Isu perubahan iklim menjadi perbincangan hangat yang dibicarakan karena efeknya seperti cuaca ekstrem. Perubahan pola curah hujan hingga pemanasan global telah dapat dirasakan di seluruh dunia.
Banyak negara terkena dampak lebih awal dan lebih buruk dari negara lainnya karena faktor geografis letak negaranya, contohnya seperti negara-negara kepulauan di pasifik yang merasakan dampak signifikan dari kenaikan tinggi permukaan air laut dari tahun ke tahun yang penyebab utamanya adalah mencairnya es di kutub karena pemanasan global.
Menurut The Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate (SROCC) yang dibuat oleh The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) disebutkan bahwa permukaan laut rata-rata global kemungkinan besar akan naik antara 0,95 kaki (0,29 m) dan 3,61 kaki (1,1 m) pada akhir abad ini. Hal ini akan membuat kondisi di negara kepulauan pasifik semakin parah.
BACA JUGA:
Negara-negara kepulauan Pasifik seperti Marshall Islands, Kiribati, Tuvalu dan Tokelau sangat rentan terhadap dampak kenaikan tinggi permukaan air laut karena elevasinya yang rendah dengan luas daratan yang cenderung sempit sehingga kenaikan air laut akan sangat mempengaruhi penduduk yang populasinya banyak terkonsentrasi di daerah pesisir yang sumber perekonomiannya juga bergantung pada laut di sektor perikanan dan pariwisata di mana pantai dan laut memerankan peran yang krusial dalam roda perekonomian, sebagai hasil kenaikan air laut akan membawa dampak buruk bagi lingkungan dan berimbas kepada perekonomian negara-negara tersebut.
Tidak hanya membawa dampak buruk bagi negara-negara kepulauan di Pasifik, masalah ini juga membawa dampak buruk dalam skala global seperti:
- Mengancam keanekaragaman hayati dunia, Samudera Pasifik menutupi sepertiga permukaan bumi dan adalah habitat bagi banyak flora dan fauna, jika habitatnya rusak maka akan berimbas kepada terancamnya keanekaragaman hayati dunia.
- Potensi konsekuensi sosial, Samudera Pasifik mempunyai lebih dari 10% populasi dunia, hal ini menjadikan Samudera Pasifik rumah bagi banyak orang dan jika tempat tinggal mereka rusak maka akan ada banyak migran iklim karena mereka tidak punya pilihan lain selain pindah. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan migrasi global, yang dapat menimbulkan implikasi politik dan sosial.
Urgensi Politik Lingkungan
Kenaikan permukaan air laut di negara-negara kepulauan Pasifik memiliki dampak yang kompleks serta membutuhkan penanganan yang kompleks juga. Untuk menangani masalah ini dibutuhkan komitmen dan kerja sama yang terkoordinasi dengan banyak negara mengingat pemicu dari perubahan iklim adalah aktivitas manusia yang masif mulai dari aktivitas industri, agrikultur, transportasi dan sebagainya.
Politik lingkungan memberikan acuan terhadap cara pengambilan keputusan dan pengambilan tindakan oleh pemerintah, lembaga dan masyarakat yang sifatnya sensitif dan pro terhadap permasalahan lingkungan, termasuk juga dalam masalah kenaikan permukaan air laut ini.
Penanganan masalah ini membutuhkan komitmen, alokasi sumber daya, pembuatan serta penerapan sistem pro lingkungan yang tegas. Gerakan yang skalanya kecil saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim ini sehingga konsensus antar negara sangat diperlukan untuk membuat suatu kolaborasi untuk mengatasi masalah ini.
Perjanjian-perjanjian internasional yang telah disepakati bersama-sama untuk mencegah perubahan iklim telah banyak dilakukan namun efektivitasnya masih banyak diperdebatkan karena tantangan-tantangan seperti:
- Prioritas berbeda dari setiap negara, beberapa negara mungkin tidak menyetujui dan menjalankan aturan yang berkenaan dengan lingkungan karena memprioritaskan pertumbuhan ekonomi diatas lingkungan karena dianggap aturan-aturan lingkungan tersebut akan menambah biaya produksi sehingga merugikan industri mereka.
- Sulitnya penerapan aturan lintas batas, negara adalah aktor hubungan internasional yang berdaulat dan bertanggung jawab penuh dalam setiap keputusan yang diambil sehingga cenderung negara-negara tersebut dapat tidak menjalankan aturan yang telah disepakati dalam perjanjian internasional dengan mudah, bebas dan tanpa konsekuensi karena tidak ada rasa kewajiban yang harus dilakukan oleh mereka.
Perjanjian-perjanjian internasional lalu yang telah dianggap kurang efektif seharusnya menjadi pelajaran untuk pembentukan sistem, aturan dan mekanisme penerapan yang lebih baik. Contohnya seperti Kyoto Protocol yang dikritik oleh banyak orang sebagai perjanjian yang gagal dalam mengatasi masalah perubahan iklim karena aturannya yang tidak mencakup negara-negara penghasil emisi terbanyak termasuk negara berkembang dengan ekonomi terbesar dan pertumbuhan tercepat di dunia saat ini yaitu China dan India, hal ini juga membuat Amerika Serikat tidak meratifikasi perjanjian ini selain karena alasan bahwa perjanjian ini berpotensi untuk merusak ekonomi AS.
Selain masalah partisipasi, mekanisme sanksi di perjanjian-perjanjian ini juga harus diperjelas dan dipertegas karena dilihat dari Kyoto Protocol sampai Paris Agreement keduanya masih memiliki masalah yang sama yaitu ketiadaan sanksi yang signifikan yang bisa mengikat negara-negara tersebut untuk berpegangan teguh dan patuh terhadap janji mereka.
Diperlukan kesadaran, partisipasi, kolaborasi, komitmen, aturan dan batasan serta sanksi yang jelas antar negara agar perjanjian-perjanjian internasional mengenai masalah lingkungan bekerja secara efektif menangani masalah perubahan iklim termasuk masalah kenaikan tinggi air laut di negara-negara kepulauan Pasifik, karena penyebabnya juga merupakan akibat dari kontribusi banyak negara yang menyumbang emisi karbon penyebab perubahan iklim serta dampaknya juga kompleks dirasakan tidak hanya bagi negara-negara kepulauan di Pasifik saja namun juga membawa banyak dampak negatif yang dirasakan di seluruh dunia.