Pengangguran di kalangan Gen Z terus meningkat akibat ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan dunia kerja. Pemerintah diminta segera mereformasi kurikulum agar lebih adaptif terhadap tuntutan industri.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023 menunjukkan bahwa dari 44,47 juta pemuda Indonesia berusia 15–24 tahun, sekitar 9,9 juta atau 22,25 persen tergolong tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak menjalani pelatihan (NEET). Angka ini menjadi cerminan nyata bahwa banyak lulusan, terutama generasi Z, belum terserap oleh dunia kerja.
Fenomena ini mengungkapkan kesenjangan signifikan antara sistem pendidikan nasional dan kebutuhan pasar kerja yang semakin dinamis.
Banyak lulusan, khususnya dari sekolah menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi, merasa bahwa materi yang mereka pelajari masih terlalu teoritis.
Mereka tidak dibekali keterampilan praktis seperti penguasaan teknologi terkini, kemampuan adaptasi, dan komunikasi efektif—kompetensi yang sangat dibutuhkan di sektor industri, terutama di bidang teknologi dan jasa.
Kondisi tersebut berdampak langsung pada meningkatnya angka pengangguran terbuka di kalangan usia produktif. Industri yang berkembang pesat mendambakan tenaga kerja yang “siap pakai”, namun lulusan sering kali belum memenuhi kriteria tersebut sehingga proses rekrutmen menjadi semakin ketat dan selektif.
Selain itu, banyak perusahaan kini mengutamakan pengalaman kerja, portofolio, dan kemampuan problem solving dibanding sekadar ijazah. Hal ini menyebabkan lulusan baru, meskipun secara akademik memenuhi syarat, tetap tertinggal karena kurangnya pengalaman praktik di dunia nyata.
Kesempatan magang dan pelatihan yang terbatas selama masa studi juga mempersempit peluang lulusan untuk memahami lingkungan kerja secara langsung.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Ketenagakerjaan telah mencanangkan berbagai program vokasi dan pelatihan kerja untuk mengurangi kesenjangan ini.
Salah satu inisiatif strategis yang sedang dikembangkan adalah memperkuat sinergi atau “link and match” antara lembaga pendidikan dan dunia usaha, sehingga kurikulum yang ada dapat lebih cepat disesuaikan dengan kebutuhan nyata industri.
Dalam beberapa rilis resmi, Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pembaruan kurikulum dan pelatihan praktis merupakan kunci utama untuk menurunkan angka NEET dan meningkatkan daya saing lulusan.
Meski telah ada upaya nyata dari pemerintah, para pengamat pendidikan menilai bahwa reformasi sistem pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh di lapangan.
Penyempurnaan proses pembelajaran melalui adopsi teknologi dalam kelas serta penyusunan standar kompetensi yang relevan menjadi hal krusial agar output pendidikan tidak hanya melimpah secara jumlah, tetapi juga berkualitas.
Di sisi lain, budaya belajar yang masih terpaku pada nilai dan kelulusan akademik juga turut berkontribusi terhadap lemahnya kesiapan lulusan.
Banyak siswa dan mahasiswa yang lebih fokus mengejar IPK tinggi ketimbang mengembangkan keterampilan hidup dan pengalaman kerja yang sebenarnya dibutuhkan di lapangan.
Pendidikan karakter dan mindset kewirausahaan juga masih minim diterapkan secara nyata dalam kurikulum formal. Padahal, di tengah persaingan global, daya juang, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis menjadi bekal penting bagi generasi muda untuk menciptakan peluang kerja, bukan sekadar mencarinya.
Ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan industri tidak hanya berdampak pada nasib masing-masing lulusan, tetapi juga mengancam pertumbuhan ekonomi nasional. Jika bonus demografi tidak dikelola dengan efektif, potensi besar tersebut berisiko berubah menjadi beban yang sulit diatasi.
Dengan dukungan bersama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan pihak industri, diharapkan sistem pendidikan Indonesia akan mampu mencetak lulusan yang tidak hanya menguasai teori, tetapi juga terampil, adaptif, dan siap menghadapi tantangan dunia kerja di era digital dan global.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS