Pengangguran masih menjadi masalah pelik bagi Indonesia, bahkan hingga hari ini belum ada solusi yang mampu meningkatkan angka tenaga kerja dan menghapus keresahan masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat temuan yang sangat mengejutkan, yaitu sekitar 9,89 juta penduduk yang masuk dalam kelompok Gen Z sedang menganggur.
Angka yang sangat mengejutkan, ‘kan? Lantas, separah apa situasi ini?
Hampir 10 juta Gen Z tergolong dalam kelompok Not Employment, Education, or Training (NEET) per Agustus 2023. Meskipun pada Februari 2024, jumlah pengangguran usia produktif ini berkurang sekitar 790 ribu penduduk, tetapi kita masih menghadapi masalah yang sama peliknya dengan tahun lalu.
Saat ini diperkirakan masih ada 7,2 juta penduduk yang menganggur. Angka ini didominasi oleh Gen Z yang berada di dalam golongan produktif. Situasi ini tentu menimbulkan polemik dan dinamika baru, seperti ekonomi yang lesu karena perputaran uang yang lemah akibat tingginya angka pengangguran.
Lantas, jika kita berada dalam situasi ini, apa yang harus kita lakukan?
Apa Solusi Bagi Gen Z yang Terjebak Polemik Pengangguran?
Gen Z tentu tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Pertumbuhan teknologi AI yang pesat tak sekadar memberi ancaman, tetapi juga peringatan agar manusia tetap berinovasi dan berkembang.
Kabar baiknya, kita hidup di era digital dengan kesempatan yang dapat ditemukan dalam genggaman tangan. Mulai dari internet, media sosial, hingga lingkungan pertemanan, kita dapat menjelajahi kesempatan baru untuk memperoleh penghasilan tambahan.
Sebagai generasi yang melek digital, Gen Z tidak akan kesulitan mengikuti arus perubahan teknologi. Namun, Gen Z masih membutuhkan wadah yang tepat untuk mengembangkan potensi dan menyalurkan ide mereka. Sebagai solusi praktis, Gen Z dapat mencoba terlibat dalam proyek untuk mempertajam kemampuan mereka.
Apa solusi yang tepat? Tentu saja dengan mengambil pekerjaan sampingan dan freelance.
Solusi pekerjaan sampingan ini juga mendapatkan atensi dari Gen Z, terbukti dari minat terhadap freelance yang makin tinggi. Sejak platform LinkedIn meraih sorotan karena dianggap dapat mewadahi kebutuhan pencari kerja, banyak Gen Z yang merasa perlu memanfaatkan wadah ini untuk mencari proyek dan klien.
Edukasi tentang personal branding yang gencar disebarkan di media sosial pun turut ambil peran dalam pertumbuhan minat terhadap pekerjaan sampingan dan freelance ini. Tak heran kalau Gen Z berbondong-bondong membangun personal branding di media sosial, terutama LinkedIn yang memang dikhususkan untuk memperluas koneksi.
Akan tetapi, polemik baru muncul dari tren penggunaan LinkedIn ini. Jumlah penduduk usia produktif yang sangat banyak ternyata membuat lingkaran persaingan menjadi ketat. Isu ini secara tak langsung dirasakan oleh Gen Z yang tetap sulit mendapatkan pekerjaan sampingan atau freelance meski sudah aktif membangun koneksi.
Mengapa bisa demikian? Mencari kerja sampingan dan proyek freelance tak semudah yang dibayangkan. Gen Z perlu membangun profil dengan baik agar dilirik oleh klien dan perusahaan. Tentu saja hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Gen Z yang didominasi pemula dalam dunia kerja.
Berkaca dari situasi ini, Gen Z sebenarnya memerlukan proyek yang dapat dipercaya dan mudah dijangkau. Sekarang pertanyaannya, apakah ada proyek seperti itu?
Mystery Shopping yang Potensial menjadi Sumber Penghasilan Tambahan
Apakah kamu masih asing dengan mystery shopping? Pekerjaan ini terbilang tidak terlalu umum dan jarang diketahui, terutama oleh orang awam di industri bisnis. Namun, tahukah kamu kalau mystery shopping digunakan oleh bank, retail, restoran, toko, dan bisnis sejenisnya? Metode riset ini bukan hal baru bagi pengukuran layanan pelanggan di suatu bisnis.
Metode mystery shopping sudah digunakan sejak awal tahun 1940-an, tepatnya oleh toko-toko di Amerika Serikat. Penerapan metode ini ditujukan untuk mengetahui seberapa bagus sistem keamanan yang digunakan oleh toko.
Tak disangka, mystery shopping berkembang menjadi alat evaluasi yang efektif untuk menilai kualitas layanan. Metode ini pun menjangkau seluruh dunia dan menghadirkan pekerjaan baru, yaitu mystery shopper.
Di Indonesia sendiri ada banyak bisnis yang berkembang tiap tahunnya. Roda bisnis tidak pernah berhenti berputar sehingga peluang untuk menjadi mystery shopper tetap terbuka, bahkan fleksibel menjangkau semua kalangan.
Lantas, mengapa mystery shopper potensial untuk dijadikan pekerjaan sampingan?
Bisakah Mystery Shopper menjadi Solusi Pekerjaan untuk Gen Z?
Pada dasarnya, mystery shopper bukan pekerjaan yang menuntut banyak kemampuan pada level tinggi. Seorang mystery shopper akan ditugaskan untuk menjalani misi, seperti mengunjungi toko dan berpura-pura berbelanja layaknya pelanggan biasa.
Setelah itu, mystery shopper akan menilai layanan pelanggan secara keseluruhan sesuai pengarahan dan skenario. Sebagai pengamat di lapangan, mystery shopper akan diminta menulis laporan untuk menyelesaikan misi.
Agen lapangan yang disebut mystery shopper ini akan disalurkan oleh perusahaan, seperti Morrigan Services, Cekindo, dan Integrity Indonesia. Perusahaan akan membimbing para agen ini sebelum akhirnya terjun ke lapangan.
Mengapa mystery shopper cukup potensial? Pertumbuhan bisnis yang pesat menjadi alasan utama. Selain itu, ada perusahaan-perusahaan lokal yang bergerak di bidang mystery shopping dan konsisten membuka lowongan, seperti Morrigan Services dan Integrity Indonesia.
Oleh karena itu, Gen Z yang aktif berselancar di internet semestinya tidak sulit mendapat peluang menjadi mystery shopper. Namun, apakah pekerjaan ini bisa menjadi solusi bagi masalah pengangguran yang dialami Gen Z? Jawaban dari pertanyaan ini kembali pada preferensi Gen Z, tetapi mystery shopper tetap potensial untuk dijadikan lahan penghasilan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS