Fenomena unik yang ada di bangku perkuliahan, seperti yang pernah kita bayangkan saat masih di jenjang sekolah lebih rendah adalah mahasiswa itu enak, pakai baju bebas, modis, pulangnya cepat, bisa nongkrong santai, pelajarannya nggak banyak, dan sebagainya. Memang, fleksibilitas waktu dan kebebasan dalam berpakaian menjadi salah satu daya tarik kuliah. Kehidupan kuliah juga menawarkan kebebasan yang lebih besar untuk mengeksplorasi minat dan bakat. Mahasiswa dapat memilih mata kuliah yang sesuai dengan passion mereka, bergabung dengan berbagai organisasi, dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Namun, kebebasan ini juga datang dengan tanggung jawab untuk membuat pilihan yang bijak dan bertanggung jawab atas konsekuensinya, termasuk bagaimana cara mereka belajar.
Pemandangan mahasiswa yang terlihat lebih simpel dengan cara berpakaian, cara bersosial, maupun atribut lain ketika mengikuti mata kuliah memang menjadi salah satu sorotan menarik anak-anak di pendidikan dasar dan menengah. Pasalnya, tampilan mahasiswa modern saat ini memang sangat fashionable dengan atribut paling simpel seperti tas mini atau bahkan tidak membawa tas sama sekali, lebih persis orang yang ingin pergi berbelanja ke mall atau orang yang akan nongkrong di kafe daripada mahasiswa yang akan belajar di kelas.
Alih-alih membawa tumpukan buku catatan dan referensi tebal seperti saat masih di sekolah, mahasiswa kini lebih sering hanya membawa diri dan tas mini saat berkuliah. Perubahan kebiasaan ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam dunia pendidikan tinggi. Dengan semakin mudahnya akses informasi melalui perangkat digital seperti laptop dan smartphone, mahasiswa dapat mengakses materi kuliah secara online kapan saja dan di mana saja. Hal ini membuat mereka lebih fleksibel dan tidak perlu lagi membawa banyak buku fisik.
Perubahan kebiasaan mahasiswa dalam membawa perlengkapan kuliah menunjukkan adaptasi yang cepat terhadap perkembangan zaman. Jika dulu buku adalah sahabat setia, kini perangkat elektronik telah mengambil alih peran tersebut. Perkembangan teknologi informasi yang pesat memungkinkan mahasiswa untuk mengakses berbagai sumber belajar secara online. Mereka biasanya akan menampik bahwa mereka bisa merekam penjelasan dosen, memotret catatan dosen dari layar proyeksi, atau membaca materi di ponselnya masing-masing.
Hanya saja, yang terjadi tidaklah selalu seperti itu, rekaman dan foto materi itu hanya akan penuh dalam galeri gawai, bukan memenuhi otak kita. Selain itu, kefleksibelan cara belajar di kelas yang terjadi selama ini justru memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk memilih refreshing otak dengan scroll media sosial saat kelas berlangsung, atau curi-curi waktu tidur di dalam kelas, atau hanya masuk kelas untuk bergosip dan membicarakan hal di luar materi pembelajaran. Tentu ini menjadi persoalan yang cukup serius, menimbang bahwa mahasiswa telah kehilangan kesempatan untuk aktif dan belajar secara terbimbing dengan dosen di kelas.
Ada salah satu ungkapan dari Dr. Eka Sofia Agustina, M.Pd., salah satu dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung tentang strategi belajar yang efektif dengan mengoptimalkan empat keterampilan berbahasa, “Saya dengar, saya catat, saya baca, saya ungkapkan”. Mahasiswa cenderung mendengarkan, tetapi sulit memahami. Sulit memahami, sulit juga bertanya dan mengungkapkan. Sisanya, mudah melupakan, tetapi enggan mencatat. Akhirnya, sekeluarnya dari kelas, mereka biasanya lupa karena apa yang mereka dengarkan tidak masuk dalam long term memory (LTM) saat itu.
Barangkali kita pernah meninjau rekan-rekan kita sesama mahasiswa, mengenai apa yang mereka bawa ketika kuliah. Make up, gawai, power bank, botol minum, dompet, kipas, rokok, satu buku catatan (yang kadang selalu kosong), satu buah pulpen (bahkan tidak sama sekali), atau hanya cukup bawa diri dengan tas kempes dan hampa isi. Bahkan mahasiswa yang beratribut lengkap dan terkesan rapi akan dituding sebagai mahasiswa cupu yang tidak modis. Biasanya motivasi mereka hanya untuk mengisi daftar hadir. “Cukup duduk, simak saja, lalu pulang. Toh nanti nilaiku tidak akan buruk-buruk amat. Yang penting kan lulus saja.”.
Meskipun tidak semua mahasiswa seperti ini, tetapi fenomena ini sudah menjadi biasa di perguruan tinggi. Sesederhana tidak membawa pulpen dan buku catatan saja sudah menjadi bahan pertanyaan, apa yang akan mahasiswa lakukan dalam kelas jika mereka tidak mencatat? Padahal menulis secara manual bisa memaksa kita untuk memproses informasi lebih dalam sehingga membantu kita memahami konsep yang disampaikan dosen dengan baik. Selain itu, pelibatan indra penglihatan dan sentuhan akan membuat informasi yang kita catat menjadi lebih mudah diingat. Catatan tangan dapat menjadi referensi yang baik saat kita ingin mengulang materi atau mempersiapkan ujian.
Gaya pakaian mahasiswa yang tidak rapi dan informal, khususnya di perguruan tinggi negeri yang lebih ketat diatur, sebenarnya mencerminkan bagaimana kita memandang diri sendiri dan ingin dipandang orang lain. Gaya berpakaian yang terlalu santai dapat memberikan kesan kurang serius terhadap pendidikan. Dosen mungkin akan menilai keseriusan mahasiswa berdasarkan cara berpakaiannya. Mahasiswa yang berpakaian terlalu santai dapat dianggap kurang menghormati dosen dan proses pembelajaran.
Pada akhirnya, kesuksesan dalam perkuliahan bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual, tetapi juga oleh sikap dan perilaku yang mendukung proses belajar. Mahasiswa yang memiliki disiplin diri yang tinggi, bertanggung jawab, dan menghargai proses pembelajaran akan lebih mudah mencapai tujuan akademiknya. Dengan demikian, penting bagi setiap mahasiswa untuk menyadari bahwa kebiasaan belajar yang baik, seperti rajin mencatat, mengerjakan tugas tepat waktu, dan berpakaian yang sopan, adalah investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat besar di masa depan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.