Setiap 21 April, kita menyaksikan parade kebaya massal. Anak-anak perempuan dipoles jadi “Kartini cilik”, lengkap dengan sanggul mini dan lipstik mencolok. Di sudut sekolah atau kantor, para ibu-ibu saling bersaing dalam lomba memasak atau merangkai bunga. Semua terlihat semarak. Meriah. Tradisional. Dan katanya: ini cara kita menghormati Kartini.
Tapi, pernahkah kita bertanya, benarkah ini yang diimpikan Kartini?
Kartini Bukan Desainer Kebaya, Tapi Pemikir
R.A. Kartini bukanlah ikon fashion adat. Ia bukan perempuan manis yang hobi berdandan dan senang difoto dalam pose anggun. Kartini adalah gadis muda Jawa yang gelisah. Yang menulis surat-surat panjang tentang ketimpangan, ketidakadilan, dan kebebasan yang direnggut sejak kecil. Ia mempertanyakan norma, memberontak lewat kata-kata, dan bermimpi tentang dunia yang memberi ruang bagi perempuan untuk berpikir, belajar, dan memilih.
Dalam salah satu suratnya, Kartini menulis, "Ikhtiar! Berjuanglah membebaskan diri. Jika engkau sudah bebas karena ikhtiarmu itu, barulah dapat engkau tolong orang lain." Ia bukan hanya memperjuangkan akses pendidikan, tapi juga kebebasan berpikir dan martabat perempuan di mata masyarakat.
Seremoni yang Mengaburkan Esensi
Sayangnya, perayaan Kartini kerap terjebak di permukaan. Kita rayakan dengan kebaya, lomba tumpeng, dan postingan bertagar #HariKartini. Lomba memasak menu tradisional, merias wajah tanpa cermin, hingga kontes busana adat menjadi agenda wajib di banyak institusi. Tapi apakah kita sungguh mengenal pemikirannya? Ataukah kita justru menyederhanakan perjuangannya menjadi acara tahunan yang penuh kosmetik tapi minim kesadaran?
Di ruang publik, suara perempuan yang terlalu vokal masih dianggap mengganggu. Di media sosial, tubuh perempuan masih jadi objek. Jadi sebenarnya, kita sedang merayakan Kartini, atau membungkamnya dengan dekorasi?
Emansipasi Hari Ini: Lebih Sulit dari Pakai Kain Jarik
Perjuangan perempuan hari ini jauh dari selesai. Kita hidup di zaman ketika perempuan diberi pilihan, tapi dengan syarat. Ambisi karier? Boleh, asal jangan melampaui laki-laki. Nikah di usia 30? Bisa, tapi siap-siap ditanya tiap Lebaran. Jadi ibu rumah tangga? Sah, asal jangan sampai lupa ‘berpenampilan menarik’.
Budaya patriarki belum benar-benar surut. Kontrol terhadap tubuh dan peran perempuan masih terus berlangsung melalui pembagian kerja berbasis gender maupun ekspektasi sosial yang mengekang.
Merayakan Kartini dengan Pikiran, Bukan Polesan
Jika kita benar ingin menghormati Kartini, mari rayakan pikirannya. Bacalah surat-suratnya. Diskusikan gagasannya. Ajak anak-anak perempuan untuk tidak takut bercita-cita tinggi. Ajak anak laki-laki untuk memahami bahwa kesetaraan bukan ancaman, tapi keadilan.
Hari Kartini bukan tentang kontes kecantikan. Bukan soal siapa paling rapi pakai kebaya. Tapi tentang siapa yang berani berpikir bebas, menantang norma, dan memperjuangkan ruang yang setara.
Jadi, Apa Kabar Emansipasi?
Pertanyaan ini tidak selesai di tanggal 21 April. Ia hidup dalam tiap percakapan, tiap ruang diskusi, dan tiap keputusan yang kita ambil sebagai perempuan atau sebagai manusia yang peduli pada keadilan.
Maka tahun ini, mari rayakan Kartini tanpa euforia seremonial yang semu. Tapi dengan keberanian untuk menjadi diri sendiri meski jalan itu tidak selalu disukai semua orang.