Menimbang Peran Artificial Intelligence dalam Kontestasi Pemilu Masa Depan

Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Menimbang Peran Artificial Intelligence dalam Kontestasi Pemilu Masa Depan
Ilustrasi AI (Pexels.com/Abet LIancer)

Di tengah dunia yang makin tenggelam dalam algoritma dan big data, pemilu sebagai fondasi demokrasi tak lagi steril dari pengaruh kecerdasan buatan. Mesin pintar yang dulu hanya eksis di laboratorium kini telah menyusup ke bilik suara.

Di negara-negara demokratis, termasuk Indonesia, AI bukan lagi sekadar alat bantu teknis, tapi telah menjelma sebagai aktor politik yang memproduksi informasi, membentuk opini, bahkan—secara halus—menggiring pilihan publik.

Peringatan Sam Altman, CEO OpenAI, yang menyebut potensi AI merusak integritas pemilu, bukan isapan jempol. Deepfake, voice cloning, dan konten kampanye otomatis menjadi senjata politik baru yang murah dan mematikan.

Dalam sebuah video yang viral menjelang Pemilu 2024, seorang politisi tampak menyampaikan pernyataan kontroversial—nyatanya, itu bukan dia. Gambar dan suara dihasilkan mesin.

Politik di Era Algoritma

Tak berlebihan bila menyebut demokrasi tengah diuji oleh algoritma. Di Indonesia, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengeluarkan pedoman etika penggunaan AI, regulasi yang ada belum menyentuh jantung persoalan.

KPU dan Bawaslu pun baru menyentuh permukaan dengan aturan kampanye konvensional yang belum sepenuhnya adaptif terhadap realitas digital.

Padahal, ancaman yang mengintai sudah nyata. AI bukan sekadar membuat kerja kampanye jadi lebih efisien, ia juga bisa menjadi alat manipulasi yang membelokkan arah demokrasi.

Di tangan aktor politik yang oportunistik, AI bisa menembus privasi pemilih, memetakan kecenderungan politik warga, lalu menyebarkan pesan yang disesuaikan secara personal—semacam weaponized personalization. Proses ini sulit dilacak, apalagi dibuktikan.

Jalan Tengah atau Jurang Baru?

Perlu diakui, pemanfaatan AI tak melulu buruk. Dalam pengelolaan data pemilih dan sistem penghitungan suara, teknologi ini menawarkan efisiensi dan akurasi yang menjanjikan. Namun, sebagaimana pedang bermata dua, potensi kerusakan yang ditimbulkan setara dengan manfaatnya.

Pertanyaannya: apakah negara punya cukup daya untuk mengatur ini? UU ITE yang sering dijadikan tameng hukum belum menjawab soal konten AI berbasis deepfake. Apalagi menyangkut intervensi digital dalam preferensi politik warga. Perangkat hukum tertinggal beberapa langkah di belakang teknologi.

Alih-alih menunggu insiden besar, pemerintah seharusnya membentuk satuan tugas khusus lintas sektor. Satgas ini tak hanya diisi oleh birokrat dan aparat, tetapi juga melibatkan akademisi, pakar teknologi, aktivis sipil, dan media. Tugasnya: merumuskan standar etik, mengawasi praktik AI dalam politik, serta menumbuhkan literasi digital publik.

Demokrasi Butuh Manusia, Bukan Mesin

Dalam demokrasi yang sehat, kampanye bukan sekadar soal strategi menang, tapi juga pendidikan politik. Jika AI mengambil alih fungsi itu secara manipulatif, kita bukan hanya kehilangan suara pemilih yang murni, tapi juga kehilangan semangat deliberasi dalam demokrasi. AI memang bisa menggantikan kerja manusia, tapi tidak seharusnya menggantikan nurani.

Mengelola AI dalam pemilu berarti menata ulang sistem demokrasi agar tetap berpihak pada manusia, bukan pada mesin. Bukan hanya regulasi yang dibutuhkan, tetapi juga keberanian politik untuk menolak jebakan efisiensi yang mengorbankan etika. Kita tidak bisa membiarkan teknologi berlari tanpa kendali, sementara demokrasi terseok di belakang.

Tahun 2029 tinggal hitungan waktu. Jika tidak disiapkan dari sekarang, kita akan menyambut pemilu yang lebih canggih, tapi lebih gelap. Demokrasi digital membutuhkan cahaya, bukan sekadar kabel dan kode. Dan cahaya itu adalah akal sehat, transparansi, serta keberanian untuk menolak godaan kemudahan yang menyesatkan.

Kesimpulan

Pemanfaatan kecerdasan buatan dalam sistem pemilu adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Ia menawarkan efisiensi, ketepatan data, dan potensi transformasi besar dalam penyelenggaraan demokrasi. Namun di sisi lain, teknologi ini juga menyimpan risiko besar: manipulasi informasi, disinformasi berbasis deepfake, dan eksploitasi data pribadi pemilih.

Regulasi yang ada saat ini belum cukup untuk merespons kompleksitas ancaman tersebut. Maka, negara tak boleh tinggal diam. Perlu dibentuk sistem pengawasan yang adaptif dan kolaboratif, serta kebijakan hukum yang spesifik, progresif, dan berorientasi pada perlindungan integritas demokrasi.

Kecerdasan buatan dalam pemilu, pada akhirnya, harus dikelola sebagai alat bantu, bukan pengganti nilai-nilai demokrasi. Sebab demokrasi sejatinya adalah ruang manusia berbicara dengan nurani, bukan algoritma berbicara dengan kepentingan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak