Hambatan akan ekspektasi dan ukuran sukses yang diterapkan oleh masyarakat pada mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi sepertinya masih sulit untuk diatasi oleh realita saat ini. Pendidikan tinggi, termasuk di dalamnya bertujuan meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, masih belum mencapai hasil optimal.
Di sebalik kemegahan pendidikan tinggi, terdapat cabaran inflasi gelar akademik. Sebelumnya, banyak orang berusaha memperoleh pendidikan tinggi untuk memperoleh pekerjaan dan gaya hidup yang memadai.
Anak-anak yang berasal dari desa terpencil dengan gigih mengejar impian menempuh pendidikan tinggi di kota. Mereka memberi inspirasi kepada masyarakat untuk mencapai kejayaan, sekurang-kurangnya bagi diri sendiri. Selain itu, mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan desa mereka.
Dikatakan, seorang sarjana diharapkan mempunyai masa depan yang cerah dan karier yang cemerlang, tetapi nasib buruknya adalah hanya menjadi menteri. Sebagian besar, jaminan tersebut mungkin relevan dan berlaku pada zamannya, ketika sedikit orang yang meraih gelar sarjana.
Ketika seseorang mendapatkan gelar sarjana, sepertinya mereka memiliki tiket emas untuk mencapai kesuksesan. Tidaklah mengherankan kepercayaan bahwa memiliki gelar sarjana akan membawa kesuksesan secara otomatis, dan keyakinan ini telah diturunkan secara turun-temurun serta dianggap sebagai kebenaran mutlak oleh masyarakat sampai saat ini.
Jumlah itu terlihat amat kecil bila dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang mencapai 282. 477. 584 orang. Lulus dari perguruan tinggi tidak menjamin kehidupan yang diimpikan oleh banyak orang.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi era 2019-2024, Nadiem Anwar Makarim, mengungkapkan bahwa sebanyak 80% lulusan perguruan tinggi bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusan yang mereka ambil semasa kuliah.
Hal menyangka kalau nggak semua kemampuan yang dipelajari di kampus bisa dicari di dunia kerja. Bagi para lulusan perguruan tinggi, penting untuk mampu beradaptasi dengan perubahan yang dinamis dalam kebutuhan industri yang kompleks.
Entah bagaimana, lulusan perguruan tinggi harus selalu mengikuti arus di pasar kerja, walau pun berbeda dengan jurusan yang ditekuni. Meskipun begitu, masih banyak pengangguran di antara lulusan perguruan tinggi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan Februari 2024, tercatat sebanyak 871. 869 orang pengangguran dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi. Tentu, jumlah ini tak dapat diremehkan. Masih banyak lulusan perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada periode 2019-2024, yang merangkap sebagai Nadiem Anwar Makarim, menyampaikan bahwa sebanyak 80% lulusan institusi perguruan tinggi bekerja di luar bidang studi yang pernah mereka tekuni saat menjalani masa perkuliahan.
Hal ini mencerminkan bahwa tidak semua keterampilan yang dipelajari di perguruan tinggi diminati di dunia kerja. Bagi para lulusan perguruan tinggi, penting untuk mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan kebutuhan industri yang beragam dan kompleks.
Para lulusan perguruan tinggi harus mengikuti tren di pasar kerja, walaupun tidak sesuai dengan jurusan mereka, entah bagaimana. Meski begitu, banyak orang yang lulus dari perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan Februari 2024, tercatat sebanyak 871. 869 orang yang merupakan lulusan perguruan tinggi mengalami pengangguran terbuka. Tentu ini bukanlah angka yang sedikit. Masih banyak lulusan perguruan tinggi yang belum mendapatkan kesempatan di dunia kerja.
Terdapat ratusan ribu lulusan perguruan tinggi yang termasuk dalam kategori 'not in employment, education, and training' (NEET). Jumlah yang tinggi dari lulusan perguruan tinggi yang tidak bekerja, belajar, atau berlatih (NEET) menandakan adanya ketidaksesuaian antara materi pembelajaran di institusi pendidikan dan tuntutan kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia kerja yang terus berubah.
Pemerintah bersama perguruan tinggi perlu melakukan evaluasi mendalam terkait penyelarasan kurikulum dengan tuntutan industri. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah bekerjasama dengan berbagai industri untuk memastikan kurikulum tetap relevan dengan kebutuhan keterampilan dan memiliki daya saing di pasar kerja global.
Ini adalah fenomena yang menantang yang seharusnya membuat kita semua merenung. Sudahkah kita benar-benar melihat peningkatan jumlah gelar akademik yang diberikan? Hal ini mungkin merupakan fenomena yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Kini semakin bertambah mereka yang bergelar pendidikan tinggi, namun nilai strategis serta daya saingnya mengalami penurunan di pasar kerja. Gelar yang dulunya dianggap cukup untuk mendapatkan pekerjaan tertentu, saat ini tidak lagi memenuhi standar.
Sekarang, memiliki gelar akademik tidak selalu menjamin pekerjaan yang baik dengan bayaran yang tinggi. Tentu saja, hal ini membuat lulusan pendidikan tinggi merasa bahwa gelar mereka kurang memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan mereka.
Sabet banyak lulusan sarjana yang memutuskan ataupun dipaksa untuk mengejar kesempatan di pekerjaan dengan kualifikasi yang lebih rendah. Banyak pekerja merasa kurang puas karena harapan mereka tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Fenomena ini mempengaruhi aspek-aspek lainnya secara berkelanjutan. Jumlah pengangguran semakin meningkat di antara lulusan perguruan tinggi bisa menghambat perkembangan ekonomi.
Di tingkatan yang lebih serius, hal itu bisa menambah kedalaman kesenjangan resesi ekonomi. Di samping itu, kesan daripadanya juga akan memberi kesan kepada aspek sosial. Ini bisa memperburuk masalah sosial, seperti tingginya tingkat kriminalitas, ketimpangan sosial, kemiskinan, dan berbagai masalah sosial lain yang rumit dan berdampak dalam jangka panjang.
Inflasi gelar akademik mencerminkan tantangan signifikan yang dihadapi dalam bidang pendidikan dan di pasar kerja pada masa sekarang dan yang akan datang. Meski pendidikan tinggi diutamakan, pertumbuhan jumlah lulusan tanpa didukung oleh keterampilan yang relevan dan kesempatan kerja yang memadai berpotensi menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks, mengancam masa depan negara.
Dibutuhkan pendekatan yang terintegrasi dari berbagai pihak yang terlibat, seperti pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri. Hal ini dilakukan untuk menjaga nilai strategis pendidikan tinggi tanpa mengganggu keseimbangan di pasar kerja.