Gibran dan Lapor Mas Wapres: Gagasan Empati atau Pencitraan?

Hayuning Ratri Hapsari | Alfino Hatta
Gibran dan Lapor Mas Wapres: Gagasan Empati atau Pencitraan?
Ilustrasi posko pengaduan digital. (Instagram/gibran_rakabuming)

Pada tanggal 12 November 2024, Indonesia menyaksikan dua peristiwa penting yang menunjukkan dinamika politik dan pemerintahan di era modern.

Pertama, kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke Amerika Serikat, dan kedua, inisiatif yang diambil oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan mendirikan posko pengaduan "Lapor Mas Wapres" di Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres).

Kontinuitas Pemerintahan di Era Digital

Walaupun sedang berada di luar negeri, Presiden Prabowo memperlihatkan bahwa kendali pemerintahan tetap berada di tangannya.

Melalui rapat jarak jauh yang dilaksanakan secara hybrid, Presiden terhubung dengan para menteri di Indonesia untuk membahas penanganan bencana erupsi Gunung Lewotobi di Flores Timur.

Langkah ini merupakan wujud dari kemajuan teknologi dalam tata kelola pemerintahan Indonesia. Meskipun terpisah ribuan kilometer, Presiden Prabowo mampu memberikan arahan yang jelas dan memastikan bahwa penanganan bencana berjalan dengan efektif.

Rapat yang dilakukan secara hybrid ini menegaskan bahwa jarak geografis tidak lagi menjadi hambatan dalam proses pengambilan keputusan penting. Teknologi digital telah memungkinkan koordinasi lintas benua, sehingga pemimpin negara tetap dapat menjalankan tugasnya meskipun tidak berada di dalam negeri.

Presiden Prabowo, melalui tindakan ini, menunjukkan ketegasan dan dedikasinya dalam menjalankan tugas negara, memperlihatkan bahwa pemerintahan tetap dapat berfungsi secara optimal tanpa kehadiran fisik pemimpin di tanah air.

Inisiatif "Lapor Mas Wapres": Antara Empati dan Pencitraan

Pada saat yang bersamaan, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka meluncurkan inisiatif "Lapor Mas Wapres", sebuah posko pengaduan yang bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, khususnya terkait penanganan bencana.

Layanan ini dibuka dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB, dan tampak banyak warga yang datang langsung ke kantor Setwapres untuk menyampaikan keluhan mereka.

Menurut Asisten Deputi Tata Kelola Pemerintahan Setwapres, Pranggono Dwianto, pihak warga harus melakukan registrasi terlebih dahulu di pos registrasi, sebelum diarahkan ke ruang pengaduan. Di ruang pengaduan, sejumlah staf membantu warga menyusun laporan secara lengkap.

"Tindak lanjut setelah laporan dibuat di ruang pengaduan adalah proses lebih lanjut di kantor sekretariat wakil presiden, termasuk analisis dan rekomendasi penyelesaian," demikian penjelasan Pranggono.

Inisiatif ini mendapatkan sambutan antusias dari sebagian masyarakat yang merasa lebih dekat dengan pemerintah. Namun, langkah tersebut juga menimbulkan kritik.

Beberapa pihak menilai bahwa pendirian posko ini merupakan bentuk pencitraan politik, yang menciptakan kesan adanya dualisme kepemimpinan, seolah-olah ada saluran alternatif dalam pemerintahan saat Presiden tengah berada di luar negeri.

Kritik ini mencerminkan kompleksitas politik Indonesia, langkah yang tampaknya pro-rakyat dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari upaya memperkuat citra pribadi dan ambisi politik, terutama menjelang pemilihan presiden tahun 2029.

Efektivitas Sistem Pengaduan: Tantangan dan Pertimbangan

Pendirian posko pengaduan di tingkat pusat menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan efisiensinya.

Berdasarkan penelitian dari London School of Economics (LSE) dan IEEE, efektivitas sistem pengaduan publik tidak hanya bergantung pada pembukaan kanal pengaduan, melainkan juga pada siapa yang mendengarkan dan bagaimana aduan tersebut ditindaklanjuti.

Tanpa struktur yang memadai serta keterlibatan pemerintah daerah, posko pengaduan di tingkat pusat berpotensi mengalami kesulitan dalam menangani ribuan aduan yang masuk setiap hari.

Sistem pengaduan publik yang ideal seharusnya dimulai dari level terbawah, seperti RT atau kelurahan, dan kemudian mengalir secara berjenjang hingga ke tingkat pusat. Pendekatan ini memungkinkan setiap level pemerintahan memikul tanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya.

Tanpa keterlibatan pejabat lokal, aduan dari masyarakat di daerah terpencil dapat terabaikan, mengingat pemerintah pusat tidak selalu memiliki pemahaman yang mendalam tentang konteks lokal.

Selain itu, jika tata kelola pengolahan data dan tindak lanjut tidak terstruktur dengan baik, posko semacam ini hanya akan menjadi tempat penumpukan aduan tanpa solusi konkret.

Penelitian IEEE menunjukkan bahwa tanpa penyaringan dan pengorganisasian yang baik, keluhan publik dapat mengakibatkan sumber daya terbuang hanya untuk memilah-milah aduan yang relevan.

Gibran dan Politik Panggung

Langkah Wakil Presiden Gibran dalam mendirikan posko pengaduan ini juga memunculkan perdebatan mengenai peran Wakil Presiden ketika Presiden sedang berada di luar negeri.

Kritik mengenai potensi dualisme kepemimpinan mencerminkan ketidakpastian dalam pengaturan kekuasaan dan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana politik sering kali bercampur dengan pencitraan dan ambisi pribadi.

Sebagai Wakil Presiden, Gibran berada dalam posisi yang sangat strategis, dengan peluang besar untuk memperkuat kehadiran politiknya melalui inisiatif seperti "Lapor Mas Wapres."

Dalam politik yang dinamis, hampir setiap langkah pejabat publik dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Bagi sebagian pihak, langkah Gibran ini dianggap sebagai upaya untuk membangun citra dan meraih simpati publik menjelang Pilpres 2029.

Peristiwa ini memberikan gambaran menarik tentang bagaimana dinamika pemerintahan, teknologi, dan politik saling bersinggungan di Indonesia.

Di satu sisi, teknologi telah memungkinkan proses koordinasi pemerintahan tetap berjalan lancar meskipun ada jarak fisik yang jauh.

Di sisi lain, langkah-langkah yang diambil Wakil Presiden Gibran memicu diskusi mengenai peran politik dalam membangun citra serta pentingnya menjaga keseimbangan dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

Inisiatif "Lapor Mas Wapres" mungkin tampak sebagai kebijakan pro-rakyat di permukaan. Namun, tanpa struktur yang jelas dan keterlibatan pemerintah daerah, posko tersebut berpotensi lebih menjadi langkah pencitraan daripada solusi nyata.

Oleh karena itu, membangun sistem pengaduan yang berjenjang dari bawah ke atas akan jauh lebih efektif dan adil, memastikan bahwa semua suara masyarakat benar-benar didengar dan ditindaklanjuti.

Meskipun kontroversial, peristiwa ini membuktikan bahwa dalam era yang semakin terhubung secara digital, politik, dan pemerintahan memiliki lebih banyak dimensi dan interpretasi yang kompleks.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak