Generasi Muda dan Desain Demokrasi Digital ke Depan

Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Generasi Muda dan Desain Demokrasi Digital ke Depan
Ilustrasi gen Z (Pexels.com/Allan Mas)

Seperti angin yang tak tampak, namun terasa, demikianlah perubahan yang dibawa oleh Gen Z dalam politik kita. Mereka yang lahir setelah 1995, telah dibentuk dalam lingkungan yang sangat berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Teknologi adalah bagian dari kehidupan mereka, dan dunia digital adalah ruang mereka tumbuh dan berkembang. Namun, apakah perubahan ini benar-benar merefleksikan perubahan substansial dalam cara kita berpolitik, atau justru sekadar kulit luar dari sebuah sistem yang terfragmentasi?

Mari kita bicara tentang "Demokrasi Digital". Istilah ini terdengar seperti jargon, tapi jika kita telusuri lebih dalam, ia adalah hal yang jauh lebih kompleks.

Demokrasi digital adalah kenyataan bahwa suara kita—entah itu melalui tweet, post Instagram, atau komentar di YouTube—dapat menggerakkan opini publik. Di satu sisi, ini adalah kemajuan. Di sisi lain, kemajuan ini datang dengan dampak yang belum sepenuhnya kita pahami.

Pertanyaannya sederhana, namun sangat mendalam: apakah demokrasi bisa bertahan di ruang digital yang cepat dan dangkal ini?

Gen Z dan Demokrasi Digital: Antara Dominasi dan Hegemoni

Gen Z tahu betul bagaimana cara berkomunikasi di dunia digital. Mereka hidup dalam dunia di mana informasi bergerak lebih cepat daripada cahaya dan opini terbentuk dalam hitungan detik.

Jika di masa lalu, politik terjadi melalui diskusi di ruang rapat atau media massa, sekarang ini segala sesuatunya bisa terjadi dalam satu unggahan di media sosial.

Gen Z bisa dengan mudah menyuarakan pendapat, membuat hashtag yang mengubah arah pembicaraan, atau bahkan menciptakan gerakan sosial tanpa harus meninggalkan kamar tidur mereka.

Mereka adalah generasi yang lahir di era algoritma, pengetahuan bisa dicari hanya dengan mengetikkan kata kunci di mesin pencari.

Namun, inilah tantangan utama dalam demokrasi digital: kecepatan informasi yang tak terkontrol, yang sering kali berujung pada ketidakjelasan antara fakta dan opini.

Di dunia yang serba terhubung ini, kita tidak hanya berbicara tentang kebebasan berekspresi. Kita juga berbicara tentang kemampuan untuk mengontrol narasi, menyebarkan disinformasi, dan memperkeruh pemahaman masyarakat tentang suatu isu.

Gen Z yang sangat bergantung pada platform digital perlu menyadari bahwa "kebenaran" di dunia digital sering kali hanyalah ilusi yang dibentuk oleh algoritma yang menguntungkan pihak tertentu.

Jika kita ingin berbicara tentang demokrasi, maka kita harus mengingat satu hal: demokrasi itu bukan hanya soal suara, tetapi juga soal pemahaman.

Hal ini adalah tantangan yang harus dihadapi oleh generasi digital. Menggunakan teknologi bukan berarti memahami substansi, dan ini adalah peringatan yang perlu diingat oleh mereka.

Desain Politik di Era Digital: Terperangkap dalam Citra dan Simbolisme

Berbicara soal desain politik, kita tak bisa lepas dari kenyataan bahwa politik sekarang ini semakin berbasis pada citra dan simbolisme.

Politikus bukan lagi dilihat berdasarkan kualitas kebijakan mereka, melainkan lebih pada bagaimana mereka membangun citra di media sosial. Dalam desain politik yang serba digital ini, segala sesuatu terasa lebih cepat, lebih dangkal, dan lebih mudah dimanipulasi.

Gen Z, sebagai konsumen utama dari konten digital, sudah terbiasa dengan politik yang penuh dengan citra. Mereka tumbuh dalam dunia yang dikuasai oleh influencer dan selebriti.

Politik yang berbasis pada kredibilitas dan substansi mulai tergeser oleh politik yang berfokus pada tampilan luar, slogan kosong, dan janji-janji yang terkesan lebih seperti iklan komersial daripada gagasan substantif.

Di sini, kita melihat bagaimana desain politik mengalami distorsi: politik bukan lagi mengenai "apa yang kamu lakukan", melainkan "bagaimana kamu terlihat melakukan itu".

Namun, kita harus bertanya, apakah ini adalah evolusi politik yang lebih baik? Atau justru, apakah kita sedang menuju sebuah titik di mana politik hanya menjadi sebuah permainan besar yang dikuasai oleh pencitraan dan algoritma media sosial?

Ini adalah pertanyaan yang perlu dijawab oleh Gen Z, karena mereka bukan hanya sebagai konsumen dari desain politik ini, tetapi juga sebagai pelaku yang akan memengaruhi arah politik ke depan.

Arah Politik ke Depan: Dari Pola Lama ke Ketidakpastian

Arah politik ke depan akan sangat dipengaruhi oleh cara Gen Z memandang dunia. Dalam pandangan saya, kita berada di titik ketidakpastian.

Ketika kita berbicara tentang masa depan politik, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita sedang berada dalam era perbatasan negara semakin kabur, ideologi politik semakin terfragmentasi, dan solidaritas sosial semakin rapuh.

Politik tidak lagi hanya soal ideologi atau partai; ia menjadi lebih soal identitas, pemahaman tentang diri, dan, yang lebih penting, tentang siapa yang memegang kendali atas data dan informasi.

Gen Z tentu memiliki potensi besar untuk membawa perubahan, tetapi perubahan seperti apa yang akan mereka bawa? Apakah mereka akan memperjuangkan demokrasi yang lebih inklusif dan terbuka, atau mereka akan terjebak dalam perangkap digital yang semakin membatasi ruang bagi diskusi yang konstruktif?

Mereka memiliki kekuatan untuk menciptakan gerakan besar melalui digitalisasi, namun apakah mereka bisa memimpin gerakan itu dengan kedalaman dan kejelasan visi, ataukah hanya akan terbawa oleh arus tren yang cepat dan sesaat?

Jika kita melihat ke depan, kita harus sadar bahwa desain politik yang lebih terfragmentasi akan muncul. Ideologi akan semakin kabur, dan politik akan semakin berbasis pada afiliasi pribadi dan virtual.

Partai-partai politik yang dulu mendominasi akan semakin kehilangan relevansinya, digantikan oleh gerakan-gerakan yang lebih terdesentralisasi, lebih cair, dan lebih dipengaruhi oleh dinamika digital.

Dunia politik yang dulu hanya terjaga oleh institusi-institusi klasik kini akan digantikan oleh kekuatan yang jauh lebih fleksibel namun lebih sulit dipahami.

Berpikir Kritis adalah Kebutuhan, Bukan Pilihan

Jadi, apakah ini adalah gambaran cerah tentang masa depan? Tidak. Ini adalah gambaran yang penuh dengan tantangan. Gen Z memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, tetapi mereka harus sadar akan bahaya dari ketercepatan dan kesederhanaan dalam dunia digital.

Mereka harus memahami bahwa perubahan yang signifikan bukanlah soal viralitas atau trending topic, tetapi soal pemikiran kritis yang mendalam, yang mampu menembus lapisan permukaan dari apa yang terlihat mudah dan sederhana.

Gen Z memiliki satu tugas besar: mereka harus menjadi pelopor bagi politik yang lebih matang, lebih dalam, dan lebih bijaksana.

Demokrasi digital bukan hanya soal memiliki akses ke suara, tetapi soal bagaimana suara itu digunakan dengan penuh kesadaran dan pertanggungjawaban.

Mereka harus mampu menggunakan kekuatan media sosial, bukan hanya untuk membuat suara mereka terdengar, tetapi untuk memastikan bahwa suara itu bukan hanya kebisingan yang kosong, tetapi juga gema dari pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab.

Sebagaimana yang sering dikatakan, “Berpikir itu penting, tapi berpikir kritis lebih penting”. Gen Z, di tangan mereka, ada masa depan demokrasi.

Tapi untuk mencapainya, mereka harus berhenti sejenak, berpikir dengan kritis, dan memahami bahwa dalam politik, substansi selalu lebih penting daripada permukaan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak