“Pak Mulyono! Pak Mulyono!” Seorang warga berteriak di tengah kerumunan masyarakat serta hadangan Paspampres. Dari video pendek yang viral di media sosial X itu, ia tampak sengaja melantangkan nama tersebut langsung di depan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berkunjung ke Pasar Godean, Yogyakarta (28/8/24).
Ia tidak salah orang. Mulyono adalah nama lahir Jokowi sebelum diganti karena dulu ia sakit-sakitan. Dalam kepercayaan orang Jawa, mengganti nama bisa bertujuan untuk menolak bala dan petaka, termasuk penyakit.
Inisiatif masyarakat untuk merujuk Jokowi sebagai “Mulyono” sendiri berawal dari aksi protes terhadap RUU Pilkada (22/8/24). Masyarakat menganggap Jokowi punya andil untuk melanggengkan politik dinasti jika DPR RI sampai menolak menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024, soal syarat usia minimum calon kepala daerah.
Ada sebagian masyarakat yang percaya, memanggil Jokowi dengan nama yang identik dengan masa kelamnya dulu bakal mengulang nasib sialnya di masa sekarang. Terlepas dari kebenaran efek dari hal klenik ini, sejatinya kita sedang melihat fenomena name-calling sebagai cara rakyat melayangkan protes pada penguasa.
Name-calling sendiri merujuk pada tindakan memanggil seseorang atau sekelompok orang dengan nama yang berbeda dengan semestinya.
Dalam lingkup terbatas seperti hubungan pertemanan (insiders), name-calling sebenarnya tergolong wajar. Bahkan, aktivitas ini mengandung fungsi sosial yang positif, seperti mempererat emosi dan hubungan antarpribadi hingga sebagai sarana bersenda-gurau.
Jangankan di dalam tongkrongan pemuda-pemudi kota besar saat ini, para serdadu Hungaria di Perang Dunia I saja melakukan name-calling di kalangan korps mereka sendiri (Black Humor and the White Terror - Bodó, 2023, h.31-32).
Namun, di sisi lain, name-calling juga punya efek negatif. Soalnya, name-calling itu punya kekuatan untuk “menelanjangi” identitas pihak yang kita panggil secara tidak semestinya. Di antara kawan kerja saja, aktivitas ini berpotensi mengganggu produktivitas bersama dan memicu konflik di kemudian hari.
Michael Fontaine, Professor of Classics di Cornell University serta pengampu course Using Humor in the Workplace, mengadvokasi agar kita menekan hasrat untuk melucukan nama rekan kerja kita. Istilah Latinnya, “Nomen omen”, artinya nama adalah pertanda baik – mirip seperti pepatah “nama adalah doa” yang sering kita dengar.
Beda cerita di arena politik, name-calling malah kerap sengaja dipakai untuk mengerdilkan bahkan menghabisi lawan. Politikus Amerika Serikat sering memakai strategi ini saat berpidato, berkampanye, atau melakoni debat terbuka. Misalnya, Ronald Reagan melabeli Muammar Khadafi sebagai “anjing gila” (mad dog) saat membeberkan alasan serangan atas Libya tahun 1986. George Bush juga pernah mengejek Al Gore sebagai “Manusia Ozon”, karena ia menulis buku soal ekologi (Humor Works - Morreall, 1997, h.231).
Malahan, kini sudah ada laman khusus di Wikipedia berisi daftar name-calling yang pernah dilontarkan oleh Donald Trump sejak ia mencalonkan diri sebagai presiden tahun 2016.
Lalu, bagaimana ketika name-calling dilakukan oleh masyarakat biasa terhadap kepala negara?
Sejatinya, ada gap yang luar biasa jauh dalam banyak aspek, antara rakyat biasa – seperti pria yang meneriaki Jokowi di Pasar Godean tadi – dan presiden. Selisih jaraknya ibarat private jet yang sedang terbang dengan dasar sumur tambang. Maka sejak zaman raja-raja dulu, salah satu cara yang dilakukan untuk menjembatani komunikasi di antara keduanya, ya, lewat humor.
Naturalnya, humor dari publik untuk elite merupakan ekspresi koreksi dan kritik. Dalam situasi serba menjepit, humor ibarat ventilasi kehidupan bagi wong cilik. Name-calling Jokowi ini pun layak dikelompokkan sebagai luapan ketidakpuasan, frustrasi, amarah, hingga teriakan minta tolong kepada pucuk pemerintahan tertinggi. Sebab rakyat melihat ada kesewenang-wenangan dan berharap presiden bisa menghentikannya.
Walau tergolong sebagai humor yang negatif, dalam konteks ini, name-calling adalah opsi terbaik bagi rakyat. Ini strategi yang jauh lebih aman daripada meluapkan agresivitas lewat fisik. Aman di sini maksudnya tentu bagi kita, rakyat biasa, yang hidupnya berada dalam kepungan represifnya aparat sampai pasal-pasal karet.
Lebih lanjut, konteks name-calling Mulyono untuk Jokowi ini masih kurang untuk dijebloskan pada level hinaan dan pencemaran nama baik. Mulyono secara harfiah merupakan kata yang bagus sebenarnya. Ia diambil dari bahasa Jawa “Mulyo”, yang artinya “mulia”.
Secara makna, unsur sarkasme dalam name-calling “Mulyono” ini kecil sekali, malah mendekati nihil. Kalaupun rakyat berniat untuk tendensius, bentuknya baru sebatas satire atau sindiran halus.
Para pelantang Mulyono juga seharusnya tidak sampai diperkarakan. Pasalnya, cara dialog dengan unsur humor ini sudah masuk ke penyampaian pendapat yang sangat identik dengan budaya ketimuran, terutama budaya Jawa.
Darminto M. Sudarmo, dalam Anatomi Lelucon di Indonesia (2020, h.3), menjelaskan bahwa bangsa kita punya lelucon khas. Namanya guyon parikena atau parikeno. Sifat lelucon ini nakal, menyindir, tapi sangat amat sopan. Penutur parikena umumnya adalah bawahan yang ingin “meninju” pihak yang lebih tua, berdaya, atau terhormat.
Jika sudah sedemikian santun dalam mengkritik tetapi pemerintah tetap sembrono, perlawanan rakyat Indonesia tampaknya tidak akan berhenti sampai menyebut Jokowi dengan Mulyono saja.