I want you to stay
'Til I'm in the grave
'Til I rot away, dead and buried
'Til I'm in the casket you carry
Itulah empat baris pertama lagu Birds of a Feather, yang artinya kurang lebih adalah “Aku ingin kamu tetap bersamaku, sampai akhir hayatku, membusuk, mati, dan terkubur, sampai aku di dalam peti mati yang kau bawa”.
Sejujurnya saya suka beat lagunya, dan musiknya, berikut suara Billie Eilish yang menciptakan lagunya dan menyanyikannya. Berbagai stasiun radio sepertinyal juga cukup sering membawakan lagu ini.
Akan tetapi, suatu kali ketika volume radio mobil saya keraskan, saat menjemput anak sulung saya yang duduk di kelas XI di sebuah SMA negeri favorit di Yogyakarta, saya cukup terkejut ketika mendengar komentar anak saya tentang lagu ini. Begini kira-kira kurang lebih komentar anak saya itu “Lagunya nyebelin yah, soalnya sering dipakai si “C” jadi background story IG-nya”.
Saat itulah saya mulai merenungkan kata-kata anak saya tersebut. Si “C”, begitu inisial nama teman perempuannya itu memang beda geng dengan anak saya, saat mereka masih SMP. Bahkan geng mereka sering perang dingin, sampai perang terbuka, dengan berebut penguasaan ruang kelas. Akan tetapi, geng mereka tidak sampai konflik fisik, hanya perang urat syaraf saja.
Dalam pikiran saya, sebuah pertanyaan besar muncul, “Benarkah lagu Birds of a Feather ini menyebalkan? Kalau iya, mengapa bisa demikian? Kalau tidak, berarti anak saya keliru menilai.
Kalau dilihat dari makna lirik lagunya, kita bisa melihat secara gamblang, sikap posesif dan obsesif dari sang pencipta lagu, yaitu Billie Eilish terhadap pacarnya. “Birds of a feather, we should stick together, I know ('til the day that I die) / I said I'd never think I wasn't better alone..”, yang artinya kurang lebih, Billie Eilish memandang bahwa dirinya dan pacarnya adalah selayaknya sepasang burung, yang harus selalu bersama, sampai mati, ia juga tidak pernah terpikirkan untuk hidup sendiri tanpa pacarnya.
Saya tidak paham apakah anak saya tersebut tidak suka dengan cinta yang posesif dan obsesif? Ataukah hanya karena ketidaksukaannya dengan mantan teman sekolahnya yang perempuan itu, karena yang bersangkutan sering menjadikannya background story IG-nya?
Jika yang pertama jawabannya, maka anak saya ternyata sudah jauh lebih dewasa pola pikirnya dibanding saya pada saat masih seumuran dia. Jujur, semasa SMA, generasi saya biasanya banyak yang posesif dan obsesif dalam menjalani kehidupan cintanya. Biasanya, jika ada orang yang cukup santai dalam berpacaran dan tidak cemburuan, kami cenderung mengagumi orang tersebut, karena bagi kami, sikap itu cukup langka, dan di luar kelaziman saat itu.
Kembali ke pertanyaan awal tadi, benarkan lagu ini menyebalkan? Saya pikir ini adalah sebuah ekspresi yang indah terhadap perasaan cinta dalam diri seseorang. Persoalannya, jika kemudian sikap posesif dan obsesif ini menimbulkan sikap “bucin” (budak cinta), maka kehidupan percintaan akan menjadi tidak sehat dan tidak baik untuk dijalani.
Akan tetapi, jika kemudian sikap posesif dan obsesif ini membuat seseorang bisa menjalin hubungan cinta yang hangat dengan kekasihnya, maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah ekpresi cinta yang indah. Walaupun demikian, batas-batas tertentu dalam hubungan percintaan, tetang harus senantiasa diperhatikan. Batas-batas tersebut, seperti sejauh mana ekspresi cinta dan kasih sayang di antara dua orang yang tengah berpacaran bisa ditolerir, dan lainnya.
Akhir kata, lagu “Birds of a Feather”, pada dasarnya adalah sebuah ekspresi yang indah dari sebuah sikap posesif dan obsesif dalam menjalani hubungan cinta. Billie Eilish, dalam pandangan saya, telah berhasil membuat sikapnya dalam menjalani kehidupan cinta dengan kekasihnya tersebut menjadi sesuatu yang indah dan enak didengar dan dirasakan. Hanya saja, jangan sampai lagu ini kemudian menimbulkan dampak negatif terhadap penggemarnya, seperti sikap ultra posesif, bucin, dan lainnya.