Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, begitulah bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 45. Hak warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan saat ini belum sepenuhnya terpenuhi. Masih banyak rakyat kita yang belum bisa menikmati fasilitas dan akses mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan bermutu.
Prosentase anak Indonesia yang tidak sekolah di tahun 2024 masih cukup tinggi yakni mencapai 19,20% (goodstats.id). Sementara itu angka putus sekolah di tahun 2024 untuk jenjang SMP dan SMA mencapai 4,6 juta orang. Salah satu sebab dari ketimpangan akses dalam bersekolah disebabkan oleh sistem penerimaan siswa baru yang bermasalah.
Pemerintah melalui Kemendikdasmen telah resmi menetapkan SPMB (Sistem Penerimaan Siswa Baru) berlaku mulai tahun pelajaran 2025/2026. Sistem ini dibuat untuk memperbaiki sistem penerimaan siswa di Indonesia.
Kemendikdasmen melalui Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) berharap dapat menekan angka putus sekolah, terutama bagi siswa dari keluarga ekonomi kurang mampu. Dengan peningkatan kuota afirmasi dan keterlibatan sekolah swasta dalam menampung siswa yang tidak diterima di sekolah negeri, diharapkan tidak ada anak yang kehilangan hak pendidikan hanya karena faktor ekonomi.
Kebijakan SPMB ini disusun dengan empat pilar utama; pendidikan bermutu untuk semua, inklusi sosial, integrasi sosial, dan kohesivitas sosial. Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap semua warga negara dapat memiliki kesempatan atau akses memasuki sekolah negeri. Dalam sistem SPMB, sistem ini tidak hanya mencakup penerimaan murid, tetapi juga mencakup pembinaan, evaluasi, kurasi prestasi, fleksibilitas daerah, pelibatan sekolah swasta dan integrasi teknologi.
Sosialisasi
Sistem SPMB yang telah diluncurkan oleh Kemendikdasmen saat ini belum sepenuhnya dipahami kaum awam atau masyarakat bawah. Salah satu inovasi dalam sistem SPMB kali ini adalah peningkatan sistem digitalisasi. Walaupun perkembangan digitalisasi saat ini sudah cukup pesat, namun di kalangan masyarakat bawah, urusan teknologi digital masih tertinggal.
Pemerintah perlu menyosialisasikan sistem penerimaan siswa baru ini lebih intens. Jangan sampai sistem penerimaan siswa baru yang sudah berbeda dari sistem zonasi ini dipahami seperti sistem zonasi.
Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan daerah untuk memastikan sistem Penerimaan Murid Baru saat ini sudah berbeda dan memberi akses yang adil untuk semua.
Problem lain yang perlu diantisipasi adalah perlunya mengantisipasi ulah oknum yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Ini bisa dilakukan dengan menindak tegas bila terjadi kecurangan dalam PSB 2025/2026.
Mentalitet
Persoalan kecurangan dalam sistem Penerimaan Murid Baru tidak bisa dilepaskan dari mental masyarakat Indonesia. Koentjoroningrat menyebut mentalitas ini sebagai mentalitas menerabas. Orang Indonesia suka jalur belakang, suka yang instant dan cepat sampai. Mentalitas inilah yang membuat orangtua ingin anaknya bisa masuk sekolah negeri bagaimanapun caranya.
Posisi menentukan prestasi seolah menjadi jargon orangtua dalam memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Padahal, sekolah swasta juga tidak kalah bagus dan berprestasi.
Kita belum membayangkan seandainya siswa yang tidak lolos seleksi ke sekolah negeri nanti masuk di sekolah swasta. Apakah orangtua rela anaknya belajar di sekolah swasta? Ataukah mereka juga akan menempuh berbagai cara (curang) agar anaknya bisa masuk ke sekolah negeri?Pertanyaan ini belum sepenuhnya terjawab dalam mengantisipasi sistem PSB yang baru.
Sistem yang baik sekalipun pada akhirnya harus didukung dan dilaksanakan oleh stakeholder dalam dunia pendidikan kita. Jika keadilan dan akses berpendidikan bisa kita wujudkan, tentu kemajuan dalam dunia pendidikan bisa kita gapai.