Dalam kehidupan bernegara, ada sebuah kontrak sosial yang tidak tertulis, yaitu negara hadir untuk melindungi, menyejahterakan, dan menjaga martabat warganya.
Namun, bagaimana jika justru negara menjadi pihak yang melukai rakyatnya? Bukan secara fisik saja, tapi secara batiniah, moral, dan psikologis. Inilah yang disebut sebagai collective moral injury atau luka moral kolektif.
Definisi Moral Injury

Istilah moral injury pertama kali dikenalkan dalam ranah militer, untuk menjelaskan luka batin yang dialami oleh tentara setelah terlibat dalam situasi ekstrem yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang mereka yakini.
Namun, seiring waktu, konsep ini berkembang melampaui konteks militer dan kini dipahami lebih luas sebagai kondisi psikologis dan spiritual yang muncul ketika seseorang atau sekelompok orang menyaksikan, mengalami, atau bahkan terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nurani, etika, atau rasa keadilan mereka.
Luka ini bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga tentang apa yang tidak dilakukan ketika seseorang tahu bahwa sesuatu yang salah sedang terjadi, namun mereka tidak mampu mencegahnya.
Berbeda dari trauma biasa yang lebih bersifat biologis atau psikis akibat ancaman terhadap nyawa, moral injury merobek sisi terdalam dari kemanusiaan seseorang. Ia menghantui bukan karena rasa takut, tetapi karena rasa bersalah, malu, kecewa, dan pengkhianatan baik terhadap diri sendiri, orang lain, atau institusi yang dipercaya.
Bagian yang menyebabkan moral injury sangat kompleks adalah karena wujudnya tidak terlihat. Tidak ada pendarahan, tidak selalu ada ledakan emosi, yang ada adalah kehampaan, kemarahan yang dipendam, dan rasa percaya yang perlahan-lahan membusuk.
Dalam konteks kolektif, luka ini menjadi jauh lebih besar dan lebih dalam. Ketika moral injury dialami oleh masyarakat secara luas akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh negara, aparat hukum, atau lembaga-lembaga publik, maka dampaknya adalah krisis sosial, apatisme politik, dan bahkan ancaman terhadap keberlangsungan demokrasi.
Negara yang Durhaka

Ketika pemerintah atau negara sebagai representasi kekuasaan publik tidak hanya gagal menjalankan tugasnya, tetapi justru menjadi pelaku ketidakadilan, rakyat tidak hanya menderita secara fisik atau ekonomi. Mereka juga mengalami keretakan moral dan batin, sebuah luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar kehilangan materi. Rakyat, bukan hanya merasa kecewa, melainkan merasa dikhianati oleh institusi yang seharusnya mereka percaya.
Mereka menyaksikan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas, kriminalisasi terhadap rakyat kecil yang memperjuangkan haknya, sementara elite politik dan ekonomi bisa lolos dari jerat hukum dengan mudah. Penanganan bencana yang lamban, tidak transparan, dan kadang penuh korupsi, menambah perih rasa ditinggalkan.
Di saat rakyat berjuang untuk bertahan hidup, mereka menyaksikan pejabat publik yang hidup mewah, memamerkan privilese, dan bahkan mencemooh penderitaan warganya secara tersirat maupun terang-terangan.
Lebih dari itu, ketika suara-suara kritis dibungkam dan aparat negara bersikap represif terhadap kebebasan berekspresi, rakyat tidak hanya kehilangan ruang demokratis, tetapi juga kehilangan harapan. Dalam situasi seperti ini, rakyat bukan sekadar merasa tidak didengar, tetapi merasa tidak dianggap.
Negara tidak lagi hadir sebagai pelindung, tetapi berubah menjadi entitas yang menindas. Pada titik ini, pengkhianatan bukan hanya terhadap individu, melainkan terhadap nilai-nilai yang seharusnya menjadi fondasi bersama yaitu keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Inilah saat ketika negara, secara simbolik dan struktural, menjadi "durhaka" pada warganya.
Oleh karena itu, collective moral injury bukan sekadar masalah biasa. Hal ini jika dibiarkan terus-menerus akan membekas pada setiap hati masyarakat yang menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap negara.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS