Membaca suatu karya sastra sering diasosiasikan dengan kegiatan yang dilakukan oleh seorang pemalas. Selain itu ada lagi satu stereotip lainnya, yakni seorang yang menghabiskan waktu hanya untuk duduk diam, menyeruput teh dan hanya asyik membolak-balik buku bacaan tebal di hadapannya. Pendeknya, itulah penilaian umum yang ditujukan bagi pembaca sastra. Penilaian tersebut memberikan kesan bahwa membaca sastra adalah seorang yang suka dengan kegiatan bertele-tele dan membuang waktu.
Pada saat yang lain, potret itu akan begitu kontras jika dibenturkan dengan kenyataan hari-hari ini, yakni di hadapan zaman yang mendambakan segala sesuatunya berjalan pada prinsip 'cepat' dan praktis. Hingga kemudian, muncul sebuah pertanyaan umum kepada pembaca sastra. Pertanyaan tersebut yakni mengenai: apakah hari-hari ini membaca karya sastra adalah sesuatu kegiatan yang praktis dan relevan?
Pertanyaan tersebut tentu muncul dari anggapan umum tentang membaca karya sastra yang cenderung dilihat sebagai kegiatan yang membutuhkan waktu dan nampak kurang efisien. Oleh sebab penilaian itu, manfaat praktis dari membaca karya sastra menjadi sesuatu yang seakan kabur. Tentu untuk membuktikan hal tersebut akan lebih menarik jika kita mengujinya.
Dengan menyodorkan poin-poin manfaat yang dapat ditawarkan karya sastra kepada para pembacanya--yang harapannya--melalui itu, sedapat mungkin poin-poin yang akan dijabarkan dapat menambah cara pandang kita dalam melihat nilai manfaat dari membaca karya sastra.
Karya sastra meng-upgrade keterampilan bahasa pembacanya
Kita sudah lebih dahulu tahu bahwa keterampilan berbahasa seseorang didasarkan pada 4 aspek, yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Dalam hal ini, membaca karya sastra dapat berhubungan langsung dengan peningkatan keterampilan berbahasa kita pada ke empat aspek tersebut. Sudah barang tentu, semakin banyak buku-buku fiksi atau sastra yang kita baca, hal tersebut punya kontribusi pada kemahiran kita dalam menggunakan suatu bahasa.
Kita dapat mengambil sebuah contoh. Seseorang pembaca sastra dapat saja menemukan istilah "kapotjes" ketika membaca cerita pendek karya Faisal Oddang, atau menemukan kata "melodia" ketika membaca puisi karya Umbu Landu Paranggi, hingga menemukan kata-kata yang baru yang lain melalui karya sastra yang lain pula. Penemuan-penemuan kosakata baru tersebut lah yang menjadi begitu mungkin. Ketika kemudian seorang itu mengartikulasikannya dalam kegiatan berbahasa, secara praktis seseorang tersebut telah mengambil suatu manfaat yang didapatinya dari kegiatan membaca karya sastra. Hal tersebut adalah semacam pengalaman menemukan 'bahasa' dan kemudian menggunakannya secara praktik.
Karya sastra sebagai pelarian emosi para pembacanya
Ketika membaca karya sastra, sudah barang tentu seseorang akan menenggelamkan seluruh perhatiannya pada teks di hadapannya. Untuk sementara waktu, perhatian itu akan terpisah dari kenyataan yang sedang terjadi di luar aktivitasnya menggauli teks bacaan. Sederhananya, teks sastra mengajak seseorang mengalami 'waktu' yang sedang terjadi kini. Tidak lain dan bukan adalah teks dan kegiatan membaca itu sendiri.
Fokus dari kebiasaan tersebut lah yang dapat melatih seseorang memiliki perhatian untuk mengkondisikan pikiran dari segala macam distraksi. Pergumulan seseorang dengan teks yang tersaji dalam karya sastra seiring waktu dapat menumbuhkan daya berpikir yang terpusat dan terhubung dengan kekinian.
Bersinggungan dengan pengalaman estetik
Pernahkah di tengah ketika kamu membaca karya fiksi muncul suatu decak kagum pada sesuatu hal, seperti, "saya tidak akan dapat membayangkan sebelumnya bagaimana keindahan burung Sringunting sampai ketika Ahmad Tohari mengisahkannya". Dalam hal ini, karya sastra menuntun pembacanya pada kesan yang membuat takjub. Sudah pasti kita bersepakat bahwa karya sastra sebagai buah pikir dari seorang pengarang sudah barang tentu termuat di dalamnya unsur estetik.
Keindahan yang terkandung dalam karya sastra dapat mempertemukan pembacanya pada pengalaman-pengalaman asing dan tidak terbayang sebelumnya. Hal itulah yang memunculkan kesan di dalam benak seseorang pembaca ketika bersinggungan dengan bacaan sastra. Pada saat yang lain, pengalaman estetik yang dialami seseorang dekat sekali hubungannya dengan apresiasi yang muncul sesudahnya.
Karya sastra sebagai katarsis
Manfaat dari membaca karya sastra selanjutnya datang dari fakta bahwa teks tersebut dapat mendorong pembacanya untuk beranjak dari suatu emosi dan merasakan ragam emosi yang lain. Keterangan tersebut memungkinkan seorang pembaca bisa 'melancong' dari suatu emosi di dalam dirinya sendiri, misalnya, dari emosi negatif yang jemu menuju suatu emosi lain yang lebih segar dan menggugah.
Hubungan karya sastra sebagai suatu bentuk pelarian emosi sebagaimana pernah diterangkan oleh T.S Eliot, ia mendasarkan pendapatnya pada esensi yang termuat di dalam dalam fiksi sebuah puisi. Ia menyebut bahwa "puisi bukanlah sarana pelepasan emosi, tetapi pelarian dari emosi; itu bukan ekspresi kepribadian, tetapi pelarian dari kepribadian. Tapi, tentu saja, hanya mereka yang memiliki kepribadian dan emosi yang tahu apa artinya ingin lepas dari hal-hal tersebut".
Untuk mendiskusikan pendapat Eliot tersebut, tentu saja akan lebih lengkap jika kita sandingkan dengan salah satu kutipan karya fiksi. Karena itu, mari kita simak kutipan dari salah satu karya epik Sapardi Djoko Damono, berjudul Hujan Bulan Juni berikut ini.
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu.
Ketika membaca kutipan di atas, pembaca begitu mungkin mendapati suatu emosi ketika memaknai kata demi kata dalam kutipan puisi tersebut. Kendati, kita sadar bahwa memaknai suatu puisi adalah perkara yang subjektif, tetapi dalam menjelaskan hal tersebut penulis menyodorkan pemaknaaan bahwa kutipan puisi tersebut menggugah suatu kondisi khusyu dan perasaan yang lengang.
Terbayang dalam kepala kita, jika seorang mengalami emosi berupa kejumudan, lalu dengan sengaja ia mencari pelarian kebosanannya itu melalui Hujan Bulan Juni-nya Sapardi, hingga pada akhirnya, suasana perasaan bosan itu sirna, berpindah pada suatu perasaan khusyu dan emosi yang benar-benar lain. Sepraktis itu fiksi dapat 'melarikan' seseorang dari dirinya sendiri.
Merasakan sosok seorang hero hingga seorang minor
Sebagai suatu tiruan dari dunia nyata, sebuah karya sastra begitu mungkin memuat representasi karakter manusia yang mendekati kesamaan dengan aslinya. Dari karakter seorang yang dominan hingga karakter seorang yang lemah. Karya fiksi menawarkan kepada pembaca suatu pengalaman untuk merasakan bagaimana kiranya menjadi sosok seorang hero dalam suatu cerita hingga menjadi seorang sosok yang hina dina.
Pengalaman dalam pembacaan itu diyakini membuka wawasan seseorang tentang hal-hal yang terjadi pada kehidupan. Begitu penuh makna yang bisa dipetik. Karya sastra selalu menawarkan manfaatnya kepada kita. Pada saat yang sama nilai 'kepraktisan' itu selalu disodorkan karya sastra kepada para pembacanya. Oleh karena itu, karya sastra akan selalu relevan untuk dibaca hari-hari ini—atau pun juga mungkin untuk hari-hari ke depan. Dalam zaman yang geraknya cepat, bukan kah manusia selalu butuh pelarian? Butuh imajinasi? Dan karya sastra selalu menawarkan hal demikian.