Di dunia yang serba cepat ini, kematian seseorang sering kali kehilangan martabatnya sebagai penanda akhir sebuah perjalanan. Ironisnya, ia justru berubah menjadi bahan konsumsi, komoditas clickbait, bahkan bahan obrolan yang dangkal.
Yang paling menyedihkan, perundungan (bullying) tidak berhenti hanya karena seseorang telah tiada. Di ruang digital, bahkan orang yang sudah tak bernapas pun masih bisa menjadi sasaran cemooh, olok-olok, dan rentetan komentar kejam tanpa henti.
Fenomena memilukan ini bukan sekadar masalah teknis “netizen terlalu lepas jari.” Ini adalah cermin budaya yang selama ini membiarkan perundungan hidup subur di antara kita.
Kita hidup dalam ruang digital yang memberi jarak sekaligus keberanian palsu. Layar gadget membuat kita merasa kuat, merasa berhak, dan merasa aman, terlindungi oleh anonimitas untuk melempar kata-kata yang tak akan pernah kita ucapkan secara langsung.
Ketika seseorang meninggal dunia, entah karena tekanan mental, depresi, atau perundungan yang akut, ruang digital seharusnya menjadi tempat bersemayamnya refleksi dan empati kolektif. Namun ironisnya, bagi sebagian orang justru menjadi arena yang sah untuk menambah luka baru.
Kita menyaksikan bagaimana tragedi digunakan sebagai alat untuk memuaskan hasrat ingin tahu yang destruktif, menjustifikasi prasangka, dan mengulangi siklus kekejaman yang berujung pada hilangnya nyawa.
Budaya Toleransi dan Narasi yang Mati
Dalam kasus-kasus ini, kita melihat rentetan komentar kejam terus berdatangan. Mulai dari menyalahkan korban (victim-blaming) atas penderitaan yang ia alami, mengolok-olok perjuangan terakhirnya, hingga menyudutkan keluarga yang ditinggalkan.
Ironi terbesarnya: seseorang yang sudah tiada tidak lagi memiliki kesempatan untuk menjelaskan dirinya, membela dirinya, atau meluruskan narasi tentangnya. Mereka tak bisa berteriak "itu tidak benar," tetapi ruang digital tetap memperlakukan mereka seakan masih bisa menjadi target empuk yang sah.
Mengapa anomali ini terjadi? Jawabannya tidak sesederhana menghakimi "netizen kejam." Masalahnya bersifat struktural: kita memiliki budaya yang sudah lama mentoleransi perundungan, menganggapnya bagian normal dari dinamika sosial.
Toleransi ini termanifestasi dalam banyak bentuk. Mulai dari candaan yang merendahkan, komentar tentang tubuh, saling menjatuhkan di lingkungan sekolah, hingga konten yang mengejar sensasi dengan mengorbankan martabat seseorang.
Ketika budaya merundung ini sudah menjadi kebiasaan sosial yang diabaikan sebuah normalisasi kekejaman maka perundungan pascakematian pun dianggap wajar.
Kita sering gagal memahami bahwa perundungan adalah sebuah spektrum. Ini dimulai dari hal kecil yang disebut "candaan," lalu berkembang menjadi kritik yang tidak konstruktif, kemudian menjadi penghinaan, dan puncaknya adalah kekerasan.
Ketika kita gagal menegur "candaan" yang merendahkan di lingkaran terdekat kita, kita sebenarnya sedang membangun fondasi budaya yang membenarkan perundungan di ranah publik dan bahkan setelah seseorang tiada. Kepasifan kita adalah izin tak tertulis bagi kekejaman.
Algoritma yang Memperdagangkan Empati
Diperparah lagi, algoritma media sosial ikut bermain dalam kejahatan ini. Konten yang memicu emosi, komentar pedas, dan debat sengit sering kali mendapatkan visibilitas dan penyebaran lebih tinggi. Algoritma cenderung memprioritaskan engagement yang didorong oleh kemarahan, drama, dan outrage daripada konten yang mendorong refleksi dan empati.
Artinya, secara tidak langsung, ruang digital memberikan panggung kehormatan bagi perilaku tidak empatik. Setiap kali kita mengklik, membalas, atau berbagi konten yang sensasional dan menghakimi terkait tragedi seseorang, kita sedang memberi makan monster algoritma yang haus akan konflik.
Kita mungkin berpikir kita sedang “hanya berpendapat”, padahal kata-kata kita bisa menjadi sebilah pisau yang mengoyak keluarga yang ditinggalkan, dan kita secara kolektif memperdagangkan empati demi traffic dan perhatian semu.
Empati Sebagai Standar Ruang Aman
Di sinilah urgensi konsep safe space menjadi semakin fundamental dan holistik. Safe space bukan hanya ruangan fisik atau kebijakan anti-perundungan di sekolah. Safe space bukan sekadar konsep yang berlaku saat seseorang masih hidup. Ruang aman harus meluas hingga cara kita memperlakukan narasi, ingatan, dan martabat seseorang setelah ia tiada.
Ruang aman berarti kita secara aktif menciptakan budaya di mana martabat manusia dihargai melampaui usia dan status hidup mereka. Ia berarti menghormati mereka yang sudah tidak punya hak untuk membela diri. Jika kita benar-benar ingin kampanye anti-bullying berhasil, maka empati harus menjadi refleks sosial yang otomatis, bukan sekadar slogan musiman yang dilupakan setelah viral.
Karena pada akhirnya, ukuran kemanusiaan kita tampak paling jelas saat berhadapan dengan mereka yang paling lemah dan tak berdaya termasuk mereka yang bahkan sudah tidak berada di dunia ini. Jika ruang digital terus menjadi tempat di mana orang mati pun masih disakiti, maka kita bukan hanya gagal menciptakan safe space yang ideal. Kita gagal menjadi manusia yang beradab.
Pertanyaannya kini sederhana dan mengikat: Apakah jari kita akan menjadi alasan seseorang atau keluarganya memikul luka baru yang abadi, membiarkan bug sosial kekejaman terus merusak sistem? Ataukah kita memilih berhenti sejenak, membaca ulang komentar, dan memilih kata yang lebih manusiawi, menolak keras normalisasi kekejaman?
Pilihan untuk mengakhiri perundungan pascakematian itu ada di ujung jemari kita.