Perempuan dalam Politik: Setengah Populasi, Setengah Potensi yang Terpendam

Hayuning Ratri Hapsari | Fitri Widyaningrum
Perempuan dalam Politik: Setengah Populasi, Setengah Potensi yang Terpendam
Ilustrasi perempuan berpidato (Pexels/Werner Pfennig)

Perempuan menyumbang hampir setengah dari populasi dunia, namun representasi mereka dalam dunia politik masih jauh dari kata seimbang.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga merupakan persoalan global. Padahal, perempuan bukan hanya setengah dari populasi, tetapi juga setengah dari potensi kemajuan bangsa.

Keterwakilan perempuan di dunia politik bukan semata-mata soal angka, tapi soal keadilan, inklusi, dan pemanfaatan potensi sumber daya manusia secara maksimal.

Ketika perempuan diberi ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, kebijakan yang lahir menjadi lebih beragam, inklusif, dan berpihak pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk perempuan dan anak-anak.

Namun, jalan perempuan menuju kursi kekuasaan politik penuh tantangan. Hambatan sistemik dan budaya patriarki masih menjadi tembok besar yang sulit untuk ditembus.

Kuota 30 Persen: Langkah Awal Menuju Kesetaraan

Salah satu langkah besar yang telah diambil Indonesia adalah penerapan kebijakan afirmatif berupa kuota 30 persen bagi perempuan dalam daftar calon legislatif. Aturan ini mewajibkan setiap partai politik untuk mencalonkan minimal 30 persen perempuan dalam setiap pemilu.

Meskipun kebijakan ini telah berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, kenyataannya masih banyak perempuan yang kesulitan menembus posisi puncak kepemimpinan. Mereka sering kali hanya menjadi pelengkap daftar caleg, bukan tokoh utama dalam pengambilan keputusan.

Artinya, meski pintu sudah dibuka, tangga untuk naik ke atas masih licin dan curam.

Hambatan Sistemik dan Budaya Patriarki

Perempuan menghadapi berbagai hambatan sistemik yang membuat mereka sulit berkembang dalam dunia politik. Beberapa di antaranya meliputi:

  1. Budaya patriarki yang masih dominan, politik dianggap sebagai "ranah laki-laki".
  2. Beban ganda di ranah domestik, yang sering menghambat perempuan untuk berkarier penuh di dunia politik.
  3. Struktur partai politik yang didominasi laki-laki, terutama di posisi strategis dan pengambil keputusan.
  4. Minimnya akses terhadap sumber daya politik, seperti pendanaan kampanye, pelatihan, dan jaringan strategis.
  5. Kekerasan dan intimidasi politik berbasis gender, baik secara verbal, fisik, maupun digital.

Perlu Dukungan Sistemik yang Lebih Kuat

Ilustrasi Perempuan Perpartisipasi dalam Politik (Pexels/August de Richelieu)
Ilustrasi Perempuan Perpartisipasi dalam Politik (Pexels/August de Richelieu)

Kuota hanyalah langkah awal. Untuk benar-benar mewujudkan kesetaraan gender dalam politik, dibutuhkan dukungan sistemik dan struktural yang lebih luas. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender dalam kepemimpinan politik.
  2. Mereformasi internal partai politik agar lebih inklusif terhadap kepemimpinan perempuan.
  3. Memberikan pelatihan kepemimpinan dan akses informasi yang relevan bagi calon politisi perempuan.
  4. Memastikan penegakan hukum terhadap kekerasan politik berbasis gender dengan sanksi yang tegas dan perlindungan hukum yang memadai.
  5. Mengangkat figur-figur perempuan inspiratif di dunia politik agar menjadi role model bagi generasi muda.

Mengubah Cara Pandang: Perempuan Bukan Hanya Pelengkap

Kita harus berhenti melihat perempuan sebagai pelengkap atau simbol representasi semata. Perempuan adalah mitra sejajar yang memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan bangsa.

Banyak negara yang telah membuktikan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik menghasilkan kebijakan yang lebih humanis, adil, dan berkelanjutan.

Sudah saatnya kita menciptakan ekosistem politik yang ramah gender, perempuan dapat tumbuh, berkembang, dan berkontribusi secara maksimal. Dari ruang rapat hingga kursi pemerintahan, suara perempuan harus didengar dan dipertimbangkan secara setara.

Kesimpulan: Potensi Perempuan Adalah Aset Bangsa

Perempuan bukan hanya setengah dari populasi, tapi juga setengah dari potensi bangsa. Menghapus diskriminasi, memperkuat kebijakan afirmatif, dan membangun budaya politik yang adil gender bukan hanya kewajiban moral, tapi juga strategi cerdas untuk kemajuan negara.

Dengan melibatkan perempuan secara penuh dalam proses politik, kita sedang membangun masyarakat yang lebih demokratis, inklusif, dan berdaya. Jadi, mari bersama-sama membuka jalan bagi perempuan untuk memimpin dan membawa perubahan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak