Hari Anak Perempuan Internasional menjadi momentum penting untuk menyuarakan hak-hak dan martabat anak perempuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di tengah gemerlap modernitas, masih banyak tantangan yang dihadapi anak perempuan Indonesia. Kasus-kasus kekerasan, pelecehan, perkawinan anak, dan diskriminasi gender terus menghantui mereka.
Beberapa waktu terakhir, media massa kerap memberitakan kasus-kasus yang melibatkan anak perempuan. Mulai dari kekerasan seksual, perundungan di sekolah, hingga perkawinan anak di usia dini. Kasus-kasus ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari permasalahan sistemik yang lebih luas.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Pelaku seringkali berasal dari lingkungan terdekat korban, seperti keluarga atau orang yang dikenal. Bahkan menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada tahun 2024, ada sebanyak 33,2% dari 17.148 korban perempuan di bawah umur yang mendominasi kasus kekerasan seksual di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan yang seharusnya diterima oleh anak-anak.
Perkawinan anak masih menjadi praktik yang lazim di beberapa daerah di Indonesia. Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia menargetkan angka perkawinan anak turun sebesar 8,74%. Padahal, perkawinan anak berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental anak perempuan, serta membatasi akses mereka terhadap pendidikan. Selain itu, diskriminasi gender masih terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pembatasan akses terhadap pendidikan hingga beban pekerjaan rumah tangga yang tidak adil. Hal ini menyebabkan anak perempuan memiliki peluang yang lebih kecil untuk mencapai potensi penuh mereka.
Selain itu, media sosial sebagai cerminan dari masyarakat kontemporer yang menjadi panggung bagi maraknya konten yang mengobjektifikasi perempuan. Objektifikasi perempuan di media sosial tidak hanya terbatas pada gambar-gambar yang menampilkan tubuh secara berlebihan. Tindakan mengomentari fisik seseorang, mengurangi perempuan menjadi sekadar objek seksual, atau menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis juga termasuk dalam kategori objektifikasi.
Objektifikasi anak perempuan adalah sebuah permasalahan serius yang terjadi ketika anak perempuan dilihat dan diperlakukan semata-mata sebagai objek seksual. Mereka dipandang sebagai benda yang hanya memiliki nilai berdasarkan penampilan fisiknya, bukan sebagai individu yang memiliki pikiran, perasaan, dan hak-hak yang sama.
Ketika terus-menerus dilihat sebagai objek, anak perempuan cenderung merasa tidak berharga dan tidak percaya diri. Mereka mungkin merasa tekanan untuk selalu tampil sempurna dan memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis. Anak perempuan yang menjadi objek seksual lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seringkali memanfaatkan pandangan masyarakat yang objektif terhadap perempuan untuk membenarkan tindakan mereka.
Objektifikasi juga dapat membatasi potensi anak perempuan. Mereka akan merasa tertekan untuk lebih fokus pada penampilan fisik daripada mengejar minat dan bakat mereka. Ketika fokus hanya tertuju pada penampilan fisik, minat dan bakat anak perempuan seringkali terabaikan. Mereka mungkin memiliki bakat luar biasa dalam bidang sains, seni, atau olahraga, namun merasa tertekan untuk menyembunyikannya karena takut dianggap tidak feminin atau tidak menarik. Hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, karena potensi besar yang seharusnya dapat berkontribusi pada kemajuan bersama menjadi terhambat.
Objektifikasi juga memperkuat stereotip gender yang membatasi peran perempuan. Anak perempuan yang terus-menerus dihadapkan pada citra ideal yang sempit akan sulit untuk keluar dari batasan yang telah ditentukan. Mereka mungkin merasa bahwa pilihan karier mereka harus sesuai dengan norma gender yang berlaku, dan bahwa ambisi mereka harus dikorbankan demi peran tradisional sebagai istri dan ibu.
Objektifikasi anak perempuan adalah cerminan dari ketidaksetaraan gender yang telah mendarah daging dalam banyak masyarakat. Akar masalahnya terletak pada struktur sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Di masa depan, selain merusak kepercayaan diri dan harga diri, objektifikasi juga dapat menghambat perkembangan kognitif dan emosional mereka. Anak perempuan yang tumbuh dalam lingkungan yang objektif cenderung memiliki pandangan yang sempit tentang diri mereka sendiri dan potensi mereka. Akibatnya, mereka mungkin akan kesulitan untuk mencapai tujuan hidup mereka dan berkontribusi secara penuh dalam masyarakat.
Hari Anak Perempuan Internasional tahun ini menjadi momentum penting untuk merayakan keberhasilan yang telah kita capai dalam memperjuangkan hak-hak anak perempuan. Namun, kita juga harus menyadari bahwa masih banyak tantangan yang harus diatasi. Semoga tahun ini menjadi titik balik bagi semakin banyak anak perempuan yang mendapatkan akses pendidikan berkualitas, hidup bebas dari kekerasan, dan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih cita-citanya. Mari bersama-sama menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif bagi generasi mendatang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.