Apa yang dilakukan orang tua untuk menghadapi anak mereka yang mengalami tantrum di ruangan publik? Berdasarkan pengalaman pribadi, saya banyak melihat orang tua zaman sekarang langsung memberikan gawai berupa smartphone atau tablet kepada anak mereka agar sang anak berhenti menangis dan rewel.
Perkembangan teknologi memang begitu pesat dalam beberapa dekade belakangan. Dulu teknologi hanya dimiliki oleh orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas saja. Masa kecil saya dihabiskan untuk bermain dengan teman-teman sebaya dan dengan benda-benda konvensional seperti boneka dan buku.
Mari melompat ke tahun 2024 saat ini. Saya bekerja seratus persen menggunakan teknologi. Asal ada komputer dan internet, saya bisa bekerja di mana pun dan kapan pun. Tantangan terbesar dari pekerjaan yang bergantung kepada internet ialah berusaha agar tidak kecanduan. Pernah tidak kalian merasa gelisah jika tidak melihat handphone dalam jangka waktu yang lama?
Di internet sudah ada banyak artikel dan penelitian mengenai dampak media sosial terhadap generasi anak-anak kelahiran tahun 2000 ke atas, tapi saya tidak pernah menyangka sebelumnya kalau akan merasakan dampak tersebut secara langsung. Berdasarkan jurnal World Psychiatry terbitan Amerika Serikat, media sosial dan teknologi berpengaruh besar terhadap melemahnya kemampuan kognitif para penggunanya. Lantas, bagaimana dengan generasi muda zaman sekarang yang langsung disuguhi teknologi sejak lahir?
Tren video singkat yang merajalela di berbagai platform (Instagram, TikTok, Youtube Shorts) menjadi sumber utama hiburan dan tempat anak-anak zaman sekarang mencari jawaban. Di zaman saya, orang-orang hobi menggunakan kalimat “Tanya dong ke mbah Google!” Sedangkan dewasa ini, ketika sedang mengobrol dengan murid-murid saya, saya lebih sering mendengar kata-kata “Kemarin di Tiktok aku lihat ini….” atau “….ini lagi populer di reels, lho!”
Sepenglihatan saya, anak-anak muda zaman sekarang lebih suka jika diberitahu jawaban secara langsung. Ibaratnya, mereka lebih suka diberi tahu kalau jawaban dari 10 dikali 5 itu 50, tapi mereka tidak cukup peduli atau tidak cukup tertarik untuk tahu proses dari mana datangnya angka 50 tersebut. Jujur saja, hal ini jadi keluhan terbesar saya selama mengajar.
“Silakan buka Google dan baca-baca artikel ya untuk menemukan jawabannya,” begitu kata saya suatu hari ketika memberikan tugas mengarang kepada murid-murid saya. Setelah hari pengumpulan tugas, saya sempat bertanya secara pribadi ke salah satu murid, dan saya bisa mengambil kesimpulan kalau banyak dari mereka enggan membuka Google dan lebih memilih memasukkan keyword ke kolom search di Tiktok. Tidak sedikit pula yang bergantung kepada ChatGPT dan alih-alih mengerjakan tugas dengan jujur, AI-lah yang mengerjakan tugas tersebut untuk mereka.
Ah, anak zaman sekarang tidak suka membaca artikel dan lebih memilih menonton orang lain menjelaskan informasi kepada mereka secara singkat dan jelas. Hal ini sangat berpengaruh dalam pembelajaran di kelas. Alhasil, banyak dari mereka yang susah fokus ketika guru sedang menjelaskan materi dan tidak bisa berpikir secara kritis.
Sebagai seorang guru, terkadang saya juga berusaha mencari cara semenarik mungkin agar murid-murid mau fokus belajar, terlebih karena saya mengajar kelas online. Saya berusaha agar murid mau mendengarkan dan memperhatikan penjelasan materi dengan memasukkan info-info menarik serta pembahasan mengenai tren yang sedang ramai di media sosial.
Tapi kalau sudah urusan belajar secara mandiri di luar kelas, saya bisa apa? Hal tersebut sudah berada di luar kendali saya. Terkadang memang cuma murid yang sungguh-sungguh ingin belajar saja yang mau memperhatikan dan kelihatan berniat mencari dan menulis jawaban yang baik tanpa mengacu ke sumber-sumber video singkat di media sosial.
Tidak cuma murid, keluhan yang sama juga saya rasakan kepada keponakan sendiri. Alih-alih bermain dengan sesama balita dan berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, keponakan saya lebih suka menyendiri untuk menonton Youtube dan bermain gim di tablet atau ponsel orang tuanya.
Mau menegur orang tuanya, saya juga sungkan karena tidak ada di posisi yang cocok untuk memberikan nasehat. Tapi jujur, rasa ketakutan bahwa keponakan saya nanti ketika sekolah tidak memiliki kemampuan untuk fokus lebih dari satu menit saja sudah membayangi pikiran saya.
“Lho ini pinter lho dek, dia ngerti bahasa Inggris, tahu harus pencet yang mana kalau lagi main tablet, padahal gak ada yang ngajarin,” begitu bela sepupu saya ketika saya bilang bahwa screen time anak kecil perlu dibatasi oleh orang tua. Saya cuma bisa tersenyum miris sambil mengelus dada, lha kalau memang dia bisa pintar kebahasaannya dengan bermain gawai, kenapa keponakan saya ini kalau diajak berbicara secara langsung masih kurang bisa nyambung dan belum bisa membuat sebuah kalimat sederhana yang susunannya runtut?
Hal ini sudah terbukti secara ilmiah, lho. Jurnal Cureus mempublikasikan penelitian bahwa 90% anak-anak yang mengalami fenomena speech delay adalah mereka yang terbiasa menggunakan perangkat pintar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka kesulitan untuk fokus memelajari bahasa dengan runtutan yang benar karena hanya tertarik kepada efek audio-visual yang diberikan oleh teknologi tanpa bisa belajar dengan sungguh-sungguh.
Ya, Indonesia memang sedang gawat fokus. Kita semua gawat fokus. Kapan terakhir kali kita bisa duduk diam untuk membaca buku dan memahami isinya dengan khusyuk tanpa ada hasrat ingin melihat layar ponsel?
Semoga di masa mendatang, ada usaha nyata agar kita bisa lebih mengurangi penggunaan gawai untuk kebutuhan yang tidak penting dan kembali melatih diri untuk mempertahankan kemampuan berfokus. Mari kita mulai dari yang sederhana, mungin bisa dimulai dengan fokus untuk membaca sebuah artikel sampai selesai.