Meminimalisir Konflik Agraria di Sektor Pertanahan dengan Kepastian Hukum

Candra Kartiko | JuJu Man
Meminimalisir Konflik Agraria di Sektor Pertanahan dengan Kepastian Hukum
Suasana lokasi sengketa lahan antara penggugat PT Semen Bosowa Maros (BSM) dengan tergugat Rusmanto. Sengketa ini disidangkan di Pengadilan Negeri Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id / Antara]

Konflik agraria masih sering terjadi di masyarakat terutama dalam masalah sengketa tanah antara masyarakat dengan korporasi dan masyarakat dengan masyarakat. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Bayangkan saja berdasarkan data dari Komnas HAM mencatat, jumlah aduan dugaan pelanggaran HAM berbasis konflik agraria mencapai 540 kasus pada tahun 2022 atau meningkat dua kasus aduan dari tahun sebelumnya. Sementara konflik agraria terbanyak terjadi di sektor pertanahan 424 kasus.

Bukan hanya itu saja disampaikan juga data dari catatan akhir tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), luasan wilayah terdampak konflik agraria pada tahun 2022 mencapai 1,03 juta hektar atau meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Lalu, sedikitnya 364.000 keluarga terdampak akibat konflik agraria.

Itu artinya, pemerintah harus memperhatikan kondisi ini agar tidak terus menerus terjadi dan merugikan masyarakat. Pemerintah sudah meluncurkan kebijakan pembuatan sertifikat tanah gratis untuk rakyat, harapannya itu berjalan efektif dan efisien dan masyarakat dimudahkan dalam proses pengurusannya. 

BACA JUGA: Merindu Gagasan Calon Presiden Kita

Masalah sengketa tanah bukan masalah sepele karena dapat menimbulkan gugatan di pengadilan bahkan aksi kekerasan yang dapat memakan korban. Kebijakan pemerintah mengenai pembuatan sertifikat tanah gratis yang masih berjalan sampai saat ini haruslah menjangkau masyarakat di pelosok daerah. Kementerian Agraria harus menurunkan personilnya ke desa-desa untuk sosialisasi pembuatan sertifikat gratis.

Ditambah lagi Perhutanan Sosial pun harus diperjelas, dimana hutan adat dikelola oleh masyarakat adat bukan korporasi. Pemerintah harus melindungi dan menjamin pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat setempat. Jangan biarkan korporasi sesuka hatinya mengambil hutan adat untuk kepentingan pribadi. Jangan sampai dikarenakan korporasi memiliki kekayaan sehingga membuat mereka mudah dalam mengambil tanah yang merupakan hak masyarakat adat.

BACA JUGA: Melihat Potensi Kerusakan Lingkungan Pascakonser Coldplay di Indonesia

Kepastian hukum terhadap tanah masyarakat adat harus diperjelas dan diperkuat. Pemerintah setempat harus mendukung masyarakat adat dan menjamin hak mereka. Terlebih dari itu, masyarakat adat difasilitasi dan diberikan sarana dan prasarana dalam pengelolaan hutan adat. Disosialisasikan mengenai jenis tanaman yang menghasilkan dan bermanfaat bagi mereka.

Peraturan perundang-undangan pun dibentuk secara jelas dan lengkap bahwasannya hutan adat merupakan hak masyarakat adat dan tidak diperkenankan pihak lain merampasnya. Terutama ancaman pidananya diperjelas bagi siapa saja yang ingin merampas hak masyarakat adat.

Dengan demikian, dapat meminimalisir terjadinya konflik agraria terutama dari sektor pertanahan. Melindungi hak masyarakat merupakan sebuah kewajiban dari pemerintah. Karena itu, masyarakat menunggu janji pemerintah dalam menciptakan iklim yang baik di sektor pertanahan terutama terhindar dari sengketa tanah antara masyarakat dengan korporasi. Semoga!!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak