Tantangan Pemerintahan Baru dalam Pemerataan Pendidikan di Daerah 3T

Hayuning Ratri Hapsari | hanifati radhia
Tantangan Pemerintahan Baru dalam Pemerataan Pendidikan di Daerah 3T
Ilustrasi siswa sekolah dasar di 3T Indonesia (Pexels/muallim nur)

Surat terbuka untuk pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto,

Pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu bentuk fasilitas yang diberikan negara terhadap para warga negaranya. Pendidikan mampu menjadi kunci untuk membuka gerbang pengetahuan dan kemajuan.

Selain itu, tidak hanya menjadi motor ilmu dan pengetahuan, namun pendidikan turut serta dalam membentuk karakter seorang individu. Sebagai individu dengan pribadi yang bijaksana, sadar akan kemampuan serta potensi yang terdapat dalam diri.

Namun demikian, fakta di lapangan masih ditemukan bahwa hingga saat ini banyak wilayah terpencil di Indonesia belum mendapatkan kualitas pendidikan yang merata.

Terdapat ketimpangan pendidikan antara daerah pedesaan dan perkotaan yang mempengaruhi capaian pembelajaran. Ketimpangan ini mencakup infrastruktur fisik, jaringan internet hingga ketersediaan dan kualitas SDM pengajar.   

Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, terjadi transformasi pendidikan yakni diberlakukannya kurikulum merdeka. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Kurikulum Merdeka pada 2022.

Pada 2024, Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional resmi diberlakukan untuk semua sekolah di Indonesia, baik jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan menengah.

Nadiem pun mengklaim, Kurikulum Merdeka ini merupakan kurikulum yang jauh lebih ringkas, sederhana dan lebih fleksibel. 

Akan tetapi, kondisi berbeda dialami sekolah di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) Indonesia. Di wilayah tersebut, implementasi Kurikulum Merdeka masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama di wilayah 3T. 

Adapun kendala tersebut antara lain terletak pada keterbatasan akses terhadap perangkat ajar dan informasi mengenai kurikulum.

Ada berbagai faktor yang menjadi penyebabnya. Mulai dari terbatasnya akses internet, minimnya kapasitas para guru karena kurangnya pelatihan.

Guru di perkotaan barangkali lebih sigap dan siap. Berbeda halnya dengan kondisi guru di daerah 3T yang tidak semua guru di sana memiliki kemampuan yang sama dalam memahami dan menerapkan kurikulum.

Selain berbagai penyebab di atas, hal ini juga diperparah dengan kondisi geografis yang masih sulit dijangkau. Dengan demikian, infrastruktur serta fasilitas, hingga SDM yang memadai jelas akan berpengaruh terhadap capaian dan kualitas pembelajaran.

Untuk itu, Bapak Presiden Prabowo beserta Wakil Presiden dan para jajaran menteri Kabinet Merah Putih, sebagai anak bangsa, kami menaruh harapan besar terhadap isu pendidikan.

Sebelum berbicara jauh mengenai kurikulum dan implementasinya di daerah 3T justru menurut saya perhatian terhadap kesenjangan pendidikan di Indonesia harus diatasi. Harus ada upaya agar masyarakat merasakan kehadiran negara di wilayah 3T.

Pertama, keterbatasan infrastruktur fisik dan teknologi

Berbicara keterbatasan infrastruktur pendidikan di daerah 3T antara lain fasilitas pendidikan yang memadai, seperti sekolah, ruang kelas, dan perpustakaan layak. Selain itu, infrastruktur berupa akses terhadap teknologi juga menjadi kerap menjadi masalah.

Misalnya, koneksi internet sering kali tidak tersedia atau tidak stabil. Pembelajaran ke depan semakin membutuhkan bahkan bergantung terhadap teknologi informasi dan digital. Dengan demikian, kesiapan teknologi dan jaringan internet, serta sumber daya guru dalam menguasai teknologi mutlak dibutuhkan.

Kedua, minimnya jumlah guru/tenaga pendidik

Salah satu tantangan yang dihadapi di wilayah 3T adalah minimnya jumlah guru/tenaga pendidik berkualitas. Bahkan, tidak sedikit sekolah menghadapi kekurangan guru.

Jika pun jumlahnya mencukupi, guru tersebut memiliki beban kerja yang tinggi hingga mengajar tidak sesuai bidang keahlian. Harapannya ke depan, pentingnya pemerataan jumlah guru antara perkotaan dan wilayah 3T.

Lowongan diprioritaskan di sana dan menegaskan regulasi agar para guru status ASN mengabdi dan berkomitmen. Mereka tidak menjadikan status ASN tersebut sebagai batu loncatan untuk pindah ke sekolah di perkotaan.

Ketiga, kesenjangan sosial dan budaya

Keragaman sosial budaya menjadi hal yang melekat apabila kita membahas Daerah 3T. Perbedaan bahasa hingga adat istiadat di berbagai daerah dapat menjadi hambatan dalam menyampaikan materi pelajaran secara efektif, terutama jika materi yang diajarkan tidak disesuaikan dengan konteks lokal.

Misalnya, faktor ekonomi, gender seperti lebih sedikit anak perempuan daripada anak laki-laki mengakses pendidikan bisa menjadi tantangan tersendiri.

Dengan demikian, perlu adanya perhatian dari berbagai sektor baik sekolah, guru namun juga orang tua, komunitas, tokoh adat, tokoh agama untuk membangun pendekatan pendidikan agar berjalan baik.

Surat terbuka ini, ingin menunjukkan permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia.

Implementasi kurikulum merdeka—atau jika kemudian ada kebijakan baru adalah bagian dari upaya memajukan dan menciptakan transformasi pendidikan.

Akan tetapi, kita harus mengurai akar masalah pendidikan yang masih menyertai hingga saat ini. Indonesia masih memiliki permasalahan kompleks yakni ketimpangan pendidikan di wilayah 3T yang harus dicari jawaban dan penyelesaiannya.

Kami nantikan janji-janji pemerintahan Anda yakni 17 program prioritas: Penguatan pendidikan, sains, dan teknologi, serta digitalisasi. 8 program hasil terbaik cepat: Membangun sekolah-sekolah unggul terintegrasi di setiap kabupaten, dan memperbaiki sekolah-sekolah yang perlu renovasi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak