Meneropong Tantangan dan Solusi Literasi Perpajakan bagi Freelancer Digital

Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Meneropong Tantangan dan Solusi Literasi Perpajakan bagi Freelancer Digital
Orang Menghitung Uang Dengan Ponsel Cerdas Di Depan Meja.[Kuncheek/Pexels.com]

Di tengah pergeseran besar-besaran menuju ekonomi digital, lahirlah sebuah fenomena baru dalam dunia kerja: freelancer digital. Mereka adalah para pekerja lepas yang tidak terikat oleh ruang, waktu, ataupun struktur kerja konvensional.

Berbekal koneksi internet dan keterampilan spesifik, para freelancer kini dapat bekerja lintas negara, menyelesaikan proyek-proyek kreatif dari rumah, kedai kopi, bahkan dari pelosok desa sekalipun. Namun, seiring dengan fleksibilitas dan peluang yang terbuka lebar itu, muncul pula tantangan baru yang belum sepenuhnya terpecahkan—salah satunya adalah soal literasi pajak.

Indonesia saat ini mencatat sekitar 27 juta freelancer (Statista, 2021), jumlah yang cukup signifikan mengingat total populasi negara ini menyentuh angka 283 juta jiwa. Platform seperti UpWork, Fiverr, Freelancer.com, dan media sosial seperti Instagram atau TikTok telah menjadi lahan subur bagi pertumbuhan ekonomi berbasis kreativitas. Namun di balik geliat ini, ada paradoks besar: minimnya kesadaran dan pemahaman para pekerja digital akan kewajiban perpajakan mereka.

Kebingungan umum yang muncul di kalangan freelancer digital kerap berputar pada pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apakah saya wajib membayar pajak? Bagaimana cara menghitung dan melaporkannya? Apa yang terjadi jika saya tidak melapor? Pertanyaan-pertanyaan ini menandakan satu hal: literasi pajak belum menjadi bagian dari kesadaran profesional para pekerja digital.

Sistem self-assessment yang diberlakukan di Indonesia memberi kebebasan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (termasuk freelancer) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri. Namun tanpa bekal pengetahuan dan pendampingan yang memadai, sistem ini justru menjadi jebakan sunyi.

Berbeda dengan pekerja tetap yang pajaknya langsung dipotong oleh perusahaan (PPh Pasal 21), freelancer harus menghitung dan membayar sendiri pajaknya, kecuali penghasilannya sudah dipotong oleh klien. Jika tidak, maka mereka wajib menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dan melaporkan seluruh penghasilan secara mandiri lewat SPT Tahunan. Sayangnya, prosedur ini dianggap rumit dan tidak intuitif, terutama bagi freelancer pemula atau mereka yang bekerja lintas platform dan lintas negara.

Di sisi lain, pemerintah pun menghadapi tantangan yang tak kalah pelik. Menarik pajak dari pendapatan yang bersumber dari berbagai platform global dengan mekanisme pembayaran digital yang tidak selalu transparan, bukan perkara mudah.

Belum lagi perbedaan regulasi antarnegara yang menyulitkan pelacakan dan klasifikasi penghasilan. Negara-negara seperti Inggris dan Kazakhstan telah mencoba mengenakan Digital Services Tax sebagai solusi. Namun di Indonesia, pendekatan tersebut masih terbentur kesiapan sistem dan resistensi dari ekosistem digital.

Untuk itu, dibutuhkan strategi perpajakan yang tidak hanya represif, tetapi juga adaptif dan edukatif. Literasi pajak harus dibangun sejak awal. Pemerintah bisa menggandeng platform digital untuk menjadi mitra edukasi atau bahkan pemungut pajak otomatis. Kurikulum perpajakan dasar perlu diintegrasikan ke dalam pelatihan-pelatihan daring seperti bootcamp, webinar, atau komunitas kreatif yang banyak diikuti oleh para freelancer.

Selain itu, digitalisasi sistem perpajakan—dari pelaporan hingga pembayaran—harus benar-benar ramah pengguna. Bayangkan jika platform digital tempat freelancer bekerja secara otomatis terhubung dengan sistem pelaporan pajak negara. Proses yang dulunya rumit bisa disederhanakan menjadi beberapa klik saja. Ketika pelaporan pajak semudah mengunggah portofolio, maka kepatuhan bukan lagi beban, melainkan bagian dari proses profesionalisme.

Pada akhirnya, literasi pajak bagi freelancer digital bukan sekadar tentang memenuhi kewajiban administratif, tetapi juga mencerminkan bagaimana negara hadir dalam era ekonomi baru: sebagai fasilitator, bukan sekadar pengontrol. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, pajak pun harus mengikuti arus—lebih ringan, cerdas, dan partisipatif.

Jika tidak, maka potensi besar ekonomi digital hanya akan menghasilkan pertumbuhan tanpa kontribusi, kemajuan tanpa keadilan fiskal. Sudah saatnya paradigma perpajakan bertransformasi, seiring dengan wajah baru dunia kerja yang semakin cair. Di era di mana segala hal bisa dilakukan dari ujung jari, membayar pajak pun semestinya bisa dilakukan dengan mudah—tanpa rasa takut, tanpa rasa bingung.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak