Di era digital saat ini, internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, bahkan sejak usia dini. Anak-anak, yang dulunya hanya bisa belajar dari orang tua, guru, atau lingkungan sekitar, kini juga dibimbing oleh algoritma internet. Dengan kemajuan teknologi, algoritma telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu memberikan arahan, informasi, dan bahkan membentuk pola perilaku mereka, seakan-akan menjadi "orang tua" baru dalam kehidupan anak.
Algoritma adalah seperangkat instruksi atau kode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks internet, algoritma merujuk pada sistem yang digunakan oleh mesin pencari, platform media sosial, aplikasi, dan berbagai layanan lainnya untuk mengatur dan menyajikan informasi. Ketika anak-anak mengakses internet, algoritma berperan dalam menentukan jenis konten apa yang mereka lihat, seberapa lama mereka menghabiskan waktu di suatu platform, bahkan topik apa yang mungkin mereka pelajari.
Sebagai contoh, platform seperti YouTube, TikTok, atau Instagram memiliki algoritma yang mempersonalisasi pengalaman penggunanya berdasarkan kebiasaan dan preferensi mereka. Algoritma ini mengamati apa yang disukai, dilihat, atau dicari oleh anak-anak, lalu menyarankan konten serupa. Dengan cara ini, algoritma bukan hanya memberikan hiburan, tetapi juga memberikan pendidikan dan informasi yang dapat membentuk pandangan anak terhadap dunia.
Memutus Trauma Lintas Generasi Belum Cukup

Orang tua merasa "kebobolan", anak setiap hari di rumah, anak sudah tidak kita marahi dan pukul dengan gesper seperti yang dilakukan Boomers ke generasi X dan millenial, lalu kenapa anak justru berperilaku buruk? Apa yang salah? Padahal semua support system untuk belajar sudah disediakan, di kamar anak lengkap komputer dan gadget.
Gen Alpha tumbuh dalam dunia yang ditentukan algoritma. Konten harian mereka disesuaikan minat, bukan acak, tetapi terkurasi otomatis. Anak-anak sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka, terutama pada masa-masa perkembangan awal. Ketika algoritma internet mulai memainkan peran yang signifikan dalam memberikan informasi dan hiburan, ia pun menjadi faktor penting dalam membentuk karakter, pola pikir, dan minat anak.
Efeknya, anak hidup dalam echo chamber. Dikutip dari DJKN Kemenkeu (28/20/2024) Echo Chamber adalah fenomena yang terjadi dalam budaya penggunaan media sosial maupun internet secara umum. Echo chamber ini mengisyaratkan sikap seseorang yang defensif terhadap pendapat dan perspektifnya sendiri. Informasi dapat berasal dari banyak sumber, tetapi ketika kita hanya mau mendengar dari satu perspektif dan opini yang sama dengan kita, dimungkinkan kita sudah berada di dalam sebuah echo chamber.
Anak sudah tidak lagi mencari informasi, tetapi informasi yang mencari anak. Masalahnya informasinya benar atau salah?
Media Sosial adalah Currency Baru

Bagi generasi Alpha, angka like, view, followers, adalah social currency dan nilai ukur diri di hubungan sosial mereka. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi mereka. Performa di media sosial jadi tolak ukur eksistensi sosial. Banyak remaja yang mengalami kecemasan dan tertekan apabila kontennya 'tidak laku'. Hal ini kemudian memicu kecemasan, rendah diri, hingga depresi.
Mengapa sosial media menjadi currency baru? Influencer atau selebriti media sosial memiliki nilai yang setara dengan mata uang dalam dunia digital. Dengan jumlah pengikut yang besar, mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini, selera, dan keputusan pembelian masyarakat. Brand-brand besar berani membayar mahal untuk memanfaatkan pengaruh yang dimiliki influencer di media sosial.
Tidak hanya itu, setiap kali seseorang menghabiskan waktu di platform seperti Instagram, Twitter, atau TikTok, mereka secara tidak langsung "menjual" waktu dan perhatian mereka kepada perusahaan yang menjalankan platform tersebut. Ini menjadi bahan bakar utama bagi algoritma yang mempersonalisasi iklan, konten, dan pengalaman pengguna.
Setiap interaksi yang kita lakukan di media sosial menghasilkan data yang sangat berharga. Data ini digunakan oleh perusahaan untuk membentuk iklan yang ditargetkan dan meningkatkan efisiensi pemasaran. Dalam hal ini, data pribadi yang kita berikan melalui klik, komentar, dan pembelian menjadi currency yang diolah menjadi keuntungan finansial oleh perusahaan media sosial.
Emoji Menjadi Medium untuk Bullying

Bagian mengerikan dari sosial media kini adalah adanya bullying. Bullying hari ini tidak harus menggunakan kata-kata kasar, cukup menggunakan emoji saja, efeknya sudah terasa menyakitkan untuk para generasi Alpha. Bahkna yang tersulit untuk orang tua adalah memahami makna tersembunyi atau kode dari sebuah emoji yang digunakan untuk bullying.
Dikutip dari Cyberbullying Center (2021), 60% remaha alami bullying via emoji, meme, atau sindiran digital. Bagian menyedihkannya adalah beberapa orang sering dianggap 'baper' atau bawa perasaan, padahal dampak atau efek dari bullying tersebut benar-benar nyata.
Orang Tua yang Kebingungan

Peran orang tua menjadi sesuatu yang sangat penting untuk perkembangan dan pemahaman anak. Namun masih sangat disayangkan bahwa kini banyak orang tua yang masih sering mengalami 'kebingungan' dalam mengasuh anak-anaknya. Adapun ciri-ciri orang tua yang kebingungan diantaranya melarang anak maingadget tetapi tidak tahu apa yang bisa ditonton oleh anak. Kemudian orang tua yang cenderung fokus pada nilai sekolah anak, tetapi cuek pada emosi anak.
Pada dasarnya, anak tidak butuh kontrol, tetapi pendampingan yang empatik. Jika orang tua tidak hadir, algoritma internet yang mengurus anak-anak kita.
Ktika algorima internet menjadi 'orang tua' bagi anak-anak, kita harus berhati-hati dalam menyeimbangkan antara manfaat dan potensi risikonya. Algoritma menawarkanbanyak kesempatan untuk eksplorasi, namun juga menghadirkan tantangan baru. Untuk itu, kita harus bekerja sama untuk memastikan bahwa teknologi digunakan untuk mendukung perkembangan anak-anak, bukan menggantikan peran orang tua.