Sobat yoursay mungkin sudah hafal satu kalimat sakti yang selalu muncul setiap kali DPR atau pemerintah mengesahkan undang-undang kontroversial, “Kalau tidak setuju, silakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.”
Ucapan ini begitu sering diulang, sampai-sampai terasa seperti skrip otomatis yang tinggal diputar. Kritik soal pasal bermasalah? Judicial review. Kekhawatiran penyalahgunaan wewenang? Judicial review. Protes soal proses legislasi yang tertutup? Judicial review.
Pertanyaannya, sobat yoursay, kenapa negara yang digaji untuk membuat kebijakan justru melempar kembali tanggung jawab itu ke publik? Dan lebih penting lagi, kenapa kita menerima fenomena ini sebagai sesuatu yang wajar?
Judicial review bukanlah solusi praktis. Banyak pejabat menyebutnya dengan santai seolah semua warga bisa mengajukan JR seperti membeli pulsa di minimarket.
Padahal realitasnya tidak semudah yang dibayangkan. Judicial review membutuhkan tim hukum yang paham teori dan praktik tata negara, dokumen lengkap yang harus disiapkan secara detail, bahkan waktu yang tidak sebentar karena proses di MK bisa berlangsung berbulan-bulan,
KEtika pejabat berkata, “silakan gugat saja ke MK kalau tidak suka”, sebenarnya itu sama seperti mengatakan, “Kalau kamu merasa dirugikan oleh keputusan kami, ya selesaikan sendiri. Kami sudah selesai dengan tugas kami.”
Sobat yoursay, apakah ini bentuk pelayanan publik? Atau justru disengaja agar kritik berhenti di permukaan karena tidak semua orang punya kapasitas mengajukan JR?
Pengesahan RKUHAP adalah contoh segar bagaimana fenomena ini bekerja. DPR mengklaim prosesnya terbuka, melibatkan banyak pihak, padahal faktanya berbagai kelompok masyarakat sipil mengaku tidak pernah diajak diskusi secara substansial.
Ketika protes muncul karena pasal-pasal bermasalah, mulai dari penahanan, penggeledahan tanpa izin hakim, sampai potensi Polri jadi superpower, jawaban yang muncul lagi-lagi,
“Kalau tidak setuju, ajukan judicial review.”
Dengan kata lain, negara membuat aturan yang dampaknya akan dialami puluhan juta orang, tetapi ketika ada masalah, negara meminta orang-orang tersebut untuk menyelesaikannya sendiri.
Fenomena menyuruh publik mengajukan judicial review adalah strategi politik yang lebih halus dari era-era sebelumnya, dan ironisnya sering dianggap sebagai bentuk demokrasi.
Judicial review dijadikan tameng, seolah-olah negara demokratis karena memberi kesempatan warga menggugat. Padahal fungsi itu justru dipakai untuk menghindari dialog yang seharusnya dilakukan sebelum UU disahkan, bukan setelah semuanya telanjur jadi hukum positif.
Sobat yoursay, ini salah satu praktik politik yang paling jarang disorot, yaitu delegitimasi kritik dengan cara mempersilakan publik memakai mekanisme hukum yang sebenarnya tidak ramah akses.
Judicial review adalah mekanisme penting dalam negara hukum. Tapi jika semua kebijakan yang bermasalah selalu diarahkan ke JR, itu berarti parlemen tidak mau menanggung beban politik dari keputusannya sendiri.
Padahal setiap pasal yang disahkan seharusnya bukan hanya diuji secara legal, tetapi juga secara moral dan sosial.
Parlemen seharusnya bukan cuma berkata sudah sesuai prosedur, tapi juga mau merespons kritik secara substansial, bukan menyuruh publik pergi ke MK seperti memindahkan tugas rumah.
Sobat yoursay, demokrasi bukan hanya soal menyediakan jalur hukum ketika masyarakat terdesak. Demokrasi adalah soal bagaimana keputusan politik dibuat bersama, bukan disodorkan dan kemudian disuruh diselesaikan sendiri.
Fenomena ini mengajarkan bahwa kekuasaan tidak selalu mengabaikan kritik secara frontal.
Kadang justru mendengarkan, tapi sambil mempersilakan kritik itu disalurkan ke ruang lain yang jauh, panjang, dan melelahkan.
Di sinilah kita melihat wajah demokrasi Indonesia hari ini, bukan lagi otoriter yang memukul meja, melainkan birokratis yang berkata manis, “silakan judicial review.”
Pertanyaannya, sobat yoursay, apakah kita mau menerima pola ini sebagai kewajaran?
Atau sudah waktunya menagih tanggung jawab politik yang selama ini dipoles menjadi prosedur hukum semata?