Elastisitas Disiplin yang Membudaya di Perkuliahan: Titip Kursi, Dong!

Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Elastisitas Disiplin yang Membudaya di Perkuliahan: Titip Kursi, Dong!
Ilustrasi waktu (Freepik/master1305)

Elastisitas kedisiplinan yang membudaya memiliki dampak negatif yang luas. Dalam konteks pendidikan, misalnya, kebiasaan titip kursi dan keterlambatan kehadiran dapat mengganggu proses pembelajaran dan menurunkan kualitas pendidikan.

Selain itu, perilaku yang tidak disiplin juga dapat menghambat pencapaian tujuan individu maupun kelompok. Dalam skala yang lebih besar, elastisitas kedisiplinan dapat menghambat kemajuan suatu bangsa, karena kedisiplinan adalah salah satu kunci keberhasilan dalam berbagai bidang kehidupan.

Fenomena titip kursi ketika terlambat merupakan cerminan dari lemahnya disiplin dalam masyarakat kita. Tindakan ini seakan-akan melegalkan keterlambatan dan merugikan orang lain yang sudah datang tepat waktu. Padahal, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menghargai waktu orang lain.

Titip kursi juga mengesampingkan nilai-nilai kesetaraan, semua orang seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan tempat duduk. Lebih jauh lagi, kebiasaan ini dapat memicu persaingan tidak sehat dan mengganggu ketertiban umum.

Sudah saatnya kita mengubah mindset dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya disiplin waktu. Dengan begitu, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih produktif dan saling menghormati.

Kebiasaan menitipkan kursi di kelas sebelum perkuliahan dimulai seringkali menimbulkan ketidaknyamanan di antara mahasiswa.

Bayangkan, seorang mahasiswa datang lebih awal dengan penuh semangat, berharap mendapatkan tempat duduk yang nyaman dan strategis untuk fokus belajar. Namun, ketika tiba di kelas, hampir semua kursi sudah diberi tanda atau bahkan diduduki oleh tas dan buku.

Akibatnya, mahasiswa yang datang lebih dulu ini terpaksa harus menerima tempat duduk yang kurang ideal, bahkan terkadang harus berdiri karena kehabisan tempat.

Kebiasaan titip kursi ini tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga memiliki dampak psikologis bagi pelaku. Mereka cenderung merasa berhak atas fasilitas tertentu tanpa perlu berusaha datang lebih awal. Hal ini dapat memicu sikap egois dan kurang peduli terhadap orang lain.

Selain itu, mereka juga mungkin merasa bersalah karena telah mengganggu ketertiban. Bagi orang yang dititipi, tindakan ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan ketidakadilan.

Mereka merasa haknya untuk mendapatkan tempat duduk telah dirampas. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat merusak hubungan sosial dan menciptakan lingkungan yang tidak harmonis.

Menitipkan kursi di kelas sebelum perkuliahan dimulai adalah bentuk pelanggaran terhadap etika dan tata tertib kelas. Tindakan ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya kedisiplinan dan kesamaan hak bagi semua mahasiswa.

Padahal, setiap mahasiswa memiliki hak yang sama untuk memilih tempat duduk yang nyaman dan sesuai dengan kebutuhan belajarnya.

Kebiasaan menitipkan kursi dapat memicu persaingan tidak sehat di antara mahasiswa dan mengganggu suasana belajar yang kondusif.

Fenomena titip kursi sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Namun, intensitas dan bentuknya bisa berbeda-beda.

Di beberapa negara, praktik ini dianggap sebagai pelanggaran etika yang serius dan dapat dikenai sanksi. Perbedaan ini menunjukkan bahwa budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku warganya.

Untuk mengatasi masalah penitipan kursi di kelas, perlu adanya kesadaran bersama dari seluruh mahasiswa. Setiap individu perlu memahami bahwa tindakan menitipkan kursi merugikan orang lain dan dapat mengganggu kenyamanan bersama.

Selain itu, dosen juga perlu berperan aktif dalam menegakkan aturan kelas dan memberikan sanksi bagi mahasiswa yang melanggar. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta suasana belajar yang lebih adil dan nyaman bagi semua mahasiswa.

Fenomena titip kursi dan keterlambatan kehadiran yang semakin sering kita saksikan mencerminkan adanya elastisitas kedisiplinan yang mulai membudaya. Perilaku yang seharusnya dianggap sebagai pelanggaran norma kini seakan-akan menjadi hal yang wajar dan biasa.

Titip kursi, misalnya, selama ini dibenarkan dengan alasan 'ya sudahlah, namanya juga anak muda'. Begitu pula dengan keterlambatan, yang sering kali dianggap sepele dan tidak perlu menjadi masalah besar.

Normalisasi perilaku semacam ini tentu saja mengkhawatirkan karena dapat mengikis nilai-nilai kedisiplinan yang penting untuk membentuk karakter individu yang bertanggung jawab.

Pada akhirnya, mengatasi masalah elastisitas kedisiplinan adalah tanggung jawab kita bersama. Dimulai dari diri sendiri, kita perlu menanamkan kesadaran akan pentingnya kedisiplinan dalam setiap aspek kehidupan. Meskipun tantangannya besar, tetapi kita tidak boleh pesimis.

Dengan kesadaran dan upaya bersama, kita yakin bahwa masalah elastisitas kedisiplinan dapat diatasi. Mari kita mulai dari hal-hal kecil, seperti disiplin dalam hal waktu dan menjaga kebersihan lingkungan.

Dengan konsistensi dan keteladanan, kita dapat menginspirasi orang lain untuk turut serta dalam membangun masyarakat yang lebih disiplin dan beradab.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak