Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang ramah komunitas. Banyak komunitas di Yogyakarta, termasuk yang mewadahi pengembangan minat dan bakat teman-teman difabel. Beberapa komunitas untuk teman-teman difabel tersebut di antaranya yakni Difabelzone, Jogja Disability Arts, serta Bawayang.
Broto Wijayanto, akrab disapa Broto, merupakan salah satu tokoh kunci berdirinya komunitas inklusif, Bawayang. Komunitas ini awalnya dikenal dengan nama Deaf Art Community sebelum bertransformasi menjadi Bawayang pada tahun 2018, dengan fokus utama pada pengembangan seni bagi teman-teman difabel.
Bawayang hadir dengan mengusung nilai inklusif. Inklusif mengacu pada pendekatan untuk menciptakan dan mengembangkan lingkungan yang lebih terbuka dan menerima keberagaman.
Bawayang bertujuan untuk mengubah stigma negatif di masyarakat yang sering kali menyebabkan teman-teman difabel diperlakukan dengan tidak adil. Melalui penampilan dan pengenalan bakat yang mereka miliki, Bawayang berusaha menunjukkan kemampuan luar biasa dari teman-teman difabel.
“Visi dan misinya jelas, bagaimana kita mengenalkan budaya tuli melalui teman-teman difabel kepada masyarakat luas,” ujar Broto, menjelaskan alasan di balik terbentuknya Bawayang.
Mempertahankan dan mewujudkan visi serta misi sebuah komunitas tentu bukan hal yang mudah, apalagi menyangkut banyak orang di dalamnya. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang bagi Broto untuk terus berjalan bersama komunitas ini, “Tidak ada hambatan sejauh ini, karena pada dasarnya ini bukan menjadi komunitas yang mengekang”, kata Broto ketika ditanya tentang hambatan pada komunitas ini.
Dinamika anggota menjadi satu bagian dari perjalanan komunitas ini, “Kami di sini sejak masih Deaf Art Community, ada banyak orang yang datang pergi entah karena sudah lulus atau pergi bekerja, ya kami tetap berjalan dengan kondisi yang seperti itu,” Broto menegaskan bahwa perubahan anggota tidak mengurangi semangat komunitas untuk terus berkarya.
Broto Berhasil Menciptakan Ekosistem yang Positif
Pengalaman berdinamika bersama dengan banyak orang bahkan sebelum komunitas ini terbentuk, melatih Broto untuk mampu menciptakan ekosistem yang mengalir dan nyaman, sehingga semua anggota, termasuk teman-teman difabel, merasa diterima dan bisa berkontribusi dengan maksimal di komunitas ini.
Komunitas yang awalnya dibentuk untuk mengenalkan budaya tuli kepada masyarakat agar masyarakat dapat mengenal lebih luas tentang budaya tuli, sekarang mampu menjadi rumah bagi teman-teman difabel untuk saling menggandeng dan memberi dukungan satu sama lain.
Semangat Broto dalam mengembangkan komunitas ini menjadi fondasi utama yang membuat Bawayang dapat bertahan sejauh ini. Sejak awal terbentuk, Broto terus hadir sebagai penggerak yang memastikan setiap kegiatan dapat berjalan sesuai cita-cita komunitas. Komitmen yang kuat, membawanya untuk selalu semangat mendampingi, melatih serta mengarahkan teman-teman difabel dalam melakukan pentas atau kegiatan lainnya.
Dedikasi Broto serta kekompakan seluruh teman-teman di komunitas Bawayang ini menjadi contoh nyata perwujudan semangat dan harapan teman-teman difabel untuk dapat setara di masyarakat. Melalui karya-karya yang ada, komunitas ini tidak hanya sekedar menampilkan pertunjukan seni, tetapi juga membuktikan bahwa keterbatasan tidak menjadi halangan untuk berprestasi dan menginspirasi banyak orang. Semoga perjuangan ini terus berlanjut, menjadi inspirasi bagi masyarakat, dan mendorong terciptanya inklusivitas di masyarakat.