Parenting saat ini menjadi topik yang sedang populer menjadi pembahasan oleh sebagian besar kalangan. Hal ini dapat menjadi catatan penting jika setiap orang telah menyadari jika saat ini kondisinya sudah berbeda, bahwa anak-anak memerlukan perhatian dan kasih sayang serta kelekatan dalam pengasuhan.
Sebagaimana diketahui, bahwa Toxic Parenting merupakan pola asuh yang tidak mencerminkan penghormatan dan memperlakukan anak secara tidak hormat sebagai individu. Artinya dalam pengasuhan toxic ada hubungan yang tidak setara atau dalam istilah lain disebut sebagai relasi kuasa antara pengasuh dan yang diasuh.
Sebaliknya saat ini sedang gencar dimana-mana gerakan pengasuhan anak menggunakan pendekatan parenting. Karena di dalam pengasuhan ini, anak dipandang sebagai manusia seutuhnya yang mengedepankan nilai-nilai humanisme atau berdasarkan kemanusiaan.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, parenting dipahami sebagai sebuah interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak dengan tujuan mendukung perkembangan fisik, emosi, sosial, intelektual, dan spiritual.
Dalam hal ini bahwa parenting terjadi sejak anak masih berada dalam kandungan hingga ia dewasa. Bahkan ada sebagian kalangan yang menyebut dimulai sejak memilih calon istri/suami.
Bagi orang-orang yang memilih memiliki anak, seyogianya mempunyai bekal pemahaman yang lengkap terhadap isu hak tumbuh kembang anak agar semaksimal mungkin terhindar dari "toxic parent", atau orang tua yang sewenang-wenang dan tidak menghargai keterlibatan anak, perasaan dan pendapat anak.
Hemat penulis, bahwa orang tua yang toxic biasanya memiliki tanda-tanda, antara lain; mendahulukan diri sendiri, tidak bisa memperlakukan anak dengan baik, terlalu menguasai, dan terus-menerus menyalahkan dan memberikan pelabelan negarif pada anak (cengeng, penakut, bandel, dll).
Menurut Mona Iswandari, dari Perkumpulan Mitra Wacana Yogyakarta, organisasi yang memiliki konsen terhdap isu anak dan perempuan dalam perbincangan dengan penulis beberapa waktu yang lalu bahwakan menyebutkan jika anak-anak yang menjadi korban yang toxic rentan menjadi pribadi insecure; misalnya membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, biasanya mengalami kecemasan, dan bahkan menjadi depresi. Kabar buruknya efek tersebut bisa berlangsung hingga anak tersebut dewasa.
Menurut Psikolog, Sri Juwita Kusumawardhani, menyebutkan bahwa ada sebagian dari kalangan orang tua yang berpikir bahwa kebutuhan anak hanyalah makan, minum, rumah, atau sekolah. Namun sebenarnya anak-anak tidak hanya memiliki kebutuhan fisik, melainkan juga kebutuhan emosional.
Upaya menghentikan toxic parenting
Pertama, menemu kenali pola asuh yang Ideal. Pilihan menjadi orang tua bukanlah peran yang sangat mudah, hampir selalu melahirkan konsekuensi logis. Sebagai orang tua bisa memulai dengan belajar menganalisis sisi positif dan negatif dari pola asuh orang tua kita sebelumnya, lalu menemukenali mana yang akan dilanjutkan dan bagian apa yang perlu dihentikan.
Atau bisa juga memulai dengan membaca buku-buku parenting, mengikuti kegiatan-kegiatan yang membahas pola asuh (baca seminar parenting), atau konsultasi dengan ahlinya. Selain itu, perlu membangun kelekatan (bonding) antara orang tua dan anak dalam setiap proses pola asuh.
Hemat penulis, orang tua juga perlu menyadari jika anak membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri atau untuk bertemu dengan teman sebayanya. Meminta maaf pada anak juga perlu dilakukan oleh orang tua kepada anak dan memberikan pujian terhadap anak.
Selain itu orang tua perlu belajar menghindar dari perilaku yang memberikan pelabelan negatif pada anak, misalnya sengan sebutan-sebutan; "dasar cengeng, merepotkan, penakut, manja" dan cap negatif lain yang kerap kita jumpai.
Kedua, mencoba melihat sisi positif dan negatif orang tua. Sebagaimana disadari bahwa bahwa setiap orang pasti mempunya sisi positif maupun negatif dalam hidupnya, termasuk orang tua terdahulu.
BACA JUGA: Nasib Kaum Marjinal: Korban Politik Pasif Politisi
Jika di masa lalu sebagai anak pernah mendapatkan model pendidikan yang "keras" atau menormalkan tindakan kekerasan, maka saat ini perlu segera diubah agar tidak mewariskan perilaku toxic pada anak. Jangan sampai, sebagai orang tua justru terjebak pada siklus kekerasan atau melanggengkannya.
Ketiga, melakukan konseling sebelum menikah. Saat ini perbincangan konseling pranikah menjadi topik diskursus oleh berbagai kalangan. Hal ini penting dilakukan oleh setiap pasangan yang memutuskan untuk menikah, karena konseling pranikah disinyalir dapat mengurai kerentanan-kerentanan konflik dalam ikatan pernikahan. Dengan begitu, setiap pasangan dapat melakukan mitigasi risikonya.
Salah satu alasan mendasar mengapa orang disarankan melakukan konseling pra-nikah adalah mencegah pasangan suami istri mengulangi kesalahan orang tua di masa lalu atau "pengalaman traumatik" dan konflik yang dapat mempengaruhi pernikahan serta tidak menjadi toxic di kemudian hari.
Bagi penulis, upaya memutus siklus kekerasan merupakan salah satu bentuk lain berdamai dengan diri sendiri. Memang hal ini tidak selalu mudah untuk dilakukan, apalagi telah menjadi habbit yang dianggap wajar.
Bahkan ada studi yang menyebutkan, anak-anak yang pernah menjadi korban orang tua yang toxic berisiko menjadi toxic bagi anak-anaknya di masa depan. Dengan memberikan konseling pranikah, hal ini dapat membantu calon orang tua meminimalisir-untuk tidak menyebut menghapus- trauma atau konflik yang dimungkinkan ada pada diri mereka.
Sebagai catatan penutup penulis ingin menggaris bawahi satu hal bahwa toxic parenting tentu tidak baik jika dibiarkan, apalagi dibiasakan menjadi tradisi dan model percontohan pengasuhan. Oleh karena itu, kita semua tampaknya memiliki tanggung jawab moral yang untuk menghentikan mata rantai tersebut agar anak-anak bisa terhindar dari pengasuhan toxic. Jangan sampai anak-anak tumbuh dalam suasana toxic.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS