Shift malam itu penuh suka dan duka. Sukanya karena hawa yang adem dan nggak panas, serta penjual makanan lebih bervariasi. Dukanya? Sering ada yang jahil.
“Lho, Mbak? Sampeyan shift malam kah hari ini?” tanya Mak Sih, seorang penjual nasi goreng di dekat toko.
“Iya, Buk.”
Kami lalu berbasa basi sejenak sebelum Mak Sih kembali ke lapaknya yang sudah full pembeli. Dan aku lanjut membereskan toko, entah menata barang-barang yang belum tertata, cek stok opname, hingga melayani pembeli.
“Wey, gila!”
Jantungku serasa mau copot sewaktu televisi di toko menyala tiba-tiba. Padahal nggak ada orang sama sekali, kecuali aku. Cik Zhao Fei dan Ko Liam sedang berada di rumah mereka yang berjarak 50 meter dari sini. Ditambah lagi, remot tv masih anteng di dalam laci.
“Apa konslet ya?” gumamku.
Langsung saja kuambil remot dan mematikannya. Belum sampai remot kembali ke peraduannya, satu gulung kabel listrik yang ada di atas etalase jatuh dan menggelinding.
“Padahal tempatnya di tengah, bukan di pinggir. Apa kesenggol tikus?”
Saat aku mengembalikan kabel listrik tersebut ke atas etalase, tumpukan buku dan nota-nota di atas meja kasir beterbangan, berserakan. Nggak ada angin, nggak ada hujan, kipas angin pun nggak menyala.
Tengkukku meremang, merinding. Tiba-tiba hawanya menjadi sunyi sekali. Riuh kendaraan di jalan raya depan sana seakan terhenti, bahkan barisan semut yang kerap ada pun enggan patroli. Betul-betul macam nggak ada kehidupan disini.
“Apa aku lari saja, ya?”
Itu bunuh diri. Kalau Cik Zhao Fei melihat, bisa-bisa aku dicecar pertanyaan-pertanyaan rumit, atau yang terburuk ya potong gaji. Haha, realita karyawan toko.
Jadilah aku berjongkok dan memunguti lembaran-lembaran nota, dan buku-buku penting sebelum menatanya kembali di atas meja kasir.
Daripada aku terjebak dalam situasi ngeri ini, bukankah lebih baik menyetel lagu disko, hip dut, atau koplo sekalian, ya kan?
Namun, belum sempat aku meraih ponsel, mataku langsung tertuju ke sudut toko yang lebih remang. Aneh. Sorot lampu selalu sampai ke segala sudut karena Watt-nya besar, tapi kali ini nggak.
Satu sudut itu serasa terasing, terisolasi. Macam dunia lain di dalam toko ini.
“Wah, sial! Sialan! Babi!”
Mulutku spontan mengumpat segala umpatan dari beragam bahasa yang kutahu. Bahasa Jawa, Indonesia, English, bahkan Korea, campur menyatu seperti bubur ayam yang diaduk.
Jantungku berdentam nggak karuan, badanku serasa kaku enggan digerakkan, dan mata nggak mau dikedipkan saat mendapati sosok perempuan bergamis putih nangkring di langit-langit sudut tersebut. Posenya mirip Spiderman yang nyantai di jaring laba-laba, dengan wajah tertutup rambut panjang.
“Babi, kau!”
Aku tahu, dia bukan babi atau celeng alias babi hutan. Bukan juga manusia seperti aku. Situasiku betulan nge-freeze, nggak bisa bergerak. Kalau orang Jawa bilang, kamitenggengen.
“Demit ora ndulit, setan ora doyan. Pu jopa japu tai asu!” Begitulah batinku merapal mantra ala-ala. Siapa tahu dia pergi.
Toh kata orang-orang sepuh, setan itu dipisuhi (diumpati dalam bahasa Jawa) supaya lekas pergi karena malu.
Heh, sejak kapan setan punya rasa malu?!
Hingga beberapa saat kemudian, mataku akhirnya mau diajak berkedip. Dan sosoknya lenyap. Sudut toko yang semula gelap pun, kini telah terang tersorot cahaya lampu.
Jalanan yang lengang, kembali riuh. Serta pasukan semut pun kembali patroli.
Dia memang babi!
Begitulah umpatanku setiap kali aku teringat sosoknya. Seorang perempuan yang diam membisu, dalam balutan gamis putih panjang dan rambut panjang hitam.
Sampai sekarang, aku masih belum mengetahui wajah di sebalik rambutnya.
Entahlah, aku enggan memikirkannya lagi.