society untuk berpartisipasi dalam keputusan publik itulah dia karena tanpa partisipasi sebetulnya demokrasi kita betul-betul minus demos demokrasi adalah demokrasi yang lain, demokrasi yang tidak ideal atau demokrasi yang yang terdistorsi. 

Banyak hal penting untuk melihat situasi memudarnya atau melemahnya praktek demokrasi substantif yang ada di Indonesia bahkan yang prosedural saja semakin terancam karena pelaksanaan pemilu yang diancam untuk dimundurkan itu adalah bentuk represifitas terhadap demokrasi prosedural apalagi demokrasi substantif yang dibayangkan sebagai kebebasan politik, perlindungan minoritas jaminan independensi yang bebas dan kelompok-kelompok rentan yang harus diproteksi secara ekonomi dan lain-lain dan sebagainya.   

Banyak sarjana sudah memberikan legitimasi bahwa demokrasi di negara ini kalau dipotret dengan kacamata cacing maupun kacamata helikopter sebetulnya akan menunjukkan satu informasi yang saling melengkapi secara umum yaitu fakta akan problem-problem demokrasi sangat kentara masalah-masalahnya dari dalam kekuasaan. Unsur CSO menjadi bagian dari warga tentu saja bisa merefleksikan bagaimana ancaman terhadap demokrasi, partisipasi masyarakat yang semakin menyempit atau tersumbat karena adanya gurita pemerintah yang merasa tidak membutuhkan kekuatan demokrasi partisipatif dalam menentukan arah kebijakan bahkan ada kecenderungannya menyuapi kelompok-kelompok pengusaha dengan fasilitas mewah plus karpet merah. Rakyat auto-termarginalkan.

Dengan adanya persoalan-persoalan yang sangat kompleks yang dihadapi bangsa Indonesia (rakyat) akhir-akhir ini termasuk kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng sebagai perkara sederhana tetapi ternyata di tangan pemerintah menjadi rumit akibar tidak bisa menghadapi mafia minyak goreng. Publik menerkam minyak goreng sebagai komoditas politik adalah bagian dari jejaring kekuasaan politik, bagian dari skema oligarki partai politik yang mana telah menjadi bagian normal dari oleh bisnis kartel yang selama ini beroperasi secara ganjil.

Inilah sumbangsi politik advokasi Muhammadiyah memberikan secercah harapan bahwa demos politik berbasis Kewargaan Muhammadiyah yang sangat independen. Islam with progress (Permata, 2020) memperlihatkan dimensi kekuatan kemandirian ekonomi menjadi menjadi kekuatan, menjadi daya tahan tersendiri (self reliance) saat Muhammadiyah merespon kebijakan pemerintah. Bagaimana Muhammadiyah berhadapan dengan negara yang relasinya memang sangat dinamis, relasi Muhammadiyah dengan kekuatan negara adalah relasi yang tidak selalu simetris atau sangat kritis di setiap periode kekuasaan.

Faktanya, Muhammadiyah bertahan dari berbagai tipologi rezim sejak zaman kolonial Orde Lama, orde baru, pasca reformasi (1999 sd 2014) dan di zaman sekarang yang barangkali bisa disebut sebagai rezim orde oligarkis. Sebagai kekuatan CSO, Muhammadiyah diuji daya tahannya terus menerus.  Kerja masyarakat sipil kekuatan CSO masih panjang. Masih banyak agenda-agenda dan hambatan hambatan yang harus dihadapi untuk menunjukkan kemajuan di bidang demokrasi dan kesejahteraan yang ada di Indonesia Muhammadiyah sudah bekerja sangat serius, 100 tahun lebih Muhammadiyah sibuk membantu masyarakat sipil dan mudah-mudahan negara tidak melakukan hal yang sebaliknya: melemahkan kekuatan civil society

Video yang mungkin Anda suka

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak