Misteri Mahoni Tua: Penampakan Sosok Putih di Malam Sebelum Tragedi

Bimo Aria Fundrika | Tika Maya Sari
Misteri Mahoni Tua: Penampakan Sosok Putih di Malam Sebelum Tragedi
Dedaunan Pohon Mahoni (Doc. Pribadi/Tika Maya)

Shift malam dan kejahilan wangsa tidak kasat mata memang cukup lazim. Di daerah seperti ini, cerita begitu sudah jadi bumbu. Tapi bagaimana kalau kejahilan itu bukan sekadar menakut-nakuti, melainkan peringatan?

“Mbak, aku hang out dulu ya.”

Aku mengacungkan jempol ke Ko Liam, anak Cik Zhao Fei, yang sudah rapi dan wangi. Mesin motor matic-nya meraung, lalu ia melesat pergi, meninggalkanku sendirian di toko tepat saat azan magrib berkumandang.

Toko ini berdiri di tepi jalan raya antarprovinsi di daerah K, Jawa Timur. Di depannya hamparan sawah dan deretan pohon mahoni besar. Biasanya ramai. Truk, motor, klakson, orang lalu-lalang. Hidup.

Kecuali satu hal.

Satu pohon mahoni besar, diam, tegak, berdiameter sekitar 40 sentimeter. Pohon yang pada satu shift malam sebelumnya pernah “dihuni” poci alias pocong. Aku menggeleng, berusaha menepis ingatan itu.

“Kok tiba-tiba sepi ya. Sakarepmulah.”

Sesosok putih berdiri di dekat pohon mahoni itu. Mukanya berlumur darah. Matanya kosong. Dan yang paling salah: dia tersenyum.

Bukan cuma diam. Dia berjoget.

Kepalanya digeleng-gelengkan. Tubuhnya bergoyang ke kiri dan kanan, seirama entah lagu apa. Zumba. Poco-poco. Koplo. Gerakannya luwes, hampir ceria. Tapi justru itu yang membuat lututku lemas.

Lidahnya menjulur panjang.

Aku menutup mata. Paksa fokus ke bacaan sholat. Napasku memburu. Dingin tiba-tiba merayap dari telapak kaki, menusuk ke tulang. Udara berbau anyir, bercampur wangi bunga kantil yang menyengat. Setiap sujud terasa lebih berat dari biasanya.

Aku takut membuka mata.

Tapi dia ada.

Aku tahu.

Begitu salam terakhir terucap, semua lenyap. Seketika. Jalan kembali bising. Angin bergerak normal. Tak ada bau. Tak ada dingin. Tak ada pohon yang terasa “hidup”.

Seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Keesokan harinya, Cik Zhao Fei menyapaku dengan wajah kusut.

“Kamu lihat pohon mahoni depan toko yang hangus, nggak, Fris?”

Aku terdiam. “Lihat, Cik. Kok bisa?”

Cik Zhao Fei mengusap wajahnya. Suaranya berat.

“Tadi malam. Pick up muatan unggas nabrak pohon itu. Terbakar.”

Jantungku jatuh.

“Supirnya gimana, Cik?” tanyaku, suaraku nyaris tak keluar.

“Ya kebakar,” katanya singkat.

“Supir sama satu penumpang habis. Damkar datang dua mobil. Evakuasi baru kelar mau subuh.”

Aku menelan ludah. Ko Liam datang membawa ponsel. Video evakuasi diputar. Tubuh-tubuh hangus, nyaris tak berbentuk manusia. Aku memalingkan wajah.

“Supir orang daerah M, penumpangnya dari J,” kata Ko Liam. Matanya merah. “Aku lihat sendiri, Mbak.”

Menurut berita, pick up itu melaju kencang dari arah selatan. Menghindari motor, banting setir, menghantam pohon mahoni. Benturan mematahkan tulang-tulang mereka. Lalu korsleting. Api. Wush.

Terlambat.

Sampai sekarang, bertahun-tahun kemudian, pertanyaan itu masih menempel di kepalaku.

Poci berdarah yang menari riang malam itu…apakah dia cuma menakut-nakuti?

Atau sebenarnya sedang memberi tanda, bahwa sebentar lagi, dua nyawa akan berhenti tepat di bawah pohon yang sama.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak