Mengenal Sakmadya, Gaya Hidup Slow Living ala Jawa di Era Kekinian

Hernawan | hanifati radhia
Mengenal Sakmadya, Gaya Hidup Slow Living ala Jawa di Era Kekinian
Sudut Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta [Unsplash/Farhan Abas]

Jika kamu gemar menggulirkan halaman beranda media sosial seperti TikTok atau Instagram, atau kerap menonton vlog tentu tidak asing dengan tayangan video seorang pasangan suami istri. Mereka  menampilkan kegiatan sehari-hari mereka di sebuah hunian yang nyaman kalau bukan mewah. Mereka terkadang berbagi tips antara lain decluttering barang, tips tidy up atau berbagi manfaat hingga cara menerapkan frugal living.

Cerita dan tayangan video mereka kiranya mampu menjadi motivasi bagi para viewers jika kelak ingin menerapkan gaya hidup yang sama. Bahkan, para konten kreator atau influencer tersebut tak jarang sangat terbuka terkait cash flow keuangan keluarga hingga membahas tentang finansial.

Caption atau judul pembuka video yang mereka cantumkan tidak jauh-jauh dari beberapa konsep berikut: minimalist, slow living hingga frugal living. Mereka, para konten kreator dan muda-mudi pasangan suami istri tersebut berhasil memberikan gambaran ideal kehidupan sukses dan kenyamanan pernikahan dan rumah tangga.

Saya menganggap, dengan konsep dan tayangan berseliweran di media sosial, masyarakat Indonesia tampaknya melek dengan berbagai pilihan gaya hidup kekinian. Saya kira hal itu tidak hanya sekedar tren di media sosial, namun benar diterapkan di kehidupan keseharian. Tidak ada yang salah dan sah saja setiap orang atau individu memiliki pilihan atas gaya hidup yang dijalani.

Namun demikian, kalau mau merenungkan kembali ajaran-ajaran leluhur dan kearifan lokal, Indonesia tidak kekurangan memiliki ajaran atau filosofi yang bisa diterapkan di kehidupan. Seperti halnya ajaran atau pandangan sakmadya pada masyarakat Jawa. Tulisan ini hanya mencoba menyajikan salah satu contoh kearifan lokal yang tetap relevan di tengah hiruk pikuk pilihan gaya hidup kekinian.

Sakmadya, atau bisa kita dengar juga dengan ungkapan: urip prasojo lan sakmadya. Makna dari “urip prasojo” sendiri adalah "hidup kesederhanaan" dan “sakmadya” yang artinya "secukupnya". Cukup di sini bisa diterapkan dalam berbagai hal, makanan, pekerjaan, istirahat dll. Maka jika kita artikan kurang lebih: menjalani kehidupan dengan sederhana dan secukupnya, sewajarnya, tidak berlebihan sekaligus tidak berkekurangan. Dalam arti lainnya, seimbang antara kemampuan dan tuntutan.

Kearifan lokal sebagai ajaran dan filosofi leluhur tidak bisa kita kesampingkan begitu saja. Konsep ini pun dirasa kurang populer kalau dibandingkan dengan konsep-konsep yang saya singgung sebelumnya. Terlebih pun  sakmadya juga mengandung arti keseimbangan, serba cukup dan tidak rakus. Sakmadya menjadi sebuah konsep untuk mencapai keselarasan. Selain sebagai gaya hidup, sakmadya menjadi upaya berpikir masyarakat Jawa yang berada di posisi serba di tengah atau posisi antara (liminal). Dengan demikian, meski perkembangan dunia dengan teknologi semakin pesat, kita tidak seharusnya meninggalkan ajaran leluhur yang sudah terbukti memberikan ilmu bagi generasi mendatang.

Sebagai manusia, terkadang kita memiliki kebutuhan, tuntutan dan keinginan yang tak terbatas. Akan tetapi, jika kita menuruti ketidakterbatasan tersebut padahal tidak sesuai kemampuan, tentu menimbulkan kerugian besar. Dengan demikian, makna urip prasojo prasojo lan sak madyo mendorong dan menjadikan kita sebagai manusia yang tidak berlebihan, bersikap sederhana, tidak rakus hingga selaras dengan kehidupan alam.

Pertanyaannya kini, bagaimana cara menerapkannya? Pertama, kita senantiasa bersyukur atas segala hal yang kita miliki. Kita jalani apa yang menjadi pilihan kita sekarang, katakanlah karir, jenjang pendidikan atau goals yang dicapai. Pendapatan tetap maupun tidak tetap, dengan bersyukur akan memberi energi positif.

Kedua, pergunakan secukupnya. Ini bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari dari sekitar perabotan rumah, pakaian, dan benda-benda pribadi kita. Selalu rapikan dan singkirkan barang jika tak terpakai lagi. Ketiga, berbagilah jika berlebih. Kita mungkin seringkali merasa kekurangan, padahal, jika mau merenung, bisa jadi kita justru memiliki kelebihan. Baik itu dari segi material maupun non material. Tak hanya membagikan pakaian yang sudah tak terpakai, buku yang tak dibaca, tapi kita juga bisa membagikan hal-hal seperti saran, tips dengan apa yang kita punya. Cukup gali terus hal positif dalam diri sehingga kita bisa merasa bahwa ada sesuatu atau banyak hal yang bisa kita bagikan pada orang lain.

Penutup

Konsep urip prasojo lan sakmadya merupakan kearifan lokal ajaran leluhur masyarakat Jawa yang telah diwariskan dari generasi terdahulu hingga ke generasi masa kini. Sakmadya sebagai sebuah ajaran, pandangan mengenai hidup memiliki makna dan arti mendalam. Makna urip prasojo lan sakmadyo mendorong dan menjadikan kita sebagai manusia yang tidak berlebihan, bersikap sederhana, tidak rakus hingga selaras dengan kehidupan alam.

Sebagai generasi muda, pilihan ragam gaya hidup yang ditawarkan melalui media sosial misalnya, tak serta merta menjadi rujukan. Namun demikian, kita jangan melupakan atau kehilangan akar dari identitas dari budaya yang kita miliki. Seperti filosofi urip prasojo lan sakmadya juga tetap relevan (dan menjadi pilihan) di tengah beragam gaya hidup kekinian.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak