Hari Ibu 22 Desember, Catatan Refleksi di Akhir Tahun 2022

Hayuning Ratri Hapsari | Wahyu Tanoto
Hari Ibu 22 Desember, Catatan Refleksi di Akhir Tahun 2022
Ilustrasi kartu perayaan Hari Ibu (Unsplash/Ijaz Rafi)

Setiap tahun, pada 22 Desember seluruh bangsa Indonesia memperingati Hari Ibu sebagai bentuk perenungan agar kita mampu mengingat kembali peran, kontribusi dan jasa-jasa perempuan.

Penetapan Hari Ibu tak lepas dari latar belakang sejarahnya yang mengacu pada Kongres I Perempuan Indonesia di Jogja pada 22 Desember 1928.

Kongres tersebut memiliki tujuan untuk menyatukan organisasi perempuan, memajukan mereka, dan merumuskan agar perempuan makin berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia. 

Lalu bagaimana dengan kondisi perempuan sekarang, masihkah ada masalah yang dialami kaum perempuan?

BACA JUGA: Jarang Orang Tahu, Ternyata Begini Sejarah Hari Ibu di Indonesia

Saat ini, tidak bisa dimungkiri jika peran-peran perempuan dalam era digital semakin terlihat dan tidak dapat dianggap remeh. 

Ada yang menjadi menteri, bupati/walikota, kapolres, jaksa, lurah, sopir, pendidik/guru, dosen dan bahkan ada pula yang menjadi ketua RT.

Hal ini tentu tidak lepas dari akses dan kesempatan yang luas dalam bidang pendidikan. 

Hemat penulis, apa pun peran yang disandang perempuan tampaknya wajib kita hormati dan kita jaga agar mereka selalu memiliki kontribusi dalam proses perencanaan pembangunan.

Meskipun begitu, tampaknya perjuangan kaum perempuan masih belum selesai yaitu memutus mata rantai kekerasan berbasis gender dan memiliki tantangan mereduksi "mitos" sebagai makhluk inferior (lemah). 

Sejauh pengalaman penulis berinteraksi dengan kaum perempuan di tingkat komunitas akar rumput, saya merasa cukup memahami berbagai masalah yang masih "membelenggu" perempuan. 

Mulai dari KDRT, Kekerasan Dalam Pacaran, Kehamilan Tidak Direncanakan (Unplanned Pregnancy), hingga masalah perdagangan orang (human trafficking), dan kerentanan perempuan sebagai korban kekerasan. 

Tampaknya peran domestiknya sebagai seorang Ibu telah banyak menyita waktu dan energinya, bahkan waktu untuk dirinya sendiri terkadang juga dirampas oleh situasi dan kondisi dengan berbagai kompleksitasnya. 

BACA JUGA: 12 Artis yang Merayakan Hari Ibu Pertama Kali Pada Tahun 2022, Ada Idolamu?

Hadirnya aturan perundang-undangan seperti UU P-KDRT 2004 sampai dengan UU TPKS yang belum lama ini disahkan oleh DPR RI, memang menjadi tambahan kekuatan bagi perempuan agar mampu melepaskan diri dari belenggu sistem patriarki, yaitu sistem yang menganggap bahwa laki-laki lebih berkuasa atau berwenang daripada perempuan. 

Penulis menyadari bahwa mengubah paradigma menjadi adil setara membutuhkan "energi" dan spirit yang perlu dibangun terus-menerus.

Mengingat, hal itu sangat berkaitan dengan ego dan akibat yang berdampak pada benefit (keuntungan) yang didapat oleh lali-laki selama ini. 

Oleh karenanya, penulis memandang perlunya menggelorakan kembali semangat gerakan sosial sebagai bentuk pembelaan terhadap kaum perempuan agar selalu berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan pembangunan, mulai dari level kalurahan hingga nasional. 

Waktu dan proses musyawarah perencanaan pembangunan di desa juga perlu dipikirkan kembali formatnya, agar perempuan dapat terlibat secara optimal.

Rapat-rapat yang biasanya dilakukan malam hari hanya karena ingin mengakomodasi laki-laki perlu segera diubah agar perempuan juga terlibat-dilibatkan agar tidak ada lagi kalimat yang mendiskreditkan perempuan.

Misalnya yang kerap didengar "sudah diundang namun tidak hadir". Namun, di sisi lain tidak pernah dicari akar penyebabnya kenapa tidak hadir. 

Agar peran perempuan semakin optimal, para pengambil kebijakan bisa menggunakan metode daring alih-alih seremonial-konvensional, agar bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan hak-hak warga negara agar bisa berpartisipasi dalam pembangunan dapat terwujud. 

Negara, dalam hal ini pemerintah juga memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa (sebagaimana amanat UU 1945), salah satunya dengan menyediakan layanan pendidikan dan pendampingan berkelanjutan yang berkualitas bagi perempuan.

Bukan seperti sekarang yang rata-rata lebih mementingkan kuantitas atau jumlahnya dan terkesan cenderung "merumahkan" perempuan. 

Sebagai catatan penutup, penulis berharap agar di masa mendatang tidak ada lagi perempuan yang menjadi korban kekerasan, dan semakin banyak  perempuan yang bersedia tampil ke publik sebagai pengambil kebijakan. 

Karena, perempuan yang berdaya akan mampu mengambil peran dan berpartisipasi aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Selamat Hari Ibu untuk perempuan Indonesia. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak