Kartini di Antara Teks dan Tafsir: Membaca Ulang Emansipasi Lewat Tiga Buku

Hikmawan Firdaus | Habibah Husain
Kartini di Antara Teks dan Tafsir: Membaca Ulang Emansipasi Lewat Tiga Buku
Ilustrasi Gambar Raden Adjeng Kartini (freepik.com/pikisuperstar)

Kartini bukan sekadar nama yang terukir dalam sejarah, tetapi sebuah gagasan yang terus ditafsir ulang. Dari slogan legendaris “Habis Gelap Terbitlah Terang” hingga tafsir-tafsir kontemporer, Kartini telah menjadi medan perdebatan seputar emansipasi, agama, dan identitas perempuan Indonesia.

Melalui tiga buku yang saya baca—Kartini Nyantri, Kartini yang Tersembunyi, dan Pendidikan Feminis R.A. Kartini—saya menemukan bahwa sosok Kartini bukanlah figur yang statis, melainkan seorang pemikir yang tafsirnya terus berkembang. Ia bukan hanya ikon emansipasi perempuan, tetapi juga simbol yang lebih kompleks: religius, kritis, dan progresif.

Kartini dan Santri: Tafsir Islam Progresif?

Dalam buku Kartini Nyantri, Kartini digambarkan sebagai perempuan yang haus akan ilmu dan spiritualitas. Salah satu kisah yang mengesankan dalam buku ini adalah pertemuan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat, ulama besar dari Semarang.

Pada saat itu, Kartini yang ingin memahami agama lebih dalam bertanya kepada Kiai Sholeh Darat, “Apa hukum bagi orang yang menyembunyikan ilmu?” Pertanyaan ini muncul karena selama hidupnya, Kartini merasa kesulitan memahami Al-Qur’an, terutama karena adanya larangan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal, seperti Jawa.

Pertemuan tersebut menjadi titik balik dalam perjalanan spiritual Kartini. Kiai Sholeh Darat pun menghadiahkan Kartini sebuah kitab tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa menggunakan aksara Pegon.

Saat pertama kali membaca terjemahan Surah Al-Fatihah, Kartini merasa sangat tersentuh karena, untuk pertama kalinya, ia bisa meresapi makna Al-Qur’an dengan lebih dalam.

Kartini mengkritik keras para ulama yang melarang penerjemahan Al-Qur’an, dengan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah bimbingan hidup yang seharusnya dapat dipahami oleh semua orang.

Pemikiran Kartini yang menggugat dogma agama ini mengingatkan kita bahwa ia tidak hanya berjuang untuk emansipasi perempuan, tetapi juga untuk kebebasan berpikir dan pembaruan dalam tafsir agama.

Kartini berusaha melihat agama secara lebih inklusif dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terjebak dalam batasan-batasan yang sempit.

Dekonstruksi Kartini dalam Narasi Modern

Buku Kartini yang Tersembunyi karya Laillia Dhiah Indriani menawarkan kritik tajam terhadap bagaimana pemikiran Kartini sering disederhanakan dan dipersempit dalam wacana emansipasi masa kini.

Kartini yang dulu memperjuangkan kebebasan perempuan dengan idealisme tinggi, kini sering kali hanya dipandang sebagai simbol yang dibungkus dalam bingkai kapitalisme dan patriarki baru.

Indriani menunjukkan bahwa, meskipun Kartini mulai dengan mengkritik struktur sosial dan adat patriarkis, pandangannya berkembang seiring dengan pemahamannya terhadap nilai-nilai Islam.

Emansipasi bagi Kartini bukanlah perlawanan terhadap laki-laki, melainkan usaha untuk membangun kesetaraan peran dalam masyarakat.

Ia menekankan bahwa perempuan tidak perlu menyaingi laki-laki, tetapi harus cakap dan mandiri—terutama dalam menjalankan peran sebagai ibu dan pendidik generasi mendatang.

Pemikiran ini menggarisbawahi pentingnya pendidikan sebagai pilar utama emansipasi. Namun, kita harus bertanya: apakah emansipasi yang diwariskan oleh Kartini masih hidup dalam wacana kita saat ini, atau justru telah menjadi alat yang dimanfaatkan oleh sistem yang tidak adil?

Pendidikan Feminis Kartini: Akar Emansipasi Melalui Cerdasnya Perempuan

Di sisi lain, dalam Pendidikan Feminis R.A. Kartini karya Irma Nailul Muna, Kartini digambarkan sebagai pelopor pendidikan feminis. Kartini percaya bahwa pendidikan adalah kunci utama perubahan—tidak hanya untuk perempuan, tetapi untuk seluruh masyarakat.

Dalam surat-suratnya, Kartini sering mengkritik pemerintah kolonial yang setengah hati dalam mencerdaskan rakyat pribumi, terutama perempuan.

Kartini berjuang untuk pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga mengembangkan akhlak dan budi pekerti. Ia ingin perempuan bukan hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi ibu bangsa—yang mampu mendidik dan memberdayakan generasi masa depan.

Pendidikan bagi Kartini adalah soal pencerdasan kolektif yang bisa mempercepat kemajuan bangsa, bukan hanya soal kebebasan individu semata.

Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya untuk memperjuangkan hak perempuan, tetapi juga untuk memanusiakan dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Kesimpulan dan Refleksi

Melalui ketiga buku ini, kita bisa melihat bahwa pemikiran Kartini jauh lebih kompleks daripada yang selama ini dibayangkan. Ia bukan sekadar simbol perjuangan perempuan, tetapi seorang pemikir yang menggabungkan emansipasi dengan kesadaran sosial, agama, dan pendidikan.

Kondisi saat ini, meskipun telah banyak kemajuan, masih menunjukkan ketimpangan yang relevan dengan pemikiran Kartini. Perempuan memang kini memiliki akses yang lebih luas ke pendidikan dan kesempatan kerja, namun tantangan seperti kesenjangan upah, stereotip gender, dan ekspektasi sosial yang membatasi peran perempuan masih ada.

Pemikiran Kartini tentang pentingnya pendidikan yang menyeluruh—bukan hanya untuk perempuan, tetapi untuk seluruh masyarakat—tetap sangat relevan. Pendidikan yang inklusif dan berbasis kesetaraan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkemajuan.

Kartini menginginkan perempuan untuk memiliki peran aktif dalam membentuk generasi masa depan—sebuah ide yang sangat relevan di era sekarang, di mana peran ibu dan pendidik di rumah sangat menentukan arah peradaban.

Namun, kita juga perlu bertanya: apakah kebebasan yang diperjuangkan Kartini kini benar-benar memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang tanpa terjebak dalam sistem yang masih patriarkal, bahkan dalam bentuk-bentuk modernnya?

Semoga pemikiran Kartini menginspirasi kita untuk tidak hanya memperjuangkan kesetaraan dalam wacana, tetapi juga mengubahnya menjadi tindakan nyata yang memerdekakan setiap individu, tanpa terkecuali.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak