Belakangan muncul berita-berita yang menyoroti Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, yang mengusulkan adanya mata pelajaran coding dan artificial intelligence (AI) untuk siswa sekolah dasar. Usulan ini memancing banyak komentar publik dan para pakar pendidikan.
Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. Sebagian menyampaikan bahwa daripada coding, ada beberapa mata pelajaran yang perlu dituntaskan terlebih dahulu.
"SD itu sekolah dasar. Pemrograman itu tidak bisa dibilang ilmu dasar. Dasar dari pemrograman itu problem solving. Jadi kalau mau, itu dulu yang diajarkan."
"Banyak yang mau belajar coding, tapi rata-rata anak sekolah anti-matematika. Gimana tuh?"
"Boleh aja sih, tapi harus ada guru yang kompeten di bidangnya, perangkat dan akses yang mumpuni, dan listrik yang memadai."
"Kalau di kota mungkin bisa ya, tapi kalau di desa dan pedalaman? Apa nggak terlalu menyiksa?"
"Paham dan menguasai coding otomatis pola pikir siswa jadi berubah. Bisa menyelesaikan masalah dengan tenang dan cepat. Penting untuk kehidupan di masa depannya."
"Kalau boleh saran, sebaiknya anak SD lebih diajarkan ke arah pengetahuan dasar komputer, seperti pengoperasian dasar, shortcut, dan komponen dasar komputer."
"Kalau menurut saya, sebatas pengetahuan terkait coding. Mungkin maksudnya hendak membiasakan siswa terkait cara berpikir kritis, memecahkan masalah dan logikanya, bukan cara codingnya yang lebih ke matematika. Tinggal kita sebagai guru dalam menerapkannya mau cara apa. Mau memaksa dengan pendekatan pembelajaran orang dewasa atau menyederhanakan konsep coding berdasarkan usia dan gaya belajar siswa."
Pembelajaran coding di sekolah dasar ini digalakkan untuk menunjukkan upaya mempersiapkan generasi muda menghadapi era digital. Mungkin beberapa siswa dan sekolah yang tertarik dan siap akan menyambut baik usulan ini.
Namun, di balik antusiasme ini, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan, terutama terkait dengan kesiapan siswa.
Salah satu kendala utama adalah kemampuan matematika dan bahasa Inggris yang belum memadai. Konsep-konsep dasar dalam coding, seperti logika, algoritma, dan variabel, sangat bergantung pada pemahaman matematika.
Begitu pula dengan bahasa pemrograman yang umumnya menggunakan bahasa Inggris. Jika siswa belum menguasai kedua hal ini, mereka akan kesulitan memahami dan menerapkan konsep-konsep coding.
Selain itu, kurangnya sarana dan prasarana yang memadai juga menjadi kendala. Tidak semua sekolah memiliki komputer atau perangkat lunak yang cukup untuk mendukung pembelajaran coding.
Bahkan, di beberapa daerah, akses internet yang terbatas menjadi hambatan tersendiri. Apalagi mata pelajaran teknologi informasi dan komputer (TIK) sempat dihapus dari Kurikulum 2013 yang lalu dan dihidupkan kembali di Kurikulum Merdeka ini.
Guru juga menghadapi tantangan dalam mengajar coding. Tidak semua guru memiliki latar belakang pendidikan di bidang komputer. Mereka perlu mengikuti pelatihan khusus agar dapat menyampaikan materi coding dengan efektif.
Usul yang disambut baik ini ditanggapi menteri. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan memasukkan mata pelajaran coding dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di kurikulum pelajaran tingkat SD pada tahun ajaran 2025/2026 mendatang.
Menurut Abdul Mu’ti, mata pelajaran Coding dan AI itu merupakan mata pelajaran pilihan, tergantung kemampuan sekolah dan anak.
Bagaimana pun ada sisi positif adanya kebijakan semacam ini. Generasi muda telah diperkenalkan dan tumbuh bersama teknologi. Mereka memang sangat dianjurkan memahami dan menggunakan dengan bijak teknologi itu untuk kehidupan mereka sehari-hari.
Hanya saja, kebijakan ini memang perlu terus dievaluasi, misalnya dinilai dari apakah siswa SD tertarik mempelajari coding dan AI.
Apakah kompetensi mereka mumpuni dengan adanya tuntutan pembelajaran tersebut. Jika berjalan positif, kebijakan ini tentunya dapat dikembangkan kembali.
Pendidikan memang harus sesuai zaman, tetapi pendidikan sesuai zaman ini harus diikuti dengan kemampuan dasar yang tuntas.
Jika masalah-masalah sekarang, seperti anak SD sampai SMA yang belum fasih berhitung dan membaca, bagaimana kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan baik? Bukankah akan ada banyak anak yang tertinggal jika dipaksakan?
Apakah nantinya akan ada sekolah anak-anak jenius untuk mereka yang dapat mengikuti arus kebijakan yang semakin tinggi dan ada sekolah untuk anak-anak terbelakang yang membaca dan berhitung pun mereka masih gagu?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS