Jebakan Maskulinitas di Balik Tren Video Laki-laki Tidak Bercerita

Hernawan | Dimas WPS
Jebakan Maskulinitas di Balik Tren Video Laki-laki Tidak Bercerita
Ilustrasi pria menangis (Pexels/Ivan Samkov)

Viral tren video di TikTok dengan narasi “laki-laki tidak bercerita”. Video-video dengan pendekatan humor tersebut menunjukkan bagaimana respons laki-laki yang tidak bercerita namun malah melakukan hal lain sebagai bentuk menutupi “kesedihan”.

Di dunia yang semakin terbuka dalam hal ekspresi perasaan dan emosi, satu hal yang masih menjadi pertanyaan adalah alasan mengapa banyak laki-laki sulit mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya. Banyak laki-laki lebih tertutup dan tidak mau bercerita tentang masalah pribadinya. Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini adalah adanya konsep maskulinitas yang sudah mengakar dalam budaya kita.

Banyak laki-laki merasa bahwa bercerita tentang perasaan mereka adalah tindakan yang bisa dianggap sebagai kelemahan. Sejak kecil, laki-laki dididik untuk menjadi “kuat,” “tangguh,” dan “tidak cengeng.”

Maskulinitas tradisional ini sering kali memberi doktrin bahwa seorang pria yang sejati adalah mereka yang tegar, yang mampu mengatasi masalahnya sendiri tanpa harus menceritakan kepada orang lain. Jika perempuan lebih terbuka soal perasaannya, banyak pria justru berusaha menjaga jarak dari obrolan yang lebih emosional.

Menurut pandangan ini, laki-laki diharapkan untuk mengendalikan emosi agar mereka bisa bertahan hidup di situasi yang menantang. Bukan tanpa alasan, maskulinitas ini memang memiliki dasar evolusi, di mana laki-laki perlu kuat secara fisik dan mental untuk berburu atau melindungi komunitasnya dari ancaman eksternal. Namun, warisan evolusi ini tak lagi sepenuhnya relevan di kehidupan modern, meskipun dampaknya tetap terasa.

Kamu mungkin sering mendengar tentang laki-laki yang memilih bercanda atau beralih ke topik lain saat ditanya tentang perasaannya. Humor dan sarkasme menjadi senjata mereka untuk menutupi apa yang sebenarnya mereka rasakan.

Selain itu, konsep “emotional flooding” juga turut berperan. Menurut Rebecca Whittle dalam jurnalnya yang berjudul “Flood of emotions: emotional work and long-term disaster recovery”, emotional flooding adalah situasi di mana seseorang merasa emosinya membludak dan dia merasa tidak mampu mengendalikannya.

Laki-laki lebih rentan terhadap situasi ini ketika mereka harus berbicara tentang emosi yang mendalam. Saat marah atau sedih, misalnya, mereka bisa lebih mudah kehilangan kendali atau melakukan hal yang nantinya mereka sesali.

Ketakutan inilah yang membuat pria merasa lebih nyaman untuk menahan diri dan menghindari percakapan yang bisa memicu reaksi emosional. Sebaiknya kita memulai mengubah pandangan kita tentang maskulinitas dimulai dengan memberikan ruang bagi mereka untuk terbuka tentang perasaan tanpa khawatir akan penilaian orang lain.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak