Di Balik Filter Wajah: Harapan, Realita, dan Standar Kecantikan Tak Realistis

Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Di Balik Filter Wajah: Harapan, Realita, dan Standar Kecantikan Tak Realistis
Ilustrasi orang foto selfie (pexels/Julia M Cameron)

Saat pertama kali mencoba filter wajah di media sosial, mungkin Anda merasa kagum. Kulit tampak lebih cerah, wajah lebih simetris, dan jerawat pun menghilang dalam sekejap. Filter wajah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas digital, terutama di kalangan anak muda. Emang, iya? Simak tulisan ini lebih lanjut.

Sebuah studi dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking oleh Chae (2021) menyebutkan bahwa penggunaan filter wajah secara rutin dapat memengaruhi cara seseorang memandang dirinya sendiri. Namun, sejauh mana efek ini mengubah kepercayaan diri dan citra diri kita?

Di satu sisi, filter memberikan kenyamanan instan. Anda tak perlu repot merias wajah atau khawatir soal pencahayaan buruk. Semua bisa diatasi dengan sekali klik.

Filter wajah menjadi "tameng" digital yang membuat banyak orang merasa lebih percaya diri saat berinteraksi di dunia maya.

Tapi ironisnya, filter yang dirancang untuk meningkatkan kepercayaan diri ini sering kali berbalik menjadi boomerang. Ketika seseorang terus-menerus melihat versi sempurna dirinya, versi asli bisa terasa kurang memuaskan.

Fenomena ini kerap disebut Snapchat Dysmorphia, seseorang menginginkan wajah mereka terlihat seperti hasil filter. Tren ini mendorong beberapa individu untuk mempertimbangkan tindakan ekstrem, seperti operasi plastik, demi menyerupai tampilan virtual mereka.

Bayangkan, wajah asli kita justru terasa asing karena terlalu terbiasa melihat versi yang "diedit". Ini menjadi pengingat bahwa kecantikan digital bisa menciptakan standar tak realistis yang menyiksa.

Selain itu, filter wajah sering kali memperkuat bias kecantikan yang sempit. Banyak filter yang mengutamakan kulit cerah, hidung kecil, dan wajah tirus.

Padahal, standar kecantikan berbeda di tiap budaya. Ketika filter mendikte apa yang dianggap menarik, keunikan individu berisiko terabaikan. Apakah kita sedang merayakan kecantikan atau justru melanggengkan stereotip lama dalam kemasan modern?

Namun, tidak adil jika kita menyalahkan filter sepenuhnya. Teknologi ini sebenarnya adalah alat, dampaknya tergantung pada cara kita menggunakannya. Filter bisa menjadi media ekspresi, eksperimen estetika, atau sekadar hiburan.

Masalah muncul ketika kita terlalu bergantung pada filter untuk merasa berharga. Kunci utamanya adalah kesadaran akan batasan antara dunia maya dan realita.

Bagi Anda yang sering menggunakan filter wajah, cobalah sesekali tampil apa adanya. Ini bukan tentang menolak teknologi, melainkan tentang menerima diri sendiri. Menggunakan filter itu sah-sah saja, selama kita tetap menghargai versi asli dari diri kita. Karena di balik semua filter, nilai diri sejati tidak pernah bisa disunting.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak