Agenda reformasi tidak hanya bertujuan untuk menggulingkan Orde Baru, tetapi juga untuk mengembalikan kekuasaan demokrasi ke tangan rakyat.
Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, negara dikuasai oleh oligarki yang didukung oleh jaringan militer dan bisnis, yang menyebabkan banyak pelanggaran HAM, perampasan hak hidup, serta konsentrasi kekayaan melalui eksploitasi sumber daya alam yang menguntungkan oligarki dan kroni-kroninya.
Salah satu tujuan utama reformasi setelah tumbangnya Soeharto pada 1998 adalah melakukan reformasi militer di Indonesia. Reformasi ini bertujuan untuk mengakhiri dominasi militer dalam politik dan pemerintahan sipil yang telah berlangsung sejak era Orde Baru, terutama melalui doktrin Dwifungsi ABRI.
Melalui kebijakan-kebijakan seperti pemisahan TNI dan Polri serta penghapusan kursi militer di DPR/MPR, Indonesia berusaha membangun supremasi sipil dalam sistem pemerintahan.
Namun, sejak 2022 hingga kini, wacana revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi ancaman bagi upaya untuk menghindari keterlibatan militer dalam ranah sipil.
Jika revisi ini disahkan, maka agenda reformasi yang telah berjalan selama dua dekade bisa terganggu. Dengan kata lain, revisi ini dapat mengembalikan posisi militer dalam politik, memungkinkan mereka untuk menduduki posisi strategis dalam pemerintahan sipil.
Ini menyiratkan potensi untuk mengaktifkan kembali kewenangan militer yang sebelumnya dibatasi dalam reformasi 1998, dengan risiko yang besar bagi tatanan demokrasi.
Wacana kebangkitan Dwifungsi ABRI kembali menguat seiring dengan revisi UU TNI yang tengah dibahas oleh DPR bersama pemerintah.
Meskipun ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) telah berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak reformasi 1998, isu ini kembali mencuat.
Perlu dicatat, wacana mengenai munculnya Dwifungsi ABRI sudah mulai terdengar sejak dua tahun lalu dengan pengesahan UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN.
Perubahan dalam UU ASN ini memberi kesempatan bagi prajurit TNI dan Polri untuk mengisi jabatan-jabatan sipil. Kini, wacana mengenai penguatan peran militer kembali muncul lewat revisi UU TNI yang ditargetkan pemerintah selesai sebelum reses DPR pada 21 Maret mendatang.
Kritik tajam dari publik seharusnya ditujukan pada kebiasaan pemerintah dan DPR yang sering kali membahas undang-undang secara tertutup dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, pembahasan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi cenderung menghasilkan undang-undang yang bermasalah.
Tanpa adanya perlawanan dari publik, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) berisiko mengikuti jejak revisi-revisi undang-undang lain yang kontroversial, seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU ASN.
Di tengah berbagai kritik publik, DPR tetap melanjutkan proses pembahasan revisi UU TNI. Sikap DPR patut dipertanyakan, mengingat sebelumnya RUU TNI tidak termasuk dalam 41 RUU yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Sejak saat itu, pembahasan RUU TNI semakin intensif dilakukan, bahkan melebihi pembahasan RUU lain yang lebih mendesak dan telah lama dinanti publik, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Salah satu poin yang mendapat perhatian publik dalam revisi UU TNI adalah upaya untuk menambah jumlah instansi yang dapat diisi oleh prajurit TNI.
Dalam draf RUU TNI ini, ada usulan untuk memperluas kementerian dan lembaga yang bisa ditempati oleh prajurit aktif, dari semula 10 menjadi 15.
Lima posisi baru yang dapat diisi oleh TNI aktif meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Keamanan Laut, BNPB, BNPT, hingga Kejaksaan Agung.
Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI yang telah diserahkan ke DPR masih mengandung pasal-pasal yang bermasalah dan berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI serta memperkuat militerisme.
Meskipun demikian, pemerintah dan TNI membantah isu terkait kembalinya Dwifungsi ABRI, yang merupakan sistem pemerintahan yang mendominasi Indonesia selama 32 tahun di era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, yang akhirnya runtuh setelah gelombang reformasi pada 1998.
Selain diselenggarakan di hotel mewah Fairmont pada akhir pekan lalu, pembahasan RUU TNI dilakukan dengan cara yang sangat bertentangan dengan asas keterbukaan.
Padahal, keterbukaan adalah prinsip dasar dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Salah satu bukti ketertutupan tersebut adalah ketidakjelasan terkait naskah akademik, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dan draf terbaru UU TNI.
Di tengah polemik terkait substansi RUU TNI, pemerintah dan DPR seharusnya meningkatkan transparansi dalam pembahasan revisi undang-undang ini.
Ketertutupan ini patut diduga berkaitan dengan kepentingan yang bertentangan dengan semangat reformasi, terutama terkait dengan perluasan akses bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan sipil.
Pemilihan tempat rapat pembahasan di luar gedung DPR juga patut dipertanyakan, terutama di tengah upaya efisiensi anggaran negara.
Sejarah mencatat bahwa penerapan dwifungsi ABRI selama 32 tahun memberikan dampak negatif bagi kelompok sipil, sering kali berupa tindakan represif terhadap oposisi dan masyarakat.
Indonesia harus membayar harga yang sangat mahal untuk menghentikan dwifungsi ABRI dan meraih demokrasi, yang dicapai melalui berbagai tragedi kemanusiaan selama Reformasi 1998.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS