Kita sering berkoar tentang masyarakat miskin sebagai sebuah masalah sosial yang harus diatasi. Tidak sedikit, para caleg atau capres menjanjikan hal serupa tentang kemiskinan. Namun, selama ini apakah kita sudah tahu kehidupan nyata masyarakat miskin itu sendiri? Pernahkah kita menengok bagaimana masyarakat miskin itu bertahan hidup di tengah kemiskinannya?
Kemiskinan di Indonesia sendiri masih dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Kalau menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2023 lalu, masyarakat miskin masih diangka 25,90 juta orang. Dengan kata lain, dari sebelas orang di Indonesia itu ada satu orang miskin di dalamnya.
Ya, kemiskinan masih menjadi masalah yang serius hingga hari ini. Kalau petuah dari seorang antropog asal Amerika, yakni James C. Scott, masyarakat miskin itu diibaratkan ketika seseorang sedang berdiri tegak terendam air di pinggiran pantai hingga selehernya. Sehingga kalau ada ombak sedikit saja, kesenggol air dikit saja, si orang ini akan tenggelam. Dengan kata lain, masyarakat miskin itu sangat rentan dalam menjalani kehidupannya.
Oleh karenanya, untuk menghindari tenggelamnya dari ombak pantai itu, masyarakat miskin melakukan beberapa mekanisme survival dalam kelangsungan hidup mereka. Scott pernah meneliti masyarakat miskin petani di kawasan Asia Tenggara dan mengunggapkan beberapa mekanisme survival tersebut.
1. Mengencangkan Ikat Pinggang
Melalui karyanya yang telah diterjemahkan oleh LP3ES pada 1983, dengan judul “Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara,” ia mengungkapkan bahwa masyarakat miskin itu untuk bertahan hidup dengan menahan dan mengurangi makan mereka. Misalnya nih, kalau orang kelas menengah ke atas makan sehari bisa tiga hingga empat kali, masyarakat miskin hanya makan satu dan mentok dua kali sehari.
Tidak hanya pengurangan porsi, pengurangan gizi pun juga dilakukan oleh masyarakat miskin. Mereka tidak begitu memperdulikan rasa, kandungan gizi atau semacamnya, yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana makanan itu banyak, nasinya banyak, lauk dikit tidak menjadi masalah, itupun lauk dengan harga yang murah. Bahkan masyarakat miskin tidak begitu peduli minum vitamin atau semacamnya, selaku mereka bisa berjalan, obat tidak akan di minum.
2. Melakukan Alternatif Subsisten
Tidak semua masyarakat miskin itu kerjaannya hanya suka meminta-minta belas kasih. Dalam temuan Scott misalnya, masyarakat miskin untuk menambah pemasukan di keluarga, mereka akan melakukan ekonomi subsisten, melakukan kerja-kerja alternatif untuk menyambung hidup mereka.
Masyarakat petani misalnya, mereka yang mengandalkan tadah hujan hanya akan bisa panen dalam kurun waktu maksimal enam bulan, selebihnya mereka tidak dapat mengandalkan sawahnya. Nah, oleh karena itu di sisa enam bulan lainnya, tidak jarang masyarakat petani ada yang berdagang kecil-kecilan, menjadi kuli bangunan, dan berbagai pekerjaan kecil yang barang kali bisa menutupi kekurangan ekonomi mereka.
3. Memanfaatkan Jaringan Sosial
Menariknya lagi adalah masyarakat miskin adalah tipe masyarakat yang solid. Kenapa mereka begitu? Tujuannya sederhana, biar mereka bisa saling pinjam meminjam uang, bisa saling bantu, khususnya dalam keadaan yang genting, seperti ada anggota keluarga yang sakit.
Sesuatu yang nggak mungkin dilakukan oleh masyarakat miskin melakukan pinjaman ke bank atau semacamnya, karena mereka akan terlilit bunga yang begitu besar. Oleh karenanya, mereka memanfaatkan jaringan sosial mereka, baik ke tetangga maupun ke kerabat. Perkataan seperti “boleh dong pinjam seratus” adalah sesuatu yang tak terhindarkan.
Sedikit kisah ini barangkali dapat menjadi pemantik kepekaan sosial kita kepada masyarakat miskin di sekitar kita. Meskipun kita belum bisa membantu, setidaknya kita bisa peka, karena dengan itu kita tidak memperburuk kehidupan mereka.