Pernah dengar cerita orang dapet hadiah rumah di kuis TV, tapi beberapa tahun kemudian rumahnya dijual atau disita karena nggak sanggup bayar listrik, air, dan cicilan?
Nah, cerita semacam itu bukan cuma konten viral, tapi juga potret realitas dari kebijakan yang setengah matang, niatnya mulia, tapi eksekusinya ngos-ngosan.
Pemerintah Indonesia lagi semangat banget ngegas program 3 juta rumah. Niatnya sih baik supaya makin banyak warga yang nggak perlu ngontrak atau nebeng di rumah mertua.
Tapi masalahnya, tiap tahun negara harus merogoh kocek Rp14,4 triliun cuma buat bayar cicilan rumah-rumah ini. Dan itu belum termasuk biaya perawatan, subsidi, atau pengeluaran lain yang sering kali nggak masuk headline berita.
Pertanyaannya, emangnya rakyat cukup dikasih rumah aja?
Analogi gampangnya gini, kamu dikasih sepeda motor mewah, tapi nggak diajarin cara naik motor, nggak dikasih bensin, dan nggak tahu gimana cara ngerawatnya. Ya ujung-ujungnya motornya mangkrak, dijual, atau malah jadi beban.
Sama kayak rumah. Kalau orang nggak ngerti cara mengelola pengeluaran, nggak punya pendapatan yang cukup, atau bahkan nggak paham pentingnya bayar tagihan tepat waktu, rumah bisa berubah jadi beban alih-alih berkah.
Ketua Umum REI, Joko Suranto, juga sudah bilang, program perumahan rakyat ini nggak bisa selamanya bergantung pada APBN. Rp14,4 triliun per tahun itu angka besar, apalagi di tengah beban negara yang makin numpuk dari segala arah, seperti subsidi BBM, program makan gratis, infrastruktur, hingga utang luar negeri.
Logikanya mirip orang yang berusaha ngasih traktiran ke semua temen padahal saldo dompet digitalnya tinggal 50 ribu. Niatnya keren, realitanya bikin pusing.
Dan lagi, masalah utama kita bukan sekadar kepemilikan rumah, tapi kemampuan bertahan dan berkembang secara ekonomi.
Program perumahan rakyat itu mestinya bukan cuma soal “ngasih rumah”, tapi bagaimana rumah itu jadi titik awal kehidupan yang lebih baik. Bukan jadi monumen dari kebijakan setengah jalan.
Ajari orang mancing, pinjemin alat pancing, lalu bantu mereka mandiri beli alat pancing sendiri. Sounds cliché, tapi ini prinsip dasar ekonomi pemberdayaan yang banyak dipakai di negara-negara maju.
Kalau harga bahan bangunan naik terus, penghasilan stagnan, dan ekonomi makin berat, ya wajar kalau masyarakat kesulitan beli rumah sendiri. Pemerintah malah harus turun tangan terus-terusan, padahal itu bukan solusi jangka panjang.
Solusi sesungguhnya adalah menciptakan ekonomi yang tumbuh inklusif. Penghasilan masyarakat naik, lapangan kerja meluas, bahan bangunan terjangkau, dan industri properti berkembang dengan sehat. Jadi, orang bisa beli rumah sendiri tanpa nunggu bantuan negara.
Jangan salah, program 3 juta rumah ini bisa jadi headline yang cantik buat kampanye atau konferensi pers. Tapi kalau akhirnya hanya jadi proyek “gagah-gagahan” tanpa perhitungan matang, ya dampaknya bisa bahaya.
Rumah yang dibangun cepat-cepat bisa kualitasnya rendah, penyalurannya bisa nggak tepat sasaran, dan yang paling ngeri rumahnya bisa mangkrak karena warga nggak sanggup rawat.
Kalau pemerintah mau serius soal perumahan rakyat, maka program sosial kayak ini harus didesain kayak game survival. Bukan cuma kasih starter pack, tapi juga skill tree buat bertahan hidup dan naik level. Ada pelatihan, ada perlindungan sosial yang tepat, ada pendampingan, bukan sekadar serah terima kunci rumah.
Kalau kamu udah cukup umur buat mikirin KPR, atau masih ngontrak dan nunggu keajaiban, mungkin saatnya kamu juga mulai kritis bahwa rumah itu bukan cuma hak, tapi juga tanggung jawab. Dan tanggung jawab negara bukan cuma bikin rumah, tapi bikin masyarakat cukup kuat untuk tinggal dan bertahan di dalamnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS